MEMORY TENTANG AZARYA
Oleh : Nora Joentak
Pagi
menjelang. Sinar Matahari menerobos masuk tanpa permisi melalui celah-celah
jendela kamarku. Aku berusaha untuk menyesuaikan mataku terlebih dulu dan
mengerjap-ngerjap. Tampak sesekali aku menguap melawan sisa rasa kantukku. Aku
mengedarkan pandang ke sekeliling kamarku. Kuperhatikan dari ranjang tempatku
berbaring ke jam weker yang terpajang manis di atas meja belajarku. Pukul 07.00
pagi. Perutku keroncongan.
Semalam tiba-tiba saja aku terserang
demam. Tubuhku mendadak lemas dan aku langsung tahu reaksi apa yang akan
dihadirkan oleh ibuku yang super heboh. Maklumlah ibu adalah tipe orang yang
gampang panik kalau aku sakit, oke aku ralat, maksudku untuk ketiga anaknya.
Padahal semalam demamku nggak terlalu tinggi kok. Cuma naik setengah derajat
dari suhu tubuh orang normal, 37 derajat-tentu saja diukur dari skala Celcius.
Tapi masalahnya, aku orangnya lemah banget padahal hanya terserang demam
rendah. Untunglah, pagi ini aku sudah baikan. Obat penurun demam yang diberi
padaku tadi malam ditambah istirahat semalaman membuat aku yakin kalo aku
sembuh pagi ini.
“Bu, bangun?”, aku menguncang-guncang bahu ibu yang
tertidur di sisi kiri ranjang. Kasihan ibu, gara-gara menungguiku semalaman,
dia jadi tertidur dengan posisi duduk bersandar. Bersisian langsung ketika aku
tidur. “Udah pagi, bu”.
Ibu terbangun.
“Kamu sudah bangun, Jen?” tanya ibu seraya telapak tangannya dengan aktif
menjamah dahiku. “Kamu sudah nggak demam lagi. Syukur deh”.
Aku tersenyum
menerima perhatian ibu. Aku beruntung dikirimkan oleh Tuhan seorang ibu sebaik ibuku meskipun terkadang aku
geleng-geleng kepala menghadapi sifat hebohnya itu.
“Iya, bu.
Jenah sudah baikan kok”, jawabku. “Jenah juga sudah cukup fit buat ke sekolah”.
Ibu
mengerutkan dahi. “Ke sekolah?”
Aku
mengangguk. Sangat yakin dengan keputusanku untuk sekolah hari ini.
“Kamu mau
ngapain ke sekolah?” tanya ibu lagi, sepertinya justru ibu yang ragu. “Hari ini
hari Minggu, Jen, jadi mana ada sekolah!”.
Oya?, pikirku.
Aku berusaha
bangkit dari ranjang dan berjalan untuk mengecek kelender yang ada di meja
belajarku.
Benar juga ternyata hari ini hari Minggu.
“Bu, Jenah
lapar..”, keluhku sambil memegangi perutku.
“Kamu lapar
ya, bentar kamu tunggu di sini aja. Ibu buatin bubur untuk kamu untuk sarapan
pagi”.
Aku memutar
kedua bola mataku sebagai reaksi ketidaksukaanku. “Bu, Jenah nggak suka bubur?
Jangan paksa Jenah makan bubur dong?” keluhku.
Ibu
menggeleng. “Kamu sakit, Jen. Dan lazimnya orang sakit itu makannya ya bubur”
“Bu…?”
Rengekku tertahan karena ibu sudah menyelaku.
“Jangan bantah
ibu, Jen. Ini demi kesehatan kamu. Kamu tau nggak sih kalo ibu khawatir sama
kamu!” Akhirnya aku nggak membantah dan memilih pasrah.
&
Ada baiknya
juga hari ini hari Minggu, setidaknya aku bisa memiliki waktu untuk memulihkan
kesehatanku. Tapi perlu digarisbawahi, ini berdasarkan saran ibuku. Jujur, kalo
bukan karena sakit dan perhatian ibu yang kelewat berlebih sejak aku bangun
tidur tadi, mungkin sekarang aku sudah melarikan diri, she’s very protective
of me now. Uuggh.. Aku bukan tipe orang yang betah di rumah kalo hari libur
datang. Biasanya kalo libur, aku akan menyambrangi toko buku langgananku atau
ke taman bacaan tempat aku menghabiskan waktu bahkan ke rumah Ruth, sahabatku.
Tapi kali ini….
Ponselku
berdering. Aku baru sadar kalo aku belum menyentuh ponsel sejak sepulang
sekolah kemarin. Ada sms dari Ruth.
Jen, hr
ini 1 thn meninggalnya Azarya…Qt jd kn ke makam Azarya?
Aku terkesiap setelah membaca sms yang dikirim oleh
Ruth itu. Tiba-tiba aku memutar kembali semua kenangan tentang Azarya. Mengapa
justru Ruth yang ingat setahun meninggalnya Azarya, mengapa aku nggak ingat
sama sekali. Kenangan bersamanya adalah kenangan yang paling nggak bisa aku
lupakan meskipun aku berusaha untuk melupakannya. Melupakan Azarya, itu bukan
yang aku ingin tapi berusaha dan mau aku lakukan.
Azarya adalah
pacarku di kelas dua dulu. Aku dan Azarya menjalin hubungan selama sembilan
bulan. Selama aku menjadi orang teristimewa untuknya, Azarya sangat perhatian
padaku. Dia membantu aku menjadi orang yang lebih baik. Aku beruntung membangun
kisah bersamanya.
Tapi dua
minggu sebelum Azarya meninggal, itulah hari-hari yang paling membuat aku
merasa bersalah. Di dua minggu terakhir itu, aku dan Azarya bertengkar hebat.
Sebenarnya, masalah itu aku yang membesar-besarkan. Sepele banget, aku cemburu
melihat kedekatan Azarya dengan Selda. Padahal aku tahu Selda cuma sahabatnya,
jauh sebelum aku dan Azarya menjalin hubungan khusus. Tapi aku nggak kuat
melihat kedekatan mereka yang dulu aku jamin bukan hanya sekedar persahabatan.
Hubunganku
dengan Selda juga nggak berjalan dengan baik. Semuanya jadi kaku. Entah siapa
yang memulai-aku atau dia, yang jelas aku tahu Azarya lah yang menjadi
perantara diantara kami kalo pun terjadi percakapan. Benar-benar payah. Aku
nggak pernah yakin bisa menjalin hubungan pertemanan dengannya mengingat raut
wajahnya yang sulit aku artikan. Kadang kaku, cuek bahkan nggak peduli aku ada
disekitarnya atau nggak. Pokoknya kesannya secara garis besar aku artikan dia
nggak menyukaiku. Pepatah bila rupa bisa membunuh ternyata benar!
Sekarang lebih parah sejak Azarya meninggal, aku dan Selda nggak pernah ngobrol
lagi.
Kembali ke
Azarya. Aku masih ingat raut wajah Azarya malam itu. Saat itulah, aku terakhir
kali bisa melihatnya dalam keadaan hidup!
Azarya memilin wajahnya dengan sedih ketika
mendatangi rumahku. Malam itu dia tetap berusaha untuk meyakinkan aku, entah
untuk keberapa kalinya. Hanya ketulusan yang dia bawa, tapi sayangnya aku nggak
peka dan nggak membiarkannya pulang dengan membawa kata maaf dariku.
Jelas-jelas aku tahu dia berharap aku mau memaafkannya. Ketika dia pulang hujan
sudah turun dengan derasnya.
“Aku mohon, kamu maafin aku, Jen? Aku dan Selda
murni sahabatan, kan kamu tahu itu?” Ini kalimat penjelasan Azarya
malam itu.
“Kalo
pun, kamu pikir kedekatan aku sama Selda itu diluar batas, aku minta maaf”. Ini kalimat permintaan maaf Azarya malam itu.
“Mungkin
aku bisa hidup tanpa kamu, Jen, tapi aku nggak mau hidup tanpa kamu”. Ini kalimat cinta Azarya yang begitu besar-yang
terakhir kali bisa aku dengar dengan jelas di telingaku. Aku sempat terbuai
mendengar kalimat ini meluncur dari bibirnya tapi aku nggak bergeming. Setelah
itu Azarya pamit dari rumahku, bahkan pamit dari hidupku untuk selamanya…
&
Tanah makam
Azarya memang nggak berwarna merah lagi, malah rumput-rumput kecil sudah tumbuh
disekitarnya. Aku dan Ruth melantunkan doa untuk Azarya yang sekarang berada di
dunia yang berbeda (Aku berhasil
membujuk ibu untuk membiarkanku pergi ke makam Azarya, untunglah Ruth
menjemputku).
Bodohnya aku yang nggak bisa melihat ketulusan dari
permintaan maafnya.
Bukan!
Azarya nggak
salah, tapi aku yang kelewat cemburu. Cemburu yang justru melenyapkan hari-hari
bersamanya untuk selamanya.
“Nggak terasa
waktu cepet banget berlalu. Udah setahun Azarya ninggalin kita”, kata Ruth
menghela napas. Praktis Ruth menjadi sahabat Azarya sejak aku dan Azarya
pacaran. Aku mendongak menatap Ruth. Aku menarik bibir, membentuk senyum tipis.
“Aku merasa
bersalah, Ruth. Bahkan sampe sekarang. Seandainya aku nggak bersikeras malam
itu, mungkin kecelakaan motor itu nggak menimpa Azarya”, aku ngeri membayangkan
motor yang dikendarai Azarya malam itu ternyata harus hancur akibat kecelakaan.
Ruth menepuk-nepuk bahuku setelah terlebih dulu merangkul bahuku. Aku tahu Ruth
berusaha untuk menyemangati aku yang sekarang sedang bersedih.
Langit mendung
sore ini, beda sekali saat pagi tadi. Sangat mewakili suasana hatiku yang
kelabu. Bagaimana aku bisa melupakan Azarya sementara aku merasa ikut
bertanggung jawab karena menghilangkan jiwanya. Aku memupuskan penjelasannya,
aku menolak permintaan maafnya bahkan aku menganggap enteng cintanya padaku.
“Udahlah, Jen. Jangan bebani perasaan kamu
dengan perasaan bersalah terus-terusan. Kamu harus bangkit dan kamu bisa ambil
sisi positifnya”, kata Ruth padaku. “Kamu harus lebih dewasa dalam memafkan
orang lain dan belajar untuk dewasa menghadapi masalah terutama mengatasi rasa
cemburu kamu yang menjadi-jadi itu”.
Ruth nggak
sungkan mengatakan ini padaku, tanpa bermaksud menyakiti perasaanku sekarang.
Ruth benar! Aku harus bangkit dari perasaan bersalahku dan aku yakin, Azarya
pun nggak ingin aku hidup dihantui oleh perasaan bersalah terhadapnya.
“Dan satu lagi
yang perlu kamu ubah…”, kata Ruth padaku. Kalimatnya menggantung, membuat aku
merasa penasaran.
“Apa?”,
tanyaku.
“Kamu harus
buka hati kamu terhadap orang lain. Kamu berhak dapat seseorang yang sama
baiknya kayak Azarya,” katanya. “Berusahalah”.
Aku mendengar dengan sangat jelas saran
Ruth ini. Tapi masalahnya apa aku bisa melupakan Azarya dengan segala cinta dan
kasih sayangnya yang dia berikan selama ini padaku, bahkan kalo pun aku
berusaha untuk belajar melupakannya?
Masa depan
cintaku…, aku nggak akan pernah tahu akan berakhir seperti apa. Karena pada
dasarnya masa depan adalah misteri untukku. Seseorang dibentuk oleh ambisi kalo
berbicara tentang masa depan, ditambah kenyataan-kenyataan yang berlangsung
sekarang dan juga ditumpuk berdasarkan masa lalu, setidaknya itulah anggapanku.
Tapi penyesalanku tentu nggak ada artinya, karena nggak akan mengembalikan
Azarya ke dunia nyata!
“Kamu emang
bener, Ruth tapi aku nggak bisa dengan mudah ngelakuinnya”.
Ruth menghela
napas panjang. “Kan tadi menekankan kata berusaha. Aku tau itu emang nggak
mudah buat kamu. Kamu jangan mencampur perasaan cinta serta perasaan bersalah
kamu terhadap Azarya dengan kemungkinan untuk dapat penggantinya. Itu egois,
Jen”. Aku menatap Ruth. Mencoba memahami rasa keprihatinan yang dia tujukan
padaku. Aku yakin mulai dari sekarang, aku akan mengalami pergolakkan batin
terhadap kenyataan!
“Ruth…”,
kataku.
“Apa?”
“Mana yang
lebih penting, merasa sayang atau mendapatkan perhatian?”
Ruth melepas rangkulannya dari bahuku dan
menatapku tanpa menjawab. Dahinya mengerut. Aku menunggu dia menjawab
pertanyaanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, tetap menunggu karena sebenarnya
aku juga bingung mengapa mengapa aku melontarkan pertanyaan ini…
&
nora shbt q,.
BalasHapussuka bgt ma ne cerita,.
ending dr prtanyaan itu hampir sm dengan hati q,.
lbh baik mencintai atau dicintai,..
smga suatu saat atau secepatnya akan ada ending bt q,..
slmat y nor...