Selasa, 08 Desember 2009

:: CERPEN: Selanjutnya dimuat lagi sama ANEKA YESS! :: MEMORY TENTANG AZARYA


MEMORY TENTANG AZARYA
                                  Oleh : Nora Joentak                                 




          Pagi menjelang. Sinar Matahari menerobos masuk tanpa permisi melalui celah-celah jendela kamarku. Aku berusaha untuk menyesuaikan mataku terlebih dulu dan mengerjap-ngerjap. Tampak sesekali aku menguap melawan sisa rasa kantukku. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling kamarku. Kuperhatikan dari ranjang tempatku berbaring ke jam weker yang terpajang manis di atas meja belajarku. Pukul 07.00 pagi. Perutku keroncongan.
          Semalam tiba-tiba saja aku terserang demam. Tubuhku mendadak lemas dan aku langsung tahu reaksi apa yang akan dihadirkan oleh ibuku yang super heboh. Maklumlah ibu adalah tipe orang yang gampang panik kalau aku sakit, oke aku ralat, maksudku untuk ketiga anaknya. Padahal semalam demamku nggak terlalu tinggi kok. Cuma naik setengah derajat dari suhu tubuh orang normal, 37 derajat-tentu saja diukur dari skala Celcius. Tapi masalahnya, aku orangnya lemah banget padahal hanya terserang demam rendah. Untunglah, pagi ini aku sudah baikan. Obat penurun demam yang diberi padaku tadi malam ditambah istirahat semalaman membuat aku yakin kalo aku sembuh pagi ini.
“Bu, bangun?”, aku menguncang-guncang bahu ibu yang tertidur di sisi kiri ranjang. Kasihan ibu, gara-gara menungguiku semalaman, dia jadi tertidur dengan posisi duduk bersandar. Bersisian langsung ketika aku tidur. “Udah pagi, bu”.
Ibu terbangun. “Kamu sudah bangun, Jen?” tanya ibu seraya telapak tangannya dengan aktif menjamah dahiku. “Kamu sudah nggak demam lagi. Syukur deh”.
Aku tersenyum menerima perhatian ibu. Aku beruntung dikirimkan oleh Tuhan seorang  ibu sebaik ibuku meskipun terkadang aku geleng-geleng kepala menghadapi sifat hebohnya itu.
“Iya, bu. Jenah sudah baikan kok”, jawabku. “Jenah juga sudah cukup fit buat ke sekolah”.
Ibu mengerutkan dahi. “Ke sekolah?”
Aku mengangguk. Sangat yakin dengan keputusanku untuk sekolah hari ini.
“Kamu mau ngapain ke sekolah?” tanya ibu lagi, sepertinya justru ibu yang ragu. “Hari ini hari Minggu, Jen, jadi mana ada sekolah!”.
Oya?, pikirku.
Aku berusaha bangkit dari ranjang dan berjalan untuk mengecek kelender yang ada di meja belajarku.
 Benar juga ternyata hari ini hari Minggu.
“Bu, Jenah lapar..”, keluhku sambil memegangi perutku.
“Kamu lapar ya, bentar kamu tunggu di sini aja. Ibu buatin bubur untuk kamu untuk sarapan pagi”.
Aku memutar kedua bola mataku sebagai reaksi ketidaksukaanku. “Bu, Jenah nggak suka bubur? Jangan paksa Jenah makan bubur dong?” keluhku.
Ibu menggeleng. “Kamu sakit, Jen. Dan lazimnya orang sakit itu makannya ya bubur”
“Bu…?” Rengekku tertahan karena ibu sudah menyelaku.
“Jangan bantah ibu, Jen. Ini demi kesehatan kamu. Kamu tau nggak sih kalo ibu khawatir sama kamu!” Akhirnya aku nggak membantah dan memilih pasrah.
                                                             &
Ada baiknya juga hari ini hari Minggu, setidaknya aku bisa memiliki waktu untuk memulihkan kesehatanku. Tapi perlu digarisbawahi, ini berdasarkan saran ibuku. Jujur, kalo bukan karena sakit dan perhatian ibu yang kelewat berlebih sejak aku bangun tidur tadi, mungkin sekarang aku sudah melarikan diri, she’s very protective of me now. Uuggh.. Aku bukan tipe orang yang betah di rumah kalo hari libur datang. Biasanya kalo libur, aku akan menyambrangi toko buku langgananku atau ke taman bacaan tempat aku menghabiskan waktu bahkan ke rumah Ruth, sahabatku. Tapi kali ini….
