Rabu, 09 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di ANEKA YESS! (Cerpen Tahun Baru) :: RESOLUSI ANDIEN


          Pagi datang lagi!
          Sinar Matahari masuk tanpa permisi melalui celah ventilasi kamar Andien dan memaksanya memicingkan mata. Dia sempat menggerutu karena gara-gara hal itu dia terbangun dari tidurnya.
Tapi, dalam beberapa detik gerutuan Andien berubah jadi jerit histeris.
          “Whoooaaaaa....gue telat!!!”
          Tanpa pikir panjang lagi, Andien langsung beranjak dari ranjangnya nan empuk dan bergegas menuju kamar mandi. Tentu saja, Andien nggak mau sampai telat ke sekolah. Dia harus bisa lolos dari gerbang sekolah yang dijaga ketat oleh Pak Beben atau atas permintaan anak-anak penghuni sekolahnya mengubah namanya jadi Pak Ben. Beliau adalah satpam sekolah tempat Andien menuntut ilmu.
          Secepat kilat Andien sudah terlihat rapi dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Rambut hitam sebahunya pun cuma diikat kuncir di belakang bahu seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah semerbak wangi parfum yang baru dia beli kemarin di toko parfum langganannya. Sengaja dia memilih aroma parfum yang baru tapi tetap dia sukai. Cari suasana baru, begitu pikir Andien sewaktu dia membelinya kemarin.
          “Andien berangkat dulu ya, Ma, Pa”, kata Andien pada kedua orang tuanya begitu dia tiba di meja makan. Andien tahu-tahu mencomot roti yang baru saja diolesi selai kacang oleh Mamanya.
          “Andien...”, kata Papanya. “Nggak sopan banget sih”.
          Andien cuma tersenyum masam dengan mulut tersumbat roti yang dia comot barusan. Lalu dia langsung mencium tangan mama dan papa setelah lebih dulu menghabiskan separuh susunya.
          “Makanya, Dien, bangun itu jangan telat”, kata Mama menimpali. “Kamu itu, beda banget dengan Roy yang udah kuliah. Dia aja udah pergi lantaran ada kuliah pagi padahal kuliahnya baru mulai jam delapan nanti”.
          “Iya, iya...Daaaggghh”.
          “Hati-hati di jalan, jangan ngebut lho”, lanjut Mama meningkahi langkah Andien yang sudah menjauh.
          Andien pun akhirnya menuju garasi rumahnya karena di sana telah menunggu motor bebek yang diberikan Papanya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas, bulan lalu. Andien hanya perlu menyeimbangkan gas dan gigi, lalu melesat ke sekolah.
                                                                            &

          “Hampir kamu telat, Dien. Coba aja kamu telat dikit lagi, Pak Ben nggak bakalan ngasih kamu masuk lho”, kata Pak Ben pada Andien begitu dia dan motor bebeknya lolos melewati gerbang sekolah.
          “Iya nih, Pak. Saya tadi telat bangunnya, tapi untungnya masih bisa ngejer watu sebelum bel masuk”, sahut Andien.
          “Pasti kamu ngebut lagi makanya bisa sampe ke sekolah dengan cepet , hayo ngaku?” todong Pak Ben.
          Andien cuma cengengesan. “Pak Ben tau aja, terpaksa, Pak. Mau gimana lagi?”
Cewek satu ini kalo soal ngebut jangan ditanya. Dia bisa ngebut kalo kepepet alias telat. Hanya saja Andien sering banget telat!
          Setelah tadi ngobrol sebentar sama Pak Ben, Andien menuju parkiran. Kalo tadi Andien bisa merasa lega sekarang dia balik menggerutu lagi. Dia jengkel setengah mati lantaran tempat parkir yang biasanya dia tempati sudah diisi dengan motor siswa lain. Mau nggak mau, Andien akhirnya memilih parkiran yang tersisa.
          “Pagi, Dien”, sapa Reva, sahabat dari ketiga sahabat Andien yang sekaligus jadi teman sebangkunya. “Kenapa tampang lo pagi-pagi udah ditekuk kayak gitu?”
          “Nggak dikasih uang jajan kali”, sahut Chelsa, si Miss fashionista ngasal.
          “Bukan, Chel. Si Andien lupa bikin peer Fisika” ujar Chiko, si Miss tukang dandan sambil terkikik.
          Andien memutarkan kedua bola matanya, lalu mendengus.
          “Tebakan kalian nggak ada yang bener”, jawabnya taktis. “Gue selalu dikasih uang jajan yang lebih dari cukup sama ortu gue. Dan gue juga udah ngerjain peer Fisika yang dikasih kemarin lusa itu”.
          “Terus apa yang nyebabin tampang kusut lo itu, heh?” tanya Reva lagi.
          “Tempat parkir motor gue yang biasa, ditempatin sama anak lain. Sebel gue”.
          “Ya ampun, Dien, cuma gara-gara itu toh”, uja Reva seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak dapet parkiran seperti yang biasa bukan berarti kiamat kan?”
          Tapi Andien tetap nggak peduli, dia tetap saja masih jengkel.

