Selasa, 08 Desember 2009

:: CERPEN: Awal-awal nulis di ANEKA YESS! :: PEMBAWA KABAR


   PEMBAWA KABAR
Oleh : Nora Joentak

             Dia berbeda! Aku juga nggak tahu kenapa dia bukan seperti anak SMA pada umumnya. Dia penyendiri dan membangun dunianya sendiri, tapi itulah yang membuat aku tertarik setengah mati. Ada apa dengan dia?
          Aku seolah menemukan sesuatu yang aneh ketika melihatnya dan terkadang aku bertanya, apa aku sedang merasakan suasana dengan kepekaan yang luar biasa? Berulang kali aku berusaha menekan perasaan penasaranku meski nyaris nggak mungkin bisa.
Dia melengkapi hari-hariku sejak kepindahannya ke sekolahku-tepatnya sejak dia menjadi teman kelasku, tepatnya dua bulan yang lalu.
          Namanya Azarya. Dia jarang menunjukkan raut wajah yang ceria aku malah nggak pernah melihat rona merah di pipinya sama seperti orang kalo sedang senang. Setiap istirahat tiba, dia lebih memilih duduk sendiri di bangku taman sekolah­-tanpa teman. Sikapnya ini lah yang jadi motivasi untukku memberanikan diri menyapanya dua minggu belakangan ini.
          Meski agak sulit diawal, tapi untung lah dia menerima dengan baik, maksudku menerima tawaranku untuk berteman.
                                                                            &
          Dua minggu aku mengenalnya, banyak sekali dari pribadinya yang sangat membuatku nggak habis pikir. Terkadang, dia bisa jadi anak yang paling manis dan ramah padaku tapi dia juga bisa tiba-tiba jadi anak yang paling menyebalkan yang pernah aku tahu.
          Jalan pikiran si Azarya ini ruwet untuk aku pahami. Dalam setiap mata pelajaran yang diberikan akan dengan cepat dia cerna namun dia bukan tipe orang yang bisa luwes berkompromi dengan keteraturan jam masuk sekolah. Dia selalu terlambat!
          Kalo pun dia terlambat, guru yang mengajar di jam pertama-siapa pun guru itu, nggak akan banyak berkomentar dan segera mempersilahkