Anggra memberi warna dalam kehidupanku. Warna yang banyak
mengajarkan aku tentang bagaimana menghargai orang-orang terdekat. Aku patut
merasa bersyukur ditakdirkan bertemu dengannya. Mungkin dia tak pernah sadar
menawarkan hal itu padaku. Namun, sekali lagi aku harus mengucapkan terima
kasih padanya.
Sayangnya, dunia Anggra adalah dunia kesepian. Dunia yang tak memiliki
orang-orang yang ingin benar-benar berbagi kebahagiaan dengannya, setidaknya
itu yang dialaminya di sekolah. Di sekolah, dia tidak memiliki teman—meski
tidak sepenuhnya seperti itu—hanya saja semua teman di kelas hanya berkamuflase
menawarkan persahabatan pada Anggra. Aku tahu betul tentang yang satu ini. Kalo
saja, Anggra tidak tergolong siswa yang cerdas bukan kepalang di kelas, mungkin
Anggra akan tersingkir dari percaturan pergaulan di sekolah. Tidak perlu
jauh-jauh kalo aku ingin memberi bukti, sesaat PR dikumpulkan, misalnya. Anggra
dengan sifatnya yang—berharap dapat menjaring teman sebanyak mungkin—baik dan
tulus hati, akan meminjamkan PR-nya pada teman manapun yang ingin meminjamnya.
Bagiku, ini sama buruknya dengan berbohong pada diri sendiri!
Aku akui, Anggra memang polos dengan sifatnya itu, tapi apa
gara-gara itu dia tidak memiliki teman—atau hanya gara-gara kecerdasannya, dia
baru bisa memiliki teman??
Di hari pertama aku menjadi murid baru di kelas ini, aku langsung
dijejali banyak nasehat untuk tidak mendekati si kuper Anggra, alasannya klise
kalo aku sudah berteman dengan Anggra, kecil kemungkinan aku bisa mendapatkan
lebih banyak teman yang populer di sekolah, sekaliber Pupu contohnya. Tapi, aku
bukan orang yang bisa didoktrin begitu saja dengan ‘petuah’ dari mereka yang
menurutku nggak masuk akal. Aku tahu mana yang harus aku pilih dan aku memilih
untuk tidak berpihak pada mereka.
Aku juga masih belum terlalu bisa memahami kenapa Anggra
melarangku untuk tidak mendekatinya, sepertinya dia masih ragu dengan
keseriusanku yang ingin sekali berteman dengannya. Aku masih ingat kata-kata
terakhirnya saat di ruang perpustakaan seminggu yang lalu. Hari itu aku memang
sengaja mengikutinya sekedar agar aku lebih mengenalnya.
“Kamu ngapain duduk deket aku?” tanyanya hari itu.
“Lho, emangnya ada larangan ya buat duduk disini”, jawabku dengan
nada sedikit berbisik—tapi bercampur salah tingkah—takut ketahuan ibu penjaga
perpus. Setelah mengatakan itu, aku berhenti dari sikapku yang rada kekanakan
tadi soalnya Anggra menatapku dengan pandangan yang seolah bilang ‘dasar bego’.
“Iya deh, aku duduk disini supaya lebih bisa deket sama kamu aja”.
Anggra kembali meneruskan kegiatan bacanya, dia membalik satu
halaman, kelihatannya sangat serius.
“Lebih baik nggak usah deh ganggu aku lagi. Entar kamu kena sial
gara-gara nimbrung sama aku”.
Aku mengerutkan jidat—bingung. “Emang kenapa? Sial kenapa coba?”
“Sial nggak bisa dapet banyak temen”, kata Anggra pendek tanpa
menggubris pertanyaanku lagi.
Sejak saat itu, aku mengamati Anggra dan bisa menyimpulkan sejauh
ini, kalo Anggra membangun dunia kesepiannya sendiri di sekolah.
-----oo000oo----
Ruangan mendadak diam tanpa suara saat Pak Andrian, guru Kimia
yang mengajar di kelas kami, mengadakan ulangan dadakan. Sesekali dengan
matanya yang setajam mata elang, Pak Andrian mengawasi kami kalo-kalo saja ada
dari kami yang mencontek catatan atau malah membuka dengan sengaja buku
pelajaran. Mungkin bagi siswa yang sudah ada persiapan karena rajin mengulang
pelajaran di rumah, tidak akan ada masalah dengan ulangan dadakan ini, tapi
bagaimana dengan siswa yang kerjanya jarang melakukan itu, jawabannya pastilah
hanya menggerutu.
Dari posisi dudukku di urutan tiga dan bersebelahan dengan
Hamid—yang juga bersenderan langsung dengan dinding yang memuat jendela-jendela
kelas— aku bisa melihat beberapa kertas mendarat di atas meja Anggra. Semua
kertas itu dari siswa-siswa yang ingin meminta jawaban dari Anggra. Mereka
mendaratkan kertas-kertas itu disaat Pak Adrian luput memerhatikan kami. Anggra
menyingkirkan satu-persatu kertas-kertas itu ke laci mejanya. Namun, tak satu
pun dari tumpukan kertas itu digubris Anggra, dia tetap terus mengerjakan
setiap tugas ulangannya bahkan hingga ulangan selesai…
“Lo, gimana sih, Gra. Kan gue tadi minta jawaban nomor dua dan
lima. Kok lo nggak ngasih ke gue sih?” gerutu Maia dengan berkacak
pinggang—meski bicara bukan dengan nada membentak. Posisi duduknya dua bangku
di belakang Anggra.
Belum sempat Anggra menjawab, dia sudah ditodong cercaan dari
Jenah yang tadi juga mendaratkan kertas ke meja Anggra. “Iya, gara-gara lo
nggak bagiin jawaban tujuh sampe sepuluh, jadinya tiga soal itu nggak gue jawab
deh”.
“Maafin gue ya”, jawab Anggra sekenanya tapi didalam pikirannya dia
berusaha membuat satu alasan yang masuk akal yang harus mau tidak mau diterima
oleh teman-teman yang mengerubunginya lantaran dia tidak memberi jawaban. “Tapi
kan kalian tau, Pak Adrian itu kayak gimana. Kalo ketahuan, kita sekelas bisa
dapet nilai jelek semua. Untung aja tadi nggak ketauan waktu kalian ngelemparin
kertas ke meja gue”.
Aku tak pernah tahu apa yang ada dipikiran Anggra sekarang, tapi
aneh rasanya kalo baru sekarang dia melakukan hal itu, bersikap tegas untuk
tidak memberi jawaban saat ulangan. Jadi selama ini, kenapa dia terlalu baik
sama anak-anak yang malas itu? Aku harus cari tahu yang sebenarnya.
Aku memang tak pernah salah kalo Anggra telah berhasil mencuri
perhatianku.
-----oo000oo----
Kantin terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa saja yang
menghabiskan waktu istirahat. Tapi aku melihat Anggra sedang duduk sambil
membaca buku di meja dekat pojokan kantin.
“Aku boleh gabung duduk nggak?” tanyaku dengan sikap hati-hati
takut-takut kalo penolakan lagi yang bakal aku terima.
Anggra mendongakkan kepalanya dan melihatku yang masih berdiri
mematung menunggu jawabannya. “Ya udah duduk aja kalo mau duduk”.
Aku duduk persis di hadapannya yang masih setia membaca buku.
“Hhmm…aku kok ngerasa kamu beda banget deh hari ini”.
Detik pertama setelah aku mengatakan itu, Anggra tidak juga
merespon tapi akhirnya…
“Beda? Beda gimana? Apanya yang beda?”
Akhirnya aku berhasil memancing reaksi Anggra yang memang sengaja
kulakukan.
“Iya, aku suka aja ngeliat sikap kamu dikelas tadi, kamu emang
harus tegas dengan anak-anak yang malas itu. Seharusnya kamu ngelakuin hal itu
dari dulu, Gra!”
“Kamu suka?” tanya Anggra padaku, aku segera menjawabnya dengan
anggukan kepala—setuju. “Tapi setelah kejadian tadi, aku yakin kalo aku
bener-bener nggak bakalan bisa dapetin temen lagi”.
Anggra memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan. “Kamu
tau, bukan tanpa sebab aku mau ngasih mereka semua hal yang mereka mau dari
aku?” Dia menatapku sebentar lalu melanjutkan ucapannya. “Dan apa kamu tau,
kalo alasannya hanya demi mendapatkan temen, aku rela ngelakuin hal itu?!”
“Aku tau kok!” jawab dengan tanpa berhati-hati karena ini adalah
fakta yang sudah dari dulu ada diotakku tentang Anggra dan dunianya.
“Hanya demi mendapatkan teman, aku rela ngelakuin apa aja demi
mereka. Dan demi mendapatkan teman juga, aku harus menahan semua rasa sakit
akibat perbuatanku buat mereka”.
“Menahan semua rasa sakit?”
“Aku bisa ngerasain rasa sakit yang luar biasa kalo aku ngelakuin
hal yang nggak bener, apalagi kalo harus bersikap nggak jujur. Aku ngerasa
seluruh badanku panas kebakar api tiap malam. Sakitnya luar biasa, sampe-sampe
aku nggak bisa tidur tapi aku berusaha menahannya hanya demi ngedapetin temen”.
Aku kaget mendengar penuturan Anggra, sampai sebegitu parahkah
usahanya untuk menjaring teman? Kasihan sekali Anggra. Aku—tanpa harus diminta
pun—ingin menjadi temannya. Jauh sebelum dia mengatakan hal yang sejujurnya
namun jauh lebih serius setelah aku tahu kalo dia ingin sekali memiliki teman
yang memang tulus mau berteman dengannya.
“Tapi mau gimana lagi, aku emang seperti ini..kuper nggak jelas,
jadi mana ada orang yang berteman sama aku”, kata Anggra menyalahkan dirinya
sendiri. “Aku emang nggak bisa bergaul tapi bukan berarti aku nggak bisa
memperlakukan seorang teman dengan baik. Kalo bukan gara-gara aku dikarunia
Tuhan ingatan eidetik dan fotografis yang membuat aku kelihatan pintar mungkin
nggak satu pun dari mereka mau menegurku sama sekali”.
Aku merasa tertarik dengan ucapannya barusan. Ingatan eidetik dan
fotografis? Apa maksudnya?
“Ingatan eidetik dan fotografis? Apa itu?”
“Itu semacam kemampuan untuk mengingat semua hal dengan akurat.
Orang-orang dengan kemampuan eidetik dan fotografis seperti aku umumnya bisa
mengingat setiap detail gambar, suara, benda bahkan kata-kata yang didengar
dengan sempurna”.
Kalo tadi aku kaget, sekarang aku malah tercengang mendengar apa
yang dikatakannya. Aku kagum dengan karunia yang dianugerahkan Tuhan padanya
namun disisi lain juga menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Apa jadinya
kalo aku yang diberi karunia itu? Satu sentuhan bau, pandangan, atau suara bisa
mengantarkan kembali ke semua kenangan dan pengalaman yang sudah jauh aku
lupakan. Buat sebagian orang—termasuk aku—ingatan akan terus bercokol di kepala
kalo pengalaman yang dialami hanya sebatas kenangan menyakitkan, misalnya putus
cinta atau ditinggal orang yang disayangi, bukan malah keseluruhan dari
pengalaman hidup yang pernah dijalani.
“Kamu mungkin nggak percaya kalo aku bisa mengulang lagi semua
penjelasan Pak Adrian seminggu yang lalu—semuanya, setiap kata yang keluar dari
bibirnya!”
“Semuanya?!!” tanyaku jauh lebih kaget dari sebelumnya.
“Aku tau kamu pasti kaget mendengarnya tapi itulah yang aku alami.
Kamu mungkin bakal ngerasa kalo aku ini hebat banget udah dapet ingatan ini
karena mungkin nggak bakal capek-capek belajar buat ulangan, iya kan?”
Aku tak menjawab karena aku mengamini apa yang dikatakannya.
“Tapi buat aku ini menyakitkan. Kamu tau gara-gara ingatan ini,
aku harus mau nggak mau terima banyak hal bahkan aku nggak bisa ngelupain apa
yang pernah aku liat yang justru nggak ingin aku liat”.
Menyakitkan? Mungkin aku tidak akan bisa merasakannya kalo tidak
aku sendiri yang mengalaminya. Apa karena Anggra dianggap super jenius hingga
dicap sok tahu segalanya? Atau apakah ada sesuatu pengalaman pahit yang tidak
bisa dilupakan Anggra dari ingatannya yang super itu. Pengalaman pahit? Kalo
begitu apa bedanya Anggra dengan aku yang hanya memiliki ingatan yang sama
dengan orang pada umumnya?
“Aku nggak mau ngebahasnya lagi”, lanjut Anggra dengan nada jengah
yang sudah pasti memang tidak ingin dia lanjutkan. “Aku emang pantas ngucapin
makasih buat kedua almarhum orang tuaku karena sedari kecil aku bukan aja
diajarkan logika dan bahasa tapi mereka juga ngebiarin aku untuk bebas
berimajinasi yang mungkin nggak aku sadari udah membuat ingatanku lebih
berkembang”.
----oo000oo----
Sekarang aku dan Anggra bercanda di bangku yang terbuat dari
beton—ada empat buah bangku—yang sengaja dibuat untuk mengitari kolam air
mancur mini di sekolah kami. Sejak saat itu, aku menjadi temannya karena itulah
yang aku inginkan dari pertama kali aku pindah ke sekolah ini. Aku tidak peduli
orang-orang beranggapan apa tentang Anggra, sekalipun Anggra digelari cewek
terkuper.
Mengenai ingatan eidetik dan fotografis, yang dia miliki itu hanya
aku anggap sebagai karunia Tuhan yang memang pantas untuknya. Sebenarnya,
setiap orang bisa melatih setiap ingatan yang pernah singgah tapi mungkin tetap
tidak bakal seakurat orang yang memiliki ingatan eidetik dan fotografis tadi.
“Oya, Gra…coba kamu bisa baca pikiran juga ya, mungkin bakal lebih
klop lagi kelebihan kamu”, kataku dengan canda.
“Nggak mau ah, nggak enak banget kalo harus dengerin semua yang
ada di kepala orang. Kalo mereka sampe tau, itu sama aja mereka nggak punya
rahasia ato bahkan nggak bisa punya rahasia di depan aku”.
“Iya juga ya”, pikirku.
Anggra bukan saja memberi banyak warna dalam hidupku tapi juga
mengajarkan aku satu hal yang mungkin sebagian orang sudah banyak melupakannya
kalo: ternyata nggak cukup kata hebat untuk menggambarkan kemampuan dari
ingatan seorang manusia!
---oo000oo---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar