Jumat, 11 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di Tabloid GAUL :: MAAF DARI SURGA


Di rumah Ringgo, jam 21.00 wib.
          “Kak, disuruh Ibu masuk tuh”, ujar Nina adiknya. “Ngapain sih duduk-duduk nggak jelas sambil ngeliatin langit nggak penting kayak gitu”.
          Ringgo menoleh ke arah Nina. “Iya, bentar lagi, Nin”.
          “Ya udah, entar jangan lupa kunci pintu ya?”
          Ringgo mengangguk. “Udah sana buruan tidur”.
          Ringgo hampir dua jam duduk di terasnya selepas makan malam tadi. Ada yang mengganggu pikirannya, beberapa hari belakangan ini. Apalagi kalo malam datang. Kalo siang Ringgo sedikit disibukkan dengan kegiatannya sehari-hari; sekolah dan jadi tukang cuci steam motor jadi dia nggak terlalu terbawa suasana pikirannya. Tapi kalo malam datang, debat batin itu terus menghantuinya.
          “Apa karena aku orang miskin, makanya kamu nggak mau nerima aku, Dila”.
          Dila!
          Ya, Dila yang membuat pikirannya tersita ditiap malam belakangan ini. Dulu, sebelum Ringgo menyatakan cintanya buat Dila, yang jadi debat Ringgo cuma— apa dia harus bilang rasa sukanya pada Dila. Apa Dila bakal menerima cintanya atau nggak. Tapi setelah dia menyatakan cintanya pada gadis itu, yang jadi perdebatan Ringgo, kenapa Dila nggak menerimanya! Waktu ditanya, Dila nggak menjawab.
          Ringgo heran dengan sikap Dila. Gadis itu, menolak cintanya tanpa alasan. Tapi kalo begitu kenapa Dila seolah seperti menerima perhatiannya. Selama ini, Dila akrab dengannya dan Duta, sahabatnya. Bahkan, Ringgo bisa memastikan waktu kebersamaannya dengan Dila jauh lebih banyak ketimbang kebersamaannya dengan Duta. Dila sering curhat padanya, menggerutu nggak jelas, bahkan tiap ketemu dengannya Dila seperti baterai yang baru dicharge, selalu semangat.
          Kenapa sih, Dil. Kenapa kamu nggak mau nerima aku? Ringgo membatin.
                                                                                &
Di rumah Duta, jam 21.00 wib.
          Dalam satuan waktu yang sama—sama seperti Ringgo—Duta juga sedang menikmati angin malam di teras rumahnya. Duta tercenung sendiri di beranda teras rumahnya. Matanya nanar menatap nuansa warna hitam digantungan langit yang begitu luas. Bintang-bintang sepertinya saling berebutan mengisi satu tempat di langit dan memancarkan kerlap-kerlipnya. Bulan nggak mau kalah. Sang dewi malam juga tanpa enggan memberi sinar pucatnya. Duta merasa semua komponen penghias malam ini begitu saling melengkapi, saling berbagi. Kalo mereka hidup, pastilah mereka sangat senang karena terus bisa terus bersama-sama.
          “Duta, ayo buruan masuk”, ujar Oma. “Ntar masuk angin lho kalo kelamaan di luar. Angin malem nggak bagus buat kesehatan”.
          “Iya, Oma. Bentar lagi Duta masuk kok. Oma duluan aja”, sahut Duta.
                                                                                &
Rumah Ringgo, pagi harinya.
          Suasana rumah Ringgo, terlihat sibuk setiap paginya. Semua aktifitas mereka bakal berputar seperti biasanya. Bapak kerja lagi jadi juru parkir. Ibu ikut-ikutan kerja juga, jadi tukang cuci dan setrika di rumah tetangga sekitar rumah. Ibunya bekerja tentunya setelah selesai mengerjakan tugas beberes rumah. Sementara Ringgo dan Nina menuju sekolah.
          “Kok sarapannya telur mata sapi sih?” gerutu Ringgo setelah dia bergabung dengan ayah, ibu dan Nina yang sudah lebih dulu berada di meja makan. “Sekali-sekali roti bantal dikasih selai sama segelas susu bisa kan jadi sarapan pagi?!”
          “Kak Ringgo kenapa sih?” tanya Nina. “Biasanya juga Kak Ringgo nggak pernah protes sama sarapan yang dibuat ibu!”
          “Sarapan yang itu-itu aja, lama-lama bosen juga, Nin”, sahut Ringgo dengan cueknya pada Nina, tapi sorot matanya persis seperti singa yang mau menelan mangsanya hidup-hidup.
          Nina baru saja mau menjawab Ringgo lagi, tapi keburu dicegah Ibu dengan mimik muka menahan. Ringgo sebenarnya siap mementahkan lagi ucapan Nina kalo saja adiknya itu menjawabnya lagi.
          “Ya, udah entar sore Bapak beli roti bantal sama susu buat sarapan kita besok pagi, “ ujar Bapak mencoba bijak. “Ayo,buruan sarapan. Nanti kamu telat lho ke sekolahnya”.
          “Nggak, Pak”, jawab Ringgo ketus. “Ringgo jadi nggak selera lagi buat sarapan, Ringgo langsung berangkat aja”.
          Mendengar ucapan Ringgo yang telah melengos pergi tanpa pamit dan cium tangan lagi seperti yang selalu dia lakukan, membuat Bapak, Ibu dan Nina saling pandang. Dalam hati masing-masing mereka bertanya, ada apa dengan Ringgo?
          Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Ringgo menyesali perbuatannya tadi. Kenapa dia bisa marah-marah nggak jelas? Benar yang dibilang oleh Nina, bukannya selama ini dia nggak pernah merasa protes dengan menu sarapan yang disajikan Ibu di meja makan?? Sekalipun itu nasi ditemani ikan asin dan sambel terasi!
                                                                                &
Di sekolah, saat jam istirahat.
          “Dila..., tunggu!!” seru seseorang.
          Kepala Ringgo menoleh cepat ke arah orang yang namanya disebut. Sekarang Ringgo dan Duta berada persis di depan pintu kelas mereka.
          “Masih mikirin Dila?” tanya Duta penuh selidik. Ringgo cuma bisa menghela napas. “Udahlah, kan banyak cewek lain yang bisa kamu lo jadiin pacar. Kan nggak seru lagi, kalo udah kayak gini kejadiannya. Lo sama dia diem-dieman. Kesannya canggung!”
          “Lo bisa aja bilang kayak gitu. Tapi rasa suka nggak gampang buat didapetin. Lahirnya dari hati”, sahut Ringgo sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Dan gue kadung suka sama Dila”, lanjut Ringgo lagi. Tapi jauh dalam hatinya, ada perasaan kesal bukan kepalang yang dia alamatkan buat Duta, sahabatnya itu.
          Patah hatinya jadi dua kali lipat bertambah setelah Ringgo nggak sengaja mendengar obrolan Dila dengan dua sahabatnya, Chelsa dan Pupu tadi di koridor ruang guru sebelum dia menuju ruang kelasnya, setibanya dia di sekolah. Mungkin kah ini jadi alasan Dila menolak cintanya?
          “Nyantai, Bro. Rileks dong”, ujar Duta seraya menenangkan. “Tapi kenapa ya, Dila nolak lo, padahal kan kalian udah deket?” tanya Duta sambil mengerutkan dahi dan menyatukan alisnya.
          “Dia suka sama cowok lain kali!” jawab Ringgo sekenanya. “Makanya dia nolak gue. Tapi yang jelas, cowok itu beruntung banget dapet cintanya Dila. Cinta yang seharusnya gue pengen”.
          “Cowok lain? Siapa?” Duta balik bertanya. “Dia kan sering curhat sama lo, apa dia nggak pernah cerita kalo ada cowok yang dia taksir?”
          Ringgo nggak menggubris lagi pertanyaan Duta. Dia malas membahas cowok yang disuka sama cewek yang justru dia suka, yang sayangnya cowok itu sahabatnya sendiri!! Duta.
          “Lo dengerin gue ngomong nggak sih, Go?” desak Duta.
          “Iya, gue denger lo ngomong”.
          “Terus lo tau nggak siapa cowok yang Dila suka itu? Dia nggak pernah cerita sama lo?”
          “Dia emang nggak pernah cerita sama gue, tapi gue tau siapa cowok itu”, jawab Ringgo dingin ke arah Duta. “Cowok yang disuka sama Dila itu, lo!”
          Duta kaget bukan kepalang. “Gue? Kok gue?”
          Ringgo mengedikkan bahu.
          “Mungkin lo sempurna kali di mata Dila, makanya dia jatuh cinta sama lo”, ujar Ringgo. Dalam hatinya, Ringgo juga merasa iri pada Duta. “Lo kan ganteng, pinter lagi. Nggak heran semua cewek di sekolah naksir dan pengen deket sama lo, termasuk Dila. Iya kan?”
          “Lo juga ganteng, pinter. Dua kali lipat dari gue malah”.
          “Tapi ada kriteria yang ada dalam diri lo yang nggak ada sama gue”, ujar Ringgo pada Duta. Duta langsung terus memancangkan raut muka penasaran, menunggu Ringgo bicara lagi. “Lo tajir alias orang kaya. Sedangkan gue? Siapa lagi yang mau dengan cowok anak yang Bapaknya juru parkir dan Ibunya jadi tukang cuci-setrika di rumah tetangga, terus yang tiap pulang sekolah harus jadi tukang cuci steam motor supaya biar terus bisa sekolah?”
          “Kok lo ngomong kayak gitu sih, Go?”, Duta menjawab ucapan Ringgo. Duta menangkap ada nada skeptis saat Ringgo bicara barusan. “Gue nggak sempurna lagi...”
          Ringgo memandang Duta lekat-lekat. Apa maksudnya? Batin Ringgo. Justru menurut Ringgo, Duta sudah tergolong sempurna. Ganteng, otak ada isinya, ramah sama semua orang, supel, kaya lagi. Kurang apa coba? Cewek mana yang nggak suka sama cowok dengan tipe sekomplit Duta? Jadi nggak heran dong kalo Dila suka sama Duta dan memilih menolak cintanya?!
          “Gue nggak kayak lo, Go”, ujar Duta pada Ringgo. “Gue malah pengen banget kayak lo. Lo punya keluarga. Lo punya Ayah dan Ibu juga...adik cewek yang cantik”, lanjut Duta seraya tersenyum mengingat Ringgo punya adik yang memang cantik. “Keluarga lo hangat ditengah semua yang kalian hadapi. Tapi gue? Gue cuma punya Oma dan Opa yang ngebesarin gue dari gue umur enam bulan”.
          Mendadak Ringgo terenyuh mendengar ucapan Duta barusan. Iya, Duta hanya diasuh oleh Oma dan Opanya sejak Ayah dan Ibunya meninggal akibat kecelakaan mobil. Ringgo juga teringat saat Duta bilang, kalo dia benar-benar ingin tahu bagaimana suara Ayah dan Ibunya, dia ingin banget mendengar suara mereka meskipun cuma sekali. Dan tentunya, Ringgo nggak pernah lupa kalo Duta pernah menangis ketika Duta bercerita padanya kalo Duta benar-benar merindukan Ayah dan Ibunya. Kalo dibandingkan dengan Duta, memang hidupnya jauh lebih sempurna diantara ketidaksempurnaan yang dia alami.
          “Kalo gue jadi lo, gue nggak butuh semua yang lo bilang ‘sempurna’ itu. Gue bahkan rela menukarnya asal gue bisa ketemu dan dibesarin sama orang tua gue”, ujar Duta dengan mata berkaca-kaca.
          “Duta, sorry gue...”
          Duta tersenyum. “Nggak pa-pa kok, Go. Nyantai aja lagi”.
          Ringgo baru sadar, kalo keluarganya adalah yang terpenting. Jauh lebih penting daripada memiliki pacar atau sekedar hidup mewah dan berkecukupan. Keluarga satu-satunya tempat dia mendapatkan dukungan penuh, dan yang paling bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Sekelebat melintas raut wajah Bapak, Ibu juga Nina di pikiran Ringgo. Ada rasa penyesalan yang teramat sangat dalam hati Ringgo kepada mereka. Dia sangat egois tadi pagi dan Ringgo ingin banget bertemu dengan mereka serta meminta maaf.
                                                                                &
Jalanan,persis di depan gerbang sekolah.
          Ringgo sudah nggak sabar lagi tiba di rumah. Sepanjang pelajaran tadi, dia terus merangkai kata-kata yang tepat untuk meminta maaf. Setibanya nanti dia di rumah, Ringgo bakal langsung minta maaf dengan Ibu dan Nina serta Bapak sore harinya. Dalam hati, Ringgo harus merasa berterima kasih pada Duta karena telah membuka hatinya yang tertutup karena keegoisan sesaat.
          Tapi....
          Ada apa itu? Kenapa ada banyak kerubungan orang di sisi jalan raya itu? tanya Ringgo dalam hati.
          Akhirnya, Ringgo memutuskan ikut melihat, sebenarnya apa yang terjadi diantara orang-orang itu. Ternyata, ada orang tertabrak mobil dan meninggal!!
Kasian banget orang ini? Ucap Ringgo dalam hati. Tapi tunggu...orang itu kan...orang itu aku!!!
          Ternyata, jasad orang yang ditabrak itu, Ringgo. Ya, Ringgo yang tadinya begitu semangat, ternyata meninggal akibat mobil barang yang membawa sebuah lemari es. Mobil itu melaju dengan sangat kencang saat melintas di depan sekolah. Namun, sayangnya Ringgo nggak melihat mobil itu melaju saat dia tanpa hati-hati menyebrang jalan untuk menaiki angkot yang dipanggilnya tadi.
          “Kenapa, jadi kayak gini?” tanya Ringgo lirih pada diri sendiri. Dia masih belum bisa percaya kalo dia sudah nggak bernyawa. Tapi keberadaan rohnya yang sudah terpisah dari tubuhnya, telah menjawab pertanyaannya itu. “Tuhan, aku ingin minta maaf sama Bapak, Ibu juga Nina. Tapi kenapa, malah Engkau cabut nyawaku??”
          Ringgo cuma bisa tepekur sendiri, menyesali kesalahannya. Dia nggak peduli lagi meskipun orang-orang bertambah banyak mengerubungi jasadnya, termasuk Duta dan Dila.
          Sekarang, Ringgo hanya bisa berharap kiranya Tuhan mau memberi maafNya dari surga atas kesalahan yang dia perbuat dan mau mengabulkan keinginannya untuk meminta maaf kepada keluarganya yang dia sakiti, entah dengan cara apapun.
          “Waktu kamu sudah habis”, sapa dua malaikat yang datang menjemputnya.
Ringgo menoleh dan pasrah ketika dia digiring ke alam yang jauh dari dunia...
                                                                                &

Tidak ada komentar:

Posting Komentar