Pagi datang lagi!
Sinar Matahari masuk tanpa permisi
melalui celah ventilasi kamar Andien dan memaksanya memicingkan mata. Dia
sempat menggerutu karena gara-gara hal itu dia terbangun dari tidurnya.
Tapi, dalam
beberapa detik gerutuan Andien berubah jadi jerit histeris.
“Whoooaaaaa....gue telat!!!”
Tanpa pikir panjang lagi, Andien
langsung beranjak dari ranjangnya nan empuk dan bergegas menuju kamar mandi.
Tentu saja, Andien nggak mau sampai telat ke sekolah. Dia harus bisa lolos dari
gerbang sekolah yang dijaga ketat oleh Pak Beben atau atas permintaan anak-anak
penghuni sekolahnya mengubah namanya jadi Pak Ben. Beliau adalah satpam sekolah
tempat Andien menuntut ilmu.
Secepat kilat Andien sudah terlihat
rapi dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Rambut hitam sebahunya pun cuma
diikat kuncir di belakang bahu seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah
semerbak wangi parfum yang baru dia beli kemarin di toko parfum langganannya.
Sengaja dia memilih aroma parfum yang baru tapi tetap dia sukai. Cari suasana
baru, begitu pikir Andien sewaktu dia membelinya kemarin.
“Andien berangkat dulu ya, Ma, Pa”,
kata Andien pada kedua orang tuanya begitu dia tiba di meja makan. Andien
tahu-tahu mencomot roti yang baru saja diolesi selai kacang oleh Mamanya.
“Andien...”, kata Papanya. “Nggak
sopan banget sih”.
Andien cuma tersenyum masam dengan
mulut tersumbat roti yang dia comot barusan. Lalu dia langsung mencium tangan
mama dan papa setelah lebih dulu menghabiskan separuh susunya.
“Makanya, Dien, bangun itu jangan
telat”, kata Mama menimpali. “Kamu itu, beda banget dengan Roy yang udah
kuliah. Dia aja udah pergi lantaran ada kuliah pagi padahal kuliahnya baru
mulai jam delapan nanti”.
“Iya, iya...Daaaggghh”.
“Hati-hati di jalan, jangan ngebut
lho”, lanjut Mama meningkahi langkah Andien yang sudah menjauh.
Andien pun akhirnya menuju garasi
rumahnya karena di sana telah menunggu motor bebek yang diberikan Papanya
sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas, bulan lalu. Andien hanya
perlu menyeimbangkan gas dan gigi, lalu melesat ke sekolah.
&
“Hampir kamu telat, Dien. Coba aja
kamu telat dikit lagi, Pak Ben nggak bakalan ngasih kamu masuk lho”, kata Pak
Ben pada Andien begitu dia dan motor bebeknya lolos melewati gerbang sekolah.
“Iya nih, Pak. Saya tadi telat
bangunnya, tapi untungnya masih bisa ngejer watu sebelum bel masuk”, sahut
Andien.
“Pasti kamu ngebut lagi makanya bisa
sampe ke sekolah dengan cepet , hayo ngaku?” todong Pak Ben.
Andien cuma cengengesan. “Pak Ben tau
aja, terpaksa, Pak. Mau gimana lagi?”
Cewek satu
ini kalo soal ngebut jangan ditanya. Dia bisa ngebut kalo kepepet alias telat.
Hanya saja Andien sering banget telat!
Setelah tadi ngobrol sebentar sama Pak
Ben, Andien menuju parkiran. Kalo tadi Andien bisa merasa lega sekarang dia
balik menggerutu lagi. Dia jengkel setengah mati lantaran tempat parkir yang
biasanya dia tempati sudah diisi dengan motor siswa lain. Mau nggak mau, Andien
akhirnya memilih parkiran yang tersisa.
“Pagi, Dien”, sapa Reva, sahabat dari
ketiga sahabat Andien yang sekaligus jadi teman sebangkunya. “Kenapa tampang lo
pagi-pagi udah ditekuk kayak gitu?”
“Nggak dikasih uang jajan kali”, sahut
Chelsa, si Miss fashionista ngasal.
“Bukan, Chel. Si Andien lupa bikin
peer Fisika” ujar Chiko, si Miss tukang dandan sambil terkikik.
Andien memutarkan kedua bola matanya,
lalu mendengus.
“Tebakan kalian nggak ada yang bener”,
jawabnya taktis. “Gue selalu dikasih uang jajan yang lebih dari cukup sama ortu
gue. Dan gue juga udah ngerjain peer Fisika yang dikasih kemarin lusa itu”.
“Terus apa yang nyebabin tampang kusut
lo itu, heh?” tanya Reva lagi.
“Tempat parkir motor gue yang biasa,
ditempatin sama anak lain. Sebel gue”.
“Ya ampun, Dien, cuma gara-gara itu
toh”, uja Reva seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak dapet parkiran
seperti yang biasa bukan berarti kiamat kan?”
Tapi Andien tetap nggak peduli, dia
tetap saja masih jengkel.
&
Di kantin saat jam istirahat.
“Duh, gue jadi deg-degan nih buat
ujian semester gazal ini. Soalnya susah-susah nggak ya?” ujar Reva dengan nada
khawatir yang berlebihan.
“Udah deh, Rev. Bukan cuma lo aja yang
khawatir, kita-kita juga kok. Makanya kita harus lebih giat lagi belajarnya”,
sahut Chiko bijak tapi tangan kanannya tetap menepuk-nepuk pelan
wajahnya—memulaskan bedak. “Lagian kan lo itu kan langganan juara kelas, gue
yakin lo pasti bisa ngelewatin semuanya”.
Anehnya, sedari tadi Andien lebih
banyak diam. Beda dari biasanya.
“Btw, beberapa hari lagi kan kita mau
tutup tahun dan buka kalender yang baru nih, kira-kira resolusi apa yang udah
kalian buat?” Chelsa membuka topik obrolan baru. “Kalo gue sih pengen ikut
Tante gue shopping di butik temennya di Singapur”.
Resolusi? Andien membatin.
Dia juga harus memikirkan resolusi apa
yang bakal dia buat untuk diwujudkannya ditahun depan. Tahun-tahun sebelumnya,
Andien nggak begitu menganggap penting apa itu resolusi, cita-cita, atau
ketetapan hati untuk perubahan dimasa depan, tapi seiring dengan datangnya
kedewasaan membuat Andien merasa dia juga harus memasang ‘target’ buat tahun
depan.
“Kalo gue sih selain belajar, gue
harus terlihat lebih cantik lagi ditahun depan supaya Alan makin sayang sama
gue”, kali ini Chiko yang ngomong.
“Gue cuma pengen tambah lebih rajin
belajar aja biar bisa masuk perguruan tinggi negeri”, ujar Reva kalem tanpa
harapan yang muluk-muluk.
“Aduh, Rev. Plis deh, kita emang
urgent banget menjelang akhir-akhir SMA kita tapi bukan berarti kita harus
belajar melulu setiap saat kayak lo”, Chiko berkomentar. “Lo harus pasang
target yang tinggi juga buat tahun depan. Dapet pacar, misalnya. Itu lebih
masuk akal, supaya lo jangan kelamaan jomblo dan makin tambah jadi orang yang nerd”.
Reva memanyunkan bibirnya mendengar
komentar pedas Chiko barusan. Sementara Andien dan Chelsa hanya bisa tertawa
geli menangapi.
“Kalo lo, Dien, resolusi lo ditahun
depan apa?” Pertanyaan ini dengan cepat disodorkan Reva pada Andien membuat
Andien berhenti tertawa.
“Gue...gue...”.
“Si Andien mah banyak”, serobot Chiko.
“Pertama-tama yang harus ada di daftar resolusinya buat tahun depan adalah dia
harus jago dandan. Apa kalian nggak liat pori-pori di mukanya Andien gede-gede
banget, ada komedo lagi di hidungnya. Pasti deh jarang ke salon!”
Meski merasa tersindir, Andien nggak
ngomong apa-apa untuk membela diri. Memang kenyataannya seperti itu.
“Dan kedua, lo juga harus ubah
penampilan lo, Dien. Jangan terlalu tomboi gitu, feminine dikit kek”, celetuk
Chelsa. “Hobi lo yang sering make jins belel plus kaos tiap kita hang out
bareng harus lo kurangin. Gue akan dengan senang hati kok, buat minjemin
koleksi baju-baju gue kalo emang itu perlu”.
Andien
mengangguk-angguk, mencoba memahami nasehat sahabat-sahabatnya.
“Dan ada satu lagi”, Reva bersuara,
membuat Chiko, Chelsa dan terutama Andien menoleh ke arahnya. “Lo harus lebih
merhatiin Tito tuh, kasian dia. Tito sering ngeluh ke gue, dia bilang lo tiga
bulan belakangan ini banyak berubah. Apalagi sejak lo nggak make jasanya lagi
sebagai ojek pribadi setelah lo dibeliin motor baru sama bokap lo. Inget, Dien,
Tito itu pacar lo. Hargain dia”.
Tito?
Pikiran Andien tertuju pada sosok itu
akhirnya. Andien mau nggak mau membenarkan ucapan Reva barusan. Dia memang
belakangan ini jarang menggubris lebih serius keberadaan Tito apalagi sejak dia
dituntut untuk terus belajar menjelang ujian semester sebentar lagi dan ujian
kelulusan yang kian hari kian dekat. Dan yang lebih parahnya sejak Andien nggak
lagi menumpang motor Tito, pergi dan pulang sekolah!!
Terbersit kata maaf Andien untuk cowok
itu. Dalam hatinya Andien bersyukur memiliki tiga sahabat yang benar-benar care
padanya. Andien paham betul kalo ketiga sahabatnya itu memperhatikan dirinya
dan kekurangannya. Untuk itulah mereka ada di kehidupan Andien saat ini.
&
Malam harinya, Andien tercenung
sendiri di atas ranjangnya. Di tangan kanannya, Andien memegang sebuah pulpen
dan terlihat juga secarik kertas kosong. Disitulah Andien bakal menuliskan
satu-persatu daftar resolusinya ditahun depan.
Mengenai resolusi yang disarankan oleh
Chiko dan Chelsa, Andien nggak mungkin langsung menyanggupinya seratus persen.
Semuanya butuh proses, pikirnya. Masalahnya, dia masih comfort dengan ‘gaya’
yang dianutnya sekarang. Istilah yang pas buatnya, mungkin mengubah sedikit
penampilan tapi tetap jadi diri sendiri. Menyenangkan hati sahabat, juga jadi
resolusi Andien tahun depan.
Selanjutnya,
tahun depan Andien juga pasang target harus lolos PTN .
Lalu ketiga, lebih patuh sama Papa dan
Mama. Daftar keempat, jangan sering berantem dengan Roy, abangnya. Kelima,
harus bisa bangun pagi lebih awal.
Keenam, berusaha untuk nggak terlalu suka ngebut.
Dan
bla...bla, hingga keurutan kedua puluh resolusi Andien bermuara : harus jadi
orang yang lebih baik lagi dan murah senyum.
Tapi ada satu resolusi utama yang
benar-benar ingin dilakukan Andien tanpa harus menunggu tahun depan. Besok, dia
akan memberi kejutan pada Tito, pacarnya yang hampir terlupakan olehnya...
&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar