Senin, 21 Juni 2010

Semua Tentang Kita (Muat di Aneka Yess-Pemenang Short Story Contest Aneka Yess! )

“Ceritanya seru ya?” tanyaku pada Sisi begitu kami beserta rombongan penonton theatre 4 keluar bersamaan.
“Iya, seru banget”, jawab Sisi.
Jawaban Sisi barusan mengelitikku. Sisi bisa saja bilang ‘seru’ buat mengapresiasi film yang baru saja kami tonton beberapa menit yang lalu, hanya saja nggak ada reaksi yang benar-benar antusias dari jawabannya. Padahal film yang dikasih judul Righteous Kill itu memasang duet aktor Hollywood kesukaannya, Al Pacino dan Robert De Niro. Usahaku untuk mengembalikan Sisi ke titik sebelum dia mengenal Ares belum juga membuahkan hasil.
Sesuatu telah hilang dari dalam diri Sisi. Sesuatu yang aku artikan sebagai ketergantungannya pada sosok Ares—sesuatu itu adalah sifat cerianya yang apa adanya. Aku nggak menemukan sifat itu lagi sejak Ares hijrah ke Jepang meninggalkan kami. Tapi semuanya nggak bakal terjadi seperti ini kalo saja Ares nggak masuk ke arus persahabatan antara aku dan Sisi.
Tiga tahun lalu, Ares datang dengan pesonanya yang khas ke SMP Kazena Krista dan praktis sejak itu Ares menjadi sahabat kami, hingga sekarang dimasa-masa SMA. Aku, Sisi dan Ares bisa tertawa, berbagi suka dan duka, saling curhat bahkan tanpa sungkan menjitaki kepala —siapapun diantara kami—kalo satu diantara kami sedang merasa jengkel sebagai tempat pelampiasan. Semuanya bisa saja terjadi karena kami merasa ditakdirkan buat bersama sebagai tiga sahabat.
Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami....

=======ooo00ooo=======

Semua hal yang ada di dunia ini bisa saja berubah dan perubahan itu ditentukan oleh waktu. Begitu juga dengan persahabatanku, Sisi dan Ares. Metamorfosis kebersamaan kami disisipi sebuah perasaan yang seharusnya nggak boleh terjadi. Perasaan yang bernama cinta itu menelusup di hati kami masing-masing. Rasa saling melengkapi dan empati telah berganti cinta. Kami memang nggak pernah mengumbarnya satu sama lain, kami memberinya secara tersirat dan kami berusaha untuk memahaminya saja.
Cinta segitiga tersirat dan terselubung. Ya seperti itulah aku menyebutnya.
Ares dengan segala pesonanya menjebak hati Sisi. Sahabat kecilku itu akhirnya mengakui kalo dia jatuh cinta pada Ares. Sisi memang nggak pernah curhat padaku kalo dia menyukai Ares, tapi sebagai sahabat yang kenal betul siapa Sisi, aku nggak terlalu susah buat menangkap ada satu bentuk perasaan yang dikhususkan Sisi untuk Ares dari binar matanya saat dia menatap cowok itu.
Sisi pun berubah. Dari yang tadinya tomboy dan dandanannya serampangan perlahan feminine dan tertata. Sisi yang tadinya lebih sering ngomong tanpa dipikir berubah jadi orang yang mengombinasikan pikiran dulu baru bicara. Aku yakin semuanya karena Ares.
Lain Sisi, lain lagi aku.
Aku, si Azarya ini ternyata jatuh cinta dengan Sisi. Perasaanku jungkir balik tiap berdekatan dengannya. Tadinya, aku berusaha menyangkal tapi setelah aku cari tahu, aku nggak bisa mengelak lagi kalo memang aku menyukai Sisi tapi aku nggak tega melihat Sisi terluka. Fakta bodoh yang aku dapat adalah Ares justru menyimpan rasa pada Aura—lagi-lagi lewat pengamatanku—si primadona sekolah yang mau nggak mau bakal menyakiti hati Sisi. Jangan sampai itu terjadi dan untunglah memang nggak terjadi karena Ares kudung hijrah ke Jepang.
“Kita makan dulu ya di resoran favorit kita. Aku laper banget nih”.
Aku sadar, ‘kita’ yang dimaksud Sisi barusan adalah kami bertiga. Mendengar permintaan Sisi, aku Cuma tersenyum dan langsung mengiyakan. Semua aku lakukan buat mengembalikan lagi keceriaan Sisi yang sebenarnya belum bisa aku temukan hingga detik ini.