                                                                                   &

          Di kantin saat jam istirahat.
          “Duh, gue jadi deg-degan nih buat ujian semester gazal ini. Soalnya susah-susah nggak ya?” ujar Reva dengan nada khawatir yang berlebihan.
          “Udah deh, Rev. Bukan cuma lo aja yang khawatir, kita-kita juga kok. Makanya kita harus lebih giat lagi belajarnya”, sahut Chiko bijak tapi tangan kanannya tetap menepuk-nepuk pelan wajahnya—memulaskan bedak. “Lagian kan lo itu kan langganan juara kelas, gue yakin lo pasti bisa ngelewatin semuanya”.
          Anehnya, sedari tadi Andien lebih banyak diam. Beda dari biasanya.
          “Btw, beberapa hari lagi kan kita mau tutup tahun dan buka kalender yang baru nih, kira-kira resolusi apa yang udah kalian buat?” Chelsa membuka topik obrolan baru. “Kalo gue sih pengen ikut Tante gue shopping di butik temennya di Singapur”.
          Resolusi? Andien membatin.
          Dia juga harus memikirkan resolusi apa yang bakal dia buat untuk diwujudkannya ditahun depan. Tahun-tahun sebelumnya, Andien nggak begitu menganggap penting apa itu resolusi, cita-cita, atau ketetapan hati untuk perubahan dimasa depan, tapi seiring dengan datangnya kedewasaan membuat Andien merasa dia juga harus memasang ‘target’ buat tahun depan.
          “Kalo gue sih selain belajar, gue harus terlihat lebih cantik lagi ditahun depan supaya Alan makin sayang sama gue”, kali ini Chiko yang ngomong.
          “Gue cuma pengen tambah lebih rajin belajar aja biar bisa masuk perguruan tinggi negeri”, ujar Reva kalem tanpa harapan yang muluk-muluk.
          “Aduh, Rev. Plis deh, kita emang urgent banget menjelang akhir-akhir SMA kita tapi bukan berarti kita harus belajar melulu setiap saat kayak lo”, Chiko berkomentar. “Lo harus pasang target yang tinggi juga buat tahun depan. Dapet pacar, misalnya. Itu lebih masuk akal, supaya lo jangan kelamaan jomblo dan makin tambah jadi orang yang nerd”.
          Reva memanyunkan bibirnya mendengar komentar pedas Chiko barusan. Sementara Andien dan Chelsa hanya bisa tertawa geli menangapi.
          “Kalo lo, Dien, resolusi lo ditahun depan apa?” Pertanyaan ini dengan cepat disodorkan Reva pada Andien membuat Andien berhenti tertawa.
          “Gue...gue...”.
          “Si Andien mah banyak”, serobot Chiko. “Pertama-tama yang harus ada di daftar resolusinya buat tahun depan adalah dia harus jago dandan. Apa kalian nggak liat pori-pori di mukanya Andien gede-gede banget, ada komedo lagi di hidungnya. Pasti deh jarang ke salon!”
          Meski merasa tersindir, Andien nggak ngomong apa-apa untuk membela diri. Memang kenyataannya seperti itu.
          “Dan kedua, lo juga harus ubah penampilan lo, Dien. Jangan terlalu tomboi gitu, feminine dikit kek”, celetuk Chelsa. “Hobi lo yang sering make jins belel plus kaos tiap kita hang out bareng harus lo kurangin. Gue akan dengan senang hati kok, buat minjemin koleksi baju-baju gue kalo emang itu perlu”.
Andien mengangguk-angguk, mencoba memahami nasehat sahabat-sahabatnya.
          “Dan ada satu lagi”, Reva bersuara, membuat Chiko, Chelsa dan terutama Andien menoleh ke arahnya. “Lo harus lebih merhatiin Tito tuh, kasian dia. Tito sering ngeluh ke gue, dia bilang lo tiga bulan belakangan ini banyak berubah. Apalagi sejak lo nggak make jasanya lagi sebagai ojek pribadi setelah lo dibeliin motor baru sama bokap lo. Inget, Dien, Tito itu pacar lo. Hargain dia”.
          Tito?
          Pikiran Andien tertuju pada sosok itu akhirnya. Andien mau nggak mau membenarkan ucapan Reva barusan. Dia memang belakangan ini jarang menggubris lebih serius keberadaan Tito apalagi sejak dia dituntut untuk terus belajar menjelang ujian semester sebentar lagi dan ujian kelulusan yang kian hari kian dekat. Dan yang lebih parahnya sejak Andien nggak lagi menumpang motor Tito, pergi dan pulang sekolah!!
          Terbersit kata maaf Andien untuk cowok itu. Dalam hatinya Andien bersyukur memiliki tiga sahabat yang benar-benar care padanya. Andien paham betul kalo ketiga sahabatnya itu memperhatikan dirinya dan kekurangannya. Untuk itulah mereka ada di kehidupan Andien saat ini.

                                                                                   &
          Malam harinya, Andien tercenung sendiri di atas ranjangnya. Di tangan kanannya, Andien memegang sebuah pulpen dan terlihat juga secarik kertas kosong. Disitulah Andien bakal menuliskan satu-persatu daftar resolusinya ditahun depan.
          Mengenai resolusi yang disarankan oleh Chiko dan Chelsa, Andien nggak mungkin langsung menyanggupinya seratus persen. Semuanya butuh proses, pikirnya. Masalahnya, dia masih comfort dengan ‘gaya’ yang dianutnya sekarang. Istilah yang pas buatnya, mungkin mengubah sedikit penampilan tapi tetap jadi diri sendiri. Menyenangkan hati sahabat, juga jadi resolusi Andien tahun depan.
Selanjutnya, tahun depan Andien juga pasang target harus lolos PTN .
          Lalu ketiga, lebih patuh sama Papa dan Mama. Daftar keempat, jangan sering berantem dengan Roy, abangnya. Kelima, harus bisa bangun pagi lebih awal.
Keenam, berusaha untuk nggak terlalu suka ngebut.
Dan bla...bla, hingga keurutan kedua puluh resolusi Andien bermuara : harus jadi orang yang lebih baik lagi dan murah senyum.
          Tapi ada satu resolusi utama yang benar-benar ingin dilakukan Andien tanpa harus menunggu tahun depan. Besok, dia akan memberi kejutan pada Tito, pacarnya yang hampir terlupakan olehnya...

                                                                                   &


Tidak ada komentar:

Posting Komentar