Ponselku berdering. Aku baru sadar kalo aku belum menyentuh ponsel sejak sepulang sekolah kemarin. Ada sms dari Ruth.
Jen, hr ini 1 thn meninggalnya Azarya…Qt jd kn ke makam Azarya?
Aku terkesiap setelah membaca sms yang dikirim oleh Ruth itu. Tiba-tiba aku memutar kembali semua kenangan tentang Azarya. Mengapa justru Ruth yang ingat setahun meninggalnya Azarya, mengapa aku nggak ingat sama sekali. Kenangan bersamanya adalah kenangan yang paling nggak bisa aku lupakan meskipun aku berusaha untuk melupakannya. Melupakan Azarya, itu bukan yang aku ingin tapi berusaha dan mau aku lakukan.
Azarya adalah pacarku di kelas dua dulu. Aku dan Azarya menjalin hubungan selama sembilan bulan. Selama aku menjadi orang teristimewa untuknya, Azarya sangat perhatian padaku. Dia membantu aku menjadi orang yang lebih baik. Aku beruntung membangun kisah bersamanya.
Tapi dua minggu sebelum Azarya meninggal, itulah hari-hari yang paling membuat aku merasa bersalah. Di dua minggu terakhir itu, aku dan Azarya bertengkar hebat. Sebenarnya, masalah itu aku yang membesar-besarkan. Sepele banget, aku cemburu melihat kedekatan Azarya dengan Selda. Padahal aku tahu Selda cuma sahabatnya, jauh sebelum aku dan Azarya menjalin hubungan khusus. Tapi aku nggak kuat melihat kedekatan mereka yang dulu aku jamin bukan hanya sekedar persahabatan.
Hubunganku dengan Selda juga nggak berjalan dengan baik. Semuanya jadi kaku. Entah siapa yang memulai-aku atau dia, yang jelas aku tahu Azarya lah yang menjadi perantara diantara kami kalo pun terjadi percakapan. Benar-benar payah. Aku nggak pernah yakin bisa menjalin hubungan pertemanan dengannya mengingat raut wajahnya yang sulit aku artikan. Kadang kaku, cuek bahkan nggak peduli aku ada disekitarnya atau nggak. Pokoknya kesannya secara garis besar aku artikan dia nggak menyukaiku. Pepatah bila rupa bisa membunuh ternyata benar! Sekarang lebih parah sejak Azarya meninggal, aku dan Selda nggak pernah ngobrol lagi.
Kembali ke Azarya. Aku masih ingat raut wajah Azarya malam itu. Saat itulah, aku terakhir kali bisa melihatnya dalam keadaan hidup!
Azarya memilin wajahnya dengan sedih ketika mendatangi rumahku. Malam itu dia tetap berusaha untuk meyakinkan aku, entah untuk keberapa kalinya. Hanya ketulusan yang dia bawa, tapi sayangnya aku nggak peka dan nggak membiarkannya pulang dengan membawa kata maaf dariku. Jelas-jelas aku tahu dia berharap aku mau memaafkannya. Ketika dia pulang hujan sudah turun dengan derasnya.
“Aku mohon, kamu maafin aku, Jen? Aku dan Selda murni sahabatan, kan kamu tahu itu?”  Ini kalimat penjelasan Azarya malam itu.
“Kalo pun, kamu pikir kedekatan aku sama Selda itu diluar batas, aku minta maaf”. Ini kalimat permintaan maaf Azarya malam itu.
“Mungkin aku bisa hidup tanpa kamu, Jen, tapi aku nggak mau hidup tanpa kamu”. Ini kalimat cinta Azarya yang begitu besar-yang terakhir kali bisa aku dengar dengan jelas di telingaku. Aku sempat terbuai mendengar kalimat ini meluncur dari bibirnya tapi aku nggak bergeming. Setelah itu Azarya pamit dari rumahku, bahkan pamit dari hidupku untuk selamanya…
                                                                &
Tanah makam Azarya memang nggak berwarna merah lagi, malah rumput-rumput kecil sudah tumbuh disekitarnya. Aku dan Ruth melantunkan doa untuk Azarya yang sekarang berada di dunia yang berbeda  (Aku berhasil membujuk ibu untuk membiarkanku pergi ke makam Azarya, untunglah Ruth menjemputku).
Bodohnya aku yang nggak bisa melihat ketulusan dari permintaan maafnya.
Bukan!
Azarya nggak salah, tapi aku yang kelewat cemburu. Cemburu yang justru melenyapkan hari-hari bersamanya untuk selamanya.
“Nggak terasa waktu cepet banget berlalu. Udah setahun Azarya ninggalin kita”, kata Ruth menghela napas. Praktis Ruth menjadi sahabat Azarya sejak aku dan Azarya pacaran. Aku mendongak menatap Ruth. Aku menarik bibir, membentuk senyum tipis.
“Aku merasa bersalah, Ruth. Bahkan sampe sekarang. Seandainya aku nggak bersikeras malam itu, mungkin kecelakaan motor itu nggak menimpa Azarya”, aku ngeri membayangkan motor yang dikendarai Azarya malam itu ternyata harus hancur akibat kecelakaan. Ruth menepuk-nepuk bahuku setelah terlebih dulu merangkul bahuku. Aku tahu Ruth berusaha untuk menyemangati aku yang sekarang sedang bersedih.
Langit mendung sore ini, beda sekali saat pagi tadi. Sangat mewakili suasana hatiku yang kelabu. Bagaimana aku bisa melupakan Azarya sementara aku merasa ikut bertanggung jawab karena menghilangkan jiwanya. Aku memupuskan penjelasannya, aku menolak permintaan maafnya bahkan aku menganggap enteng cintanya padaku.
 “Udahlah, Jen. Jangan bebani perasaan kamu dengan perasaan bersalah terus-terusan. Kamu harus bangkit dan kamu bisa ambil sisi positifnya”, kata Ruth padaku. “Kamu harus lebih dewasa dalam memafkan orang lain dan belajar untuk dewasa menghadapi masalah terutama mengatasi rasa cemburu kamu yang menjadi-jadi itu”.
Ruth nggak sungkan mengatakan ini padaku, tanpa bermaksud menyakiti perasaanku sekarang. Ruth benar! Aku harus bangkit dari perasaan bersalahku dan aku yakin, Azarya pun nggak ingin aku hidup dihantui oleh perasaan bersalah terhadapnya.
“Dan satu lagi yang perlu kamu ubah…”, kata Ruth padaku. Kalimatnya menggantung, membuat aku merasa penasaran.
“Apa?”, tanyaku.
“Kamu harus buka hati kamu terhadap orang lain. Kamu berhak dapat seseorang yang sama baiknya kayak Azarya,” katanya. “Berusahalah”.
Aku mendengar dengan sangat jelas saran Ruth ini. Tapi masalahnya apa aku bisa melupakan Azarya dengan segala cinta dan kasih sayangnya yang dia berikan selama ini padaku, bahkan kalo pun aku berusaha untuk belajar melupakannya?
Masa depan cintaku…, aku nggak akan pernah tahu akan berakhir seperti apa. Karena pada dasarnya masa depan adalah misteri untukku. Seseorang dibentuk oleh ambisi kalo berbicara tentang masa depan, ditambah kenyataan-kenyataan yang berlangsung sekarang dan juga ditumpuk berdasarkan masa lalu, setidaknya itulah anggapanku. Tapi penyesalanku tentu nggak ada artinya, karena nggak akan mengembalikan Azarya ke dunia nyata!
“Kamu emang bener, Ruth tapi aku nggak bisa dengan mudah ngelakuinnya”.
Ruth menghela napas panjang. “Kan tadi menekankan kata berusaha. Aku tau itu emang nggak mudah buat kamu. Kamu jangan mencampur perasaan cinta serta perasaan bersalah kamu terhadap Azarya dengan kemungkinan untuk dapat penggantinya. Itu egois, Jen”. Aku menatap Ruth. Mencoba memahami rasa keprihatinan yang dia tujukan padaku. Aku yakin mulai dari sekarang, aku akan mengalami pergolakkan batin terhadap kenyataan!
“Ruth…”, kataku.
“Apa?”
“Mana yang lebih penting, merasa sayang atau mendapatkan perhatian?”
Ruth melepas rangkulannya dari bahuku dan menatapku tanpa menjawab. Dahinya mengerut. Aku menunggu dia menjawab pertanyaanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, tetap menunggu karena sebenarnya aku juga bingung mengapa mengapa aku melontarkan pertanyaan ini…
                                                                         &


1 komentar:

  1. nora shbt q,.
    suka bgt ma ne cerita,.
    ending dr prtanyaan itu hampir sm dengan hati q,.
    lbh baik mencintai atau dicintai,..

    smga suatu saat atau secepatnya akan ada ending bt q,..

    slmat y nor...

    BalasHapus