======ooo00ooo======

Sampailah kami di Mon Ami, restoran favorit kami. Ares yang mengenalkan kami pada restoran ini. Ares memang orang yang ‘nyeni’ kalo bicara soal restoran. Instingnya bekerja dengan baik untuk memburu restoran mana saja yang menyajikan makanan-makanan enak. Aku dan Sisi mengakui bakatnya itu.
Sisi terlihat memangku dagunya sembari menunggu pesanan makanan datang. Menu yang dia pesan sama seperti menu kesukaan Ares. Aku jadi berpikir kalo semua yang berhubungan dengan Ares adalah kebutuhan akut buat Sisi.
“Si...”, panggilku dengan hati-hati. Aku ingin mengajukan pertanyaan krusial buat Sisi.
“Hmmm....”, jawab Sisi, sepertinya dengan nada setengah hati.
Aku berpikir sejenak untuk memikirkan ulang pertanyaan yang sudah bercokol di otakku sekarang. Tapi kalo aku ingin mendapatkan kembali keceriaan Sisi, aku harus menanyakannya.
“Si, apa kamu nggak bisa lepas dari bayang-bayang Ares?”
Jantungku bertalu setelah aku berhasil menanyakan hal ini dan dua kali lipat bertalu ketika aku sadar reaksi Sisi menanggapi pertanyaanku berhasil memfokuskan tatapannya padaku.
“Maksud kamu?” tanya Sisi dingin dan datar.
“Aku punya banyak maksud, Si”.
Terpaksa aku melepaskan peluru ketidaksukaanku tentang hal-hal yang berbau Ares yang membuat keceriaan Sisi hilang setelah cowok itu pergi. Tapi, aku juga sadar kalo kepergiaan Ares bukan keinginannya. Siapa suruh jadi anak staf kedutaan luar negeri!
“Dunia belum kiamat kalo pun Ares ninggalin kita. Besok pagi, Matahari terbitnya masih di timur jadi jangan habisin waktu kamu buat terus dihantui dengan segala hal tentang Ares”.
Aku mulai bisa membaca gelagat kejengkelan dalam nada bicaraku, namun setelah itu aku cuma bisa diam dan menelan ludah. Sebaliknya, Sisi malah tersenyum padaku.
“Aku? Dihantui segala macam hal tentang Ares?” Sisi malah balik bertanya padaku, bahkan menodongkan apa yang aku katakan tadi.
“Emang kenyatannya gitu kan?” tegasku dengan nada kayak orang bego.
Aku memperhatikan guratan sumringah yang lebih lebar di wajah Sisi. Entahlah, mungkin senyumnya itu disebabkan setelah Sisi melihat reaksi bego sahabatnya ini.
“Kenapa senyum-senyum nggak jelas kayak gitu. Aku serius nih”, gerutuku dengan membayangkan pastilah sekarang wajahku sudah memerah.
Sisi berhenti tersenyum. Sekarang dia menatapku dengan serius. Binar matanya begitu antusias.
“Ini yang aku tunggu, Zar”.
Yang ditunggu?? Aku membatin.
“Ya, momen ini yang aku tunggu. Momen dimana seharusnya kamu protes tentang gelagatku yang aneh”, ujar Sisi, “dan...momen pembuktian”.
“Pembuktian? Pembuktian apa?” tanyaku penasaran.
Aneh. Mendadak tubuhku tegang dan mengunci dengan sendirinya. Aku mencoba untuk tenang serta mengatur ulang pernapasanku yang porak-poranda karena mendengar kata ‘pembuktian’ dari Sisi barusan.
“Pembuktian....kalo kamu jatuh cinta sama aku”.
Mendengar ucapan Sisi, aku tertegun. Oh, Tuhan, Sisi berhasil menanggalkan rahasia terdalam yang aku simpan untuknya. Tapi darimana dia tahu kalo aku jatuh cinta padanya? Aku nggak pernah cerita pada siapa pun bahkan pada Ares sebelum kepergiannya.
Aku terus saja terdiam. Aku tertunduk kaku, bingung bercampur malu. Sementara aku masih sibuk menata ulang perasaanku, pelayan datang membawakan menu pesanan kami.
“Zar...”, panggil Sisi setelah pelayan berlalu. “Sekarang, aku pengen tau yang sebenernya, langsung dari mulut kamu sendiri. Bener kamu jatuh cinta sama aku?”
Aku mendongakkan kepala dan menatap Sisi dengan seraut wajahnya yang menunggu jawabanku. Aku ingin banget segera mengiyakan tapi semua kenangan tentang persahabatan kami nggak mungkin bisa aku abaikan begitu saja. Segala semangat yang memuncak, kesedihan yang mencuat, tawa lepas dan lainnya yang sudah kami bertiga lewati. Bagaimana kalo setelah aku berkata yang sejujurnya, Sisi justru malah menjauhi aku?
“Apa itu penting buat dijawab?”
“Aku cuma butuh jawaban, Zar. Ya atau nggak”.
“Ya, jawabku beberapa detik kemudian. Aku mengalah dan kalah dengan perasaanku. “Aku jatuh cinta sama kamu, Si”.
Ada rasa puas dari senyuman Sisi setelah mendengar jawabanku. Sebaliknya, aku dipenuhi rasa bersalah karena aku harus mengakui cintaku padanya yang nantinya bakal membuat persahabatan kami terasa canggung dan aneh.
“Tenang aja, Zar, semuanya bakal baik-baik aja kok”, ujar Sisi seperti memahami kekhawatiranku. “Dan kamu tau, Zar kalo aku....juga jatuh cinta sama kamu”.
Seketika mataku sedikit membeliak. Sekarang, ada senyum spontan yang nggak bisa dia tahan. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran gadis ini? Aku menggerutu. Belum cukup dia membuat aku kalah dengan ‘memaksaku’ memproklamirkan perasaanku padanya. Sekarang dia malah mengolok-olok aku dengan bilang kalo dia juga jatuh cinta padaku!!
“Kamu nggak percaya?” tanya Sisi begitu melihat reaksiku yang spertinya nggak peduli dengan apa yang dia katakan. “Gelagat anehku selama ini, itu semata-mata karena aku pengen kamu tau kalo aku suka sama kamu. Dan Ares adalah zona aman yang bisa membantu aku menyelesaikan misi itu. Kamu ini nggak peka banget sih!”
Aku sungguhan kaget. Jadi, selama ini akulah yang lemot dan nggak sadar kalo ada tawaran cinta yang diberikan padaku dan orang itu Sisi. Semua bentuk ketergantungan akut Sisi terhadap Ares cuma petunjuk bagiku supaya aku tahu kalo dia menyukaiku dan membuka lebar mataku untuk mengakui kalo aku pun menyukainya...
Aku belum tahu bakal seperti apa hubunganku dengan Sisi nantinya.Dalam hati, aku memang patut merasa bersyukur ditakdirkan memiliki Ares dan Sisi dalam kehidupanku. Aku masih ingin mengulang semua momen kebersamaan kami. Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami; aku, Sisi dan Ares.
Semuanya berkesan, semuanya tentang kita kan? Gumamku dalam hati.

======ooo00oo=======

Tidak ada komentar:

Posting Komentar