Selasa, 08 Desember 2009

:: CERPEN: Lagi dimuat ANEKA YESS! :: MASALAH LUPA INGATAN


MASALAH LUPA INGATAN
Oleh : Nora Joentak                                 


          Ingatan itu sangat berharga….

        Febri benar-benar gila dengan ide cerita yang sedang dia buat sekarang untuk cerpennya kali ini. Kepalanya bakal pusing kalau tak cepat-cepat dituang dalam bentuk naskah. Jadilah dia duduk di kursi belajarnya dan mulai mengarang dengan segenap hati. Febri masih terbilang penulis pemula karena baru tiga bulan ini memberanikan diri mengirim cerpen-cerpennya ke media. Tadinya menulis cuma bagian dari hobi dari imajinasi-imajinasi liarnya tapi sekarang jadi begitu menggiurkan ketika sudah mendapatkan honor yang lumayan. Febri termasuk penulis yang beruntung—dari tiga bulan petualangannya sebagai penulis, sudah lima cerpennya mejeng di media. Yah..balada dari cerpenis amatiranlah…Senangnya bukan kepalang.
          Febri tak pernah menuangkan ceritanya langsung ke layar komputer. Alasannya sih klise, dari yang tak nyeni lah, tak bisa kemana-manalah alias terlalu statis karena dia tak punya laptop belum lagi paperless—maklum sebagai penulis pemula, Febri masih mengharapkan kritik dari siapa saja yang dia paksa buat membaca cerpennya. Nah, untuk mengakalinya, Febri membeli satu buku yang lumayan tebal untuk kumpulan cerpen yang ditulisnya. Buku itu sudah lecek di sana-sini karena sering dibolak-balik, penuh coretan salah tulis, salah meletakkan kalimat, hingga kritikan orang lain. Kalau dia rasa cerpen yang dia buat itu sesuai syarat, barulah Febri mengetiknya di komputer terus mengirimkannya. Entah itu lewat email yang lebih praktis atau harus bercapek-capek ria ke kantor pos dalam bentuk print out. Semua tergantung keinginan media.
          Febri berharap sekali media yang bakal dia kirimkan cerpennya kali ini mau bersudi hati membaca dan meloloskan cerpennya itu karena Febri mau membelikan sesuatu untuk Oma tercintanya yang bakal berulang tahun sebentar lagi. Uang tabungan Febri belum terlalu cukup untuk membelikan hadiah itu. Hadiah yang diinginkan Oma tanpa pernah Omanya umbar. Febri pernah menangkap rasa ingin yang membuncah di mata Oma kala itu dan Febri ingin sekali mewujudkannya.
                                                                         &
          Kesatuan emosi cerita dibangun Febri dengan begitu indah. Pembukaan yang meneror mengajak satu persatu kalimat demi kalimat ke dalam ceritanya. Terlalu semangat dan terobsesinya Febri untuk menyelesaikan cerpennya itu sampai-sampai tangannya berusaha untuk mensejajari jalinan cerita yang sudah bercokol di pikirannya. Ditiga perempat cerita—atau tepatnya ketika Febri membuat konflik yang menggreget—Febri dipaksa berhenti.
          “Aduh ada apa sih sih?” gerutu Febri.
          Ternyata Oma tercintanya memanggilnya. Suara Oma yang cempreng sangat jelas dia dengar, sekalipun Febri berada di kamar. Entah sebuah kelebihan atau justru kebalikannya yang jelas Oma bisa dengan mudah memanggil siapa pun dengan sekali tarikan napas, hehehe…
          Febri mendapati sang Oma yang ada di beranda teras belakang rumah. Oma tengah duduk menikmati sore—setiap harinya selalu begitu—sembari minum teh, bermaksud ingin membaca majalah Mama yang dibeli kemarin. Tapi itu belum terlaksana….
          “Ada apa, Oma? Gangguin aja deh, entar lupa lagi apa yang ada di kepala Febri?”
          “Kamu liat nggak kacamata Oma di mana?” tanya Oma.
          Febri mendesah napas panjang. Terpaksa dia harus membantu Oma mencari kacamatanya yang raib. Tak mungkin minta bantuan Mama dan Mbok Inah yang nyata-nyata sekarang ada di supermarket buat belanja bulanan. Atau Papa yang mungkin lagi presentasi di kantor, apalagi Kak Arvan yang lagi latihan karate.
          “Terakhir kali, Oma pakenya di mana?” Febri bertanya sekedar ingin meminta petunjuk untuk mencari.
          “Pas bangun tidur tadi, masih Oma pake terus Oma sholat. Udah dari situ nggak tau lagi deh, Oma lupa”.
          “Ya udah, Febri cari dulu ya”.
          Febri sudah punya satu kemungkinan terkuat kemana raibnya kacamata Oma itu. Tempat itu pasti kamar mandi. Tertinggal saat wudhu. Secepat mungkin, Febri menuju kamar mandi di kamar Oma dan benar saja, kacamata itu berada di sisi bak mandi. Teronggok hampir kebasahan karena air—yang mengucur pelan dari kran—hampir memenuhi bak.
          “Ini, Oma”, kata Febri sembari menyodorkan kacamata yang dicari-cari itu. “Oma naruhnya di kamar mandi. Mungkin ketinggalan pas Oma wudhu”.
          “Oiya, Oma inget”, Oma meraih kacamatanya.
          “Makanya, Oma diinget dong di mana ngeletakin barangnya. Jangan sampe lupa”, Febri mulai berceloteh seperti biasanya. Terkadang penyakit pikun Omanya ini yang membuatnya geleng-geleng kepala sendiri.
          “Ya namanya juga udah tua, Feb. Udah pikun, ingatan itu udah jauh berkurang. Kamu nantinya juga gitu kalo udah tua”.
Meski kesannya mengamini tapi jauh dalam hati Febri dia bilang amit-amit kalo dia sampai jadi pikun yang justru bakal merepotkan orang lain.
                                                                         &
          Febri kembali ke kamarnya dan melanjutkan ceritanya yang sempat terlewatkan karena harus mencari dulu kacamata sang Oma. Semenit memandang ulang naskah yang dia buat tadi, tak juga menambah deretan kalimat tambahan. Dua menit berjalan, Febri membolak-balik buku itu. Dia jadi jengkel sendiri kenapa mendadak dia tak bisa melanjutkannya. Dan menit ketiga, Febri menghempaskan tubuh jangkungnya ke atas ranjang. Sejenak dia menerawang langit-langit kamarnya, berusaha menggali kelanjutan jalan cerita.
          Menit pertama…menit kedua…dan menit ketiga…
          Rasa kantuk menyergap Febri, dia pun tertidur.
                                                                         &
          Febri tersadar, dan ketika telah membuang sisa-sisa ketidaksadarannya, dia malah menciptakan satu kehebohan. Dia telat bangun!!
          Febri tak sadar kalo hari sudah berganti, pagi menjelang. Matahari telah mengintip dari balik jendela kamarnya. Dia bertanya dalam hati disela-sela kesibukannya mengenakan seragam sekolah seusai mandi, sudah berapa lama dia tertidur? Kenapa dia lupa bangun? Bukankah sebelum memejamkan mata, dia sedang berjuang menyelesaikan cerita pendeknya? Tapi pertanyaan yang paling mendasar, kenapa dia bisa tertidur begitu lama dan tak ada yang membangunkannya?
          Aaaarrrrgggghhh…..apa yang terjadi sih? Gerutunya dalam hati sembari buru-buru berangkat ke sekolah.
          Sesampainya di sekolah, Febri sedikit merasa lega bisa melewati gerbang dengan selamat. Hampir saja dia terlambat. Kalo saja, dia nggak melewati gerbang sekolah satu detik sebelum Pak Satpam menutupnya, dijamin tak bakal ada siswa yang bernama Febri Auliani yang duduk manis di bangkunya saat ini.
          Pelajaran pertama bakal dimulai. Langkah mantap Pak Anton di koridor beberapa meter dari kelas mengisyaratkan pelajaran Matematika bakal membuat seluruh rambut lurus murid-murid jadi keriting—yang keriting kemungkinan tambah melingkar, hehehe..
          “Baik, anak-anak. Kumpulkan PR yang saya kasih dua hari yang lalu!” kata Pak Anton seusainya dia meletakkan buku yang dia bawa ke atas meja.
PR?? Batin Febri..
          Febri lupa kalo hari ini, PR itu dikumpul. Kenapa dia bisa lupa mengerjakan PR itu? Febri hanya bisa pasrah dan mendesah sambil menanti hukuman yang bakal diterimanya sebentar lagi.
          Dunia Febri jungkir balik hari ini, banyak keanehan yang dia dapat. Dalam hatinya, dia berharap tak bakal ada lagi, kejadian yang terlewatkan olehnya hingga dia tak perlu merasa sial.
          Sekarang, Febri duduk bersama, ketiga sahabatnya; Almira, Calista, dan Dinar di kantin sekolah. Mereka bercanda seperti biasanya. Febri bisa sedikit melupakan kesialannya hari ini. Di tengah-tengah candaan yang mereka ciptakan, tanpa disengaja Febri menubruk pandang mata Frandy, pacarnya. Tatapan mata Frandy dingin, dan tentu saja mengundang rasa ingin tahu Febri. Meski hari ini, dia belum menyapa Frandy atau pun mengahampiri Frandy di kelasnya, tapi tak seperti biasanya Frandy tak tersenyum sekedar sebagai bentuk rasa sayangnya pada Febri.
          Kenapa ya dengan Frandy? Batin Febri membuncah ingin tahu bercampur kecewa.
          Ketika sudah berada di kelas—ketika waktu istirahat telah habis—barulah Febri ingat apa yang membuat Frandy tak menegornya hari ini. Dia melupakan hari ulang tahun Frandy kemarin!!!
          Sejuta penyesalan menyesaki hati Febri, kenapa dia bisa melupakan hari istimewa itu. Alih-alih memberikan hadiah yang berkesan, mengucapkan selamat ulang tahun pada Frandy saja dia lupa. Jadi, rasanya pantas kalo Frandy mendiamkan dia hari ini! Sepulang sekolah nanti, Febri ingin meminta maaf, dan berharap Frandy mau memaafkannya.
          “Fran, tunggu!!!”
          Frandy tadinya ingin menghindar secepat mungkin tapi langkah Febri yang setengah berlari mengehentikannya.
          “Maafin aku ya?”
          “Maaf buat apa?” tanya Frandy dingin.
          “Maafin aku…iya aku salah karena udah lupa hari ulang tahun kamu kemarin”, timpal Febri cepat.
          Frandy hanya menatap Febri datar tanpa mengatakan apapun, semakin membuat Febri merasa bersalah. Sensasi perasaan bersalah Febri semakin bertambah, setelah Frandy tak menggubrisnya lagi. Cowok itu malah melengos pergi begitu saja.
          “Frandy…!!!” Febri berusaha berteriak sekeras mungkin, tapi Frandy tak juga menghiraukannya…
                                                                         &
          Febri tersadar….
          Itu sedikit dari cerita yang tanpa sengaja diciptakan memory otak Febri dalam mimpinya. Tak ada telat bangun, tak ada hukuman karena tak membuat PR Matematika. Hubungannya dengan Frandy juga masih baik-baik saja—dia jadi sadar kalo besok memang ulang tahun Frandy yang ke 18. Dia tak ingin sampai melupakan hari jadi Frandy itu—semua hanya mimpi.
          Sekarang dia masih mengenakan pakaian yang sama sebelum tanpa sadar memejamkan mata tadi. Cerita pendeknya yang butuh penyelesain juga masih teronggok di atas meja begitu saja. Memory Febri lah yang mengantarkannya untuk mengingat kenapa semua kejadian mimpi tadi seperti perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan. Takabur kalo dia tak ingin jadi pikun di usia uzurnya nanti, padahal itu bagian dari siklus hidup. Dia tahu, dia mencintai Omanya yang tercinta tapi kenapa dia tak berusaha mencintai semua kekurangan Oma yang sekarang jauh lebih pikun dari sebelumnya. Masalah lupa ingatan—atau tepatnya proses ingatan yang memudar itu—yang dialaminya meski hanya dalam mimpi telah menyadarkan Febri kalo tak ada manusia yang sempurna sampai diakhir hayatnya…dan betapa Tuhan itu maha adil.
          Ternyata benar, kalo ingatan itu sangat berharga karena ingatanlah yang membuat manusia memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
                                                                         &


                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar