Di rumah Ringgo, jam 21.00 wib.
“Kak, disuruh Ibu masuk tuh”, ujar
Nina adiknya. “Ngapain sih duduk-duduk nggak jelas sambil ngeliatin langit
nggak penting kayak gitu”.
Ringgo menoleh ke arah Nina. “Iya,
bentar lagi, Nin”.
“Ya udah, entar jangan lupa kunci
pintu ya?”
Ringgo mengangguk. “Udah sana buruan
tidur”.
Ringgo hampir dua jam duduk di
terasnya selepas makan malam tadi. Ada yang mengganggu pikirannya, beberapa
hari belakangan ini. Apalagi kalo malam datang. Kalo siang Ringgo sedikit
disibukkan dengan kegiatannya sehari-hari; sekolah dan jadi tukang cuci steam
motor jadi dia nggak terlalu terbawa suasana pikirannya. Tapi kalo malam
datang, debat batin itu terus menghantuinya.
“Apa karena aku orang miskin, makanya
kamu nggak mau nerima aku, Dila”.
Dila!
Ya, Dila yang membuat pikirannya
tersita ditiap malam belakangan ini. Dulu, sebelum Ringgo menyatakan cintanya
buat Dila, yang jadi debat Ringgo cuma— apa dia harus bilang rasa sukanya pada
Dila. Apa Dila bakal menerima cintanya atau nggak. Tapi setelah dia menyatakan
cintanya pada gadis itu, yang jadi perdebatan Ringgo, kenapa Dila nggak
menerimanya! Waktu ditanya, Dila nggak menjawab.
Ringgo heran dengan sikap Dila. Gadis
itu, menolak cintanya tanpa alasan. Tapi kalo begitu kenapa Dila seolah seperti
menerima perhatiannya. Selama ini, Dila akrab dengannya dan Duta, sahabatnya.
Bahkan, Ringgo bisa memastikan waktu kebersamaannya dengan Dila jauh lebih
banyak ketimbang kebersamaannya dengan Duta. Dila sering curhat padanya,
menggerutu nggak jelas, bahkan tiap ketemu dengannya Dila seperti baterai yang
baru dicharge, selalu semangat.
Kenapa sih, Dil. Kenapa kamu nggak mau
nerima aku? Ringgo membatin.
&
Di rumah Duta, jam 21.00 wib.
Dalam satuan waktu yang sama—sama
seperti Ringgo—Duta juga sedang menikmati angin malam di teras rumahnya. Duta
tercenung sendiri di beranda teras rumahnya. Matanya nanar menatap nuansa warna
hitam digantungan langit yang begitu luas. Bintang-bintang sepertinya saling
berebutan mengisi satu tempat di langit dan memancarkan kerlap-kerlipnya. Bulan
nggak mau kalah. Sang dewi malam juga tanpa enggan memberi sinar pucatnya. Duta
merasa semua komponen penghias malam ini begitu saling melengkapi, saling
berbagi. Kalo mereka hidup, pastilah mereka sangat senang karena terus bisa
terus bersama-sama.
“Duta, ayo buruan masuk”, ujar Oma.
“Ntar masuk angin lho kalo kelamaan di luar. Angin malem nggak bagus buat
kesehatan”.
“Iya, Oma. Bentar lagi Duta masuk kok.
Oma duluan aja”, sahut Duta.
&
Rumah
Ringgo, pagi harinya.
Suasana rumah Ringgo, terlihat sibuk
setiap paginya. Semua aktifitas mereka bakal berputar seperti biasanya. Bapak
kerja lagi jadi juru parkir. Ibu ikut-ikutan kerja juga, jadi tukang cuci dan
setrika di rumah tetangga sekitar rumah. Ibunya bekerja tentunya setelah
selesai mengerjakan tugas beberes rumah. Sementara Ringgo dan Nina menuju
sekolah.
“Kok sarapannya telur mata sapi sih?”
gerutu Ringgo setelah dia bergabung dengan ayah, ibu dan Nina yang sudah lebih
dulu berada di meja makan. “Sekali-sekali roti bantal dikasih selai sama
segelas susu bisa kan jadi sarapan pagi?!”
“Kak Ringgo kenapa sih?” tanya Nina.
“Biasanya juga Kak Ringgo nggak pernah protes sama sarapan yang dibuat ibu!”
“Sarapan yang itu-itu aja, lama-lama
bosen juga, Nin”, sahut Ringgo dengan cueknya pada Nina, tapi sorot matanya
persis seperti singa yang mau menelan mangsanya hidup-hidup.
Nina baru saja mau menjawab Ringgo
lagi, tapi keburu dicegah Ibu dengan mimik muka menahan. Ringgo sebenarnya siap
mementahkan lagi ucapan Nina kalo saja adiknya itu menjawabnya lagi.
“Ya, udah entar sore Bapak beli roti
bantal sama susu buat sarapan kita besok pagi, “ ujar Bapak mencoba bijak.
“Ayo,buruan sarapan. Nanti kamu telat lho ke sekolahnya”.
“Nggak, Pak”, jawab Ringgo ketus.
“Ringgo jadi nggak selera lagi buat sarapan, Ringgo langsung berangkat aja”.
Mendengar ucapan Ringgo yang telah
melengos pergi tanpa pamit dan cium tangan lagi seperti yang selalu dia
lakukan, membuat Bapak, Ibu dan Nina saling pandang. Dalam hati masing-masing
mereka bertanya, ada apa dengan Ringgo?
Sepanjang perjalanan menuju sekolah,
Ringgo menyesali perbuatannya tadi. Kenapa dia bisa marah-marah nggak jelas?
Benar yang dibilang oleh Nina, bukannya selama ini dia nggak pernah merasa
protes dengan menu sarapan yang disajikan Ibu di meja makan?? Sekalipun itu
nasi ditemani ikan asin dan sambel terasi!
&
Di sekolah,
saat jam istirahat.
“Dila..., tunggu!!” seru seseorang.
Kepala Ringgo menoleh cepat ke arah
orang yang namanya disebut. Sekarang Ringgo dan Duta berada persis di depan
pintu kelas mereka.
“Masih mikirin Dila?” tanya Duta penuh
selidik. Ringgo cuma bisa menghela napas. “Udahlah, kan banyak cewek lain yang
bisa kamu lo jadiin pacar. Kan nggak seru lagi, kalo udah kayak gini
kejadiannya. Lo sama dia diem-dieman. Kesannya canggung!”
“Lo bisa aja bilang kayak gitu. Tapi
rasa suka nggak gampang buat didapetin. Lahirnya dari hati”, sahut Ringgo
sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Dan gue kadung suka sama Dila”, lanjut Ringgo
lagi. Tapi jauh dalam hatinya, ada perasaan kesal bukan kepalang yang dia
alamatkan buat Duta, sahabatnya itu.
Patah hatinya jadi dua kali lipat
bertambah setelah Ringgo nggak sengaja mendengar obrolan Dila dengan dua
sahabatnya, Chelsa dan Pupu tadi di koridor ruang guru sebelum dia menuju ruang
kelasnya, setibanya dia di sekolah. Mungkin kah ini jadi alasan Dila menolak
cintanya?
“Nyantai, Bro. Rileks dong”, ujar Duta
seraya menenangkan. “Tapi kenapa ya, Dila nolak lo, padahal kan kalian udah
deket?” tanya Duta sambil mengerutkan dahi dan menyatukan alisnya.
“Dia suka sama cowok lain kali!” jawab
Ringgo sekenanya. “Makanya dia nolak gue. Tapi yang jelas, cowok itu beruntung
banget dapet cintanya Dila. Cinta yang seharusnya gue pengen”.
“Cowok lain? Siapa?” Duta balik
bertanya. “Dia kan sering curhat sama lo, apa dia nggak pernah cerita kalo ada
cowok yang dia taksir?”
Ringgo nggak menggubris lagi
pertanyaan Duta. Dia malas membahas cowok yang disuka sama cewek yang justru
dia suka, yang sayangnya cowok itu sahabatnya sendiri!! Duta.
“Lo dengerin gue ngomong nggak sih,
Go?” desak Duta.
“Iya, gue denger lo ngomong”.
“Terus lo tau nggak siapa cowok yang
Dila suka itu? Dia nggak pernah cerita sama lo?”
“Dia emang nggak pernah cerita sama gue,
tapi gue tau siapa cowok itu”, jawab Ringgo dingin ke arah Duta. “Cowok yang
disuka sama Dila itu, lo!”
Duta kaget bukan kepalang. “Gue? Kok
gue?”
Ringgo mengedikkan bahu.
“Mungkin lo sempurna kali di mata
Dila, makanya dia jatuh cinta sama lo”, ujar Ringgo. Dalam hatinya, Ringgo juga
merasa iri pada Duta. “Lo kan ganteng, pinter lagi. Nggak heran semua cewek di
sekolah naksir dan pengen deket sama lo, termasuk Dila. Iya kan?”
“Lo juga ganteng, pinter. Dua kali
lipat dari gue malah”.
“Tapi ada kriteria yang ada dalam diri
lo yang nggak ada sama gue”, ujar Ringgo pada Duta. Duta langsung terus
memancangkan raut muka penasaran, menunggu Ringgo bicara lagi. “Lo tajir alias
orang kaya. Sedangkan gue? Siapa lagi yang mau dengan cowok anak yang Bapaknya
juru parkir dan Ibunya jadi tukang cuci-setrika di rumah tetangga, terus yang
tiap pulang sekolah harus jadi tukang cuci steam motor supaya biar terus bisa
sekolah?”
“Kok lo ngomong kayak gitu sih, Go?”,
Duta menjawab ucapan Ringgo. Duta menangkap ada nada skeptis saat Ringgo bicara
barusan. “Gue nggak sempurna lagi...”
Ringgo memandang Duta lekat-lekat. Apa
maksudnya? Batin Ringgo. Justru menurut Ringgo, Duta sudah tergolong sempurna.
Ganteng, otak ada isinya, ramah sama semua orang, supel, kaya lagi. Kurang apa
coba? Cewek mana yang nggak suka sama cowok dengan tipe sekomplit Duta? Jadi
nggak heran dong kalo Dila suka sama Duta dan memilih menolak cintanya?!
“Gue nggak kayak lo, Go”, ujar Duta
pada Ringgo. “Gue malah pengen banget kayak lo. Lo punya keluarga. Lo punya
Ayah dan Ibu juga...adik cewek yang cantik”, lanjut Duta seraya tersenyum
mengingat Ringgo punya adik yang memang cantik. “Keluarga lo hangat ditengah
semua yang kalian hadapi. Tapi gue? Gue cuma punya Oma dan Opa yang ngebesarin
gue dari gue umur enam bulan”.
Mendadak Ringgo terenyuh mendengar
ucapan Duta barusan. Iya, Duta hanya diasuh oleh Oma dan Opanya sejak Ayah dan
Ibunya meninggal akibat kecelakaan mobil. Ringgo juga teringat saat Duta
bilang, kalo dia benar-benar ingin tahu bagaimana suara Ayah dan Ibunya, dia
ingin banget mendengar suara mereka meskipun cuma sekali. Dan tentunya, Ringgo
nggak pernah lupa kalo Duta pernah menangis ketika Duta bercerita padanya kalo
Duta benar-benar merindukan Ayah dan Ibunya. Kalo dibandingkan dengan Duta,
memang hidupnya jauh lebih sempurna diantara ketidaksempurnaan yang dia alami.
“Kalo gue jadi lo, gue nggak butuh
semua yang lo bilang ‘sempurna’ itu. Gue bahkan rela menukarnya asal gue bisa
ketemu dan dibesarin sama orang tua gue”, ujar Duta dengan mata berkaca-kaca.
“Duta, sorry gue...”
Duta tersenyum. “Nggak pa-pa kok, Go.
Nyantai aja lagi”.
Ringgo baru sadar, kalo keluarganya
adalah yang terpenting. Jauh lebih penting daripada memiliki pacar atau sekedar
hidup mewah dan berkecukupan. Keluarga satu-satunya tempat dia mendapatkan
dukungan penuh, dan yang paling bisa menerima kekurangan dalam dirinya.
Sekelebat melintas raut wajah Bapak, Ibu juga Nina di pikiran Ringgo. Ada rasa
penyesalan yang teramat sangat dalam hati Ringgo kepada mereka. Dia sangat
egois tadi pagi dan Ringgo ingin banget bertemu dengan mereka serta meminta
maaf.
&
Jalanan,persis
di depan gerbang sekolah.
Ringgo sudah nggak sabar lagi tiba di
rumah. Sepanjang pelajaran tadi, dia terus merangkai kata-kata yang tepat untuk
meminta maaf. Setibanya nanti dia di rumah, Ringgo bakal langsung minta maaf
dengan Ibu dan Nina serta Bapak sore harinya. Dalam hati, Ringgo harus merasa
berterima kasih pada Duta karena telah membuka hatinya yang tertutup karena
keegoisan sesaat.
Tapi....
Ada apa itu? Kenapa ada banyak
kerubungan orang di sisi jalan raya itu? tanya Ringgo dalam hati.
Akhirnya, Ringgo memutuskan ikut
melihat, sebenarnya apa yang terjadi diantara orang-orang itu. Ternyata, ada
orang tertabrak mobil dan meninggal!!
Kasian
banget orang ini? Ucap Ringgo dalam hati. Tapi tunggu...orang itu kan...orang
itu aku!!!
Ternyata, jasad orang yang ditabrak
itu, Ringgo. Ya, Ringgo yang tadinya begitu semangat, ternyata meninggal akibat
mobil barang yang membawa sebuah lemari es. Mobil itu melaju dengan sangat
kencang saat melintas di depan sekolah. Namun, sayangnya Ringgo nggak melihat
mobil itu melaju saat dia tanpa hati-hati menyebrang jalan untuk menaiki angkot
yang dipanggilnya tadi.
“Kenapa, jadi kayak gini?” tanya
Ringgo lirih pada diri sendiri. Dia masih belum bisa percaya kalo dia sudah
nggak bernyawa. Tapi keberadaan rohnya yang sudah terpisah dari tubuhnya, telah
menjawab pertanyaannya itu. “Tuhan, aku ingin minta maaf sama Bapak, Ibu juga
Nina. Tapi kenapa, malah Engkau cabut nyawaku??”
Ringgo cuma bisa tepekur sendiri,
menyesali kesalahannya. Dia nggak peduli lagi meskipun orang-orang bertambah
banyak mengerubungi jasadnya, termasuk Duta dan Dila.
Sekarang, Ringgo hanya bisa berharap
kiranya Tuhan mau memberi maafNya dari surga atas kesalahan yang dia perbuat
dan mau mengabulkan keinginannya untuk meminta maaf kepada keluarganya yang dia
sakiti, entah dengan cara apapun.
“Waktu kamu sudah habis”, sapa dua
malaikat yang datang menjemputnya.
Ringgo
menoleh dan pasrah ketika dia digiring ke alam yang jauh dari dunia...
&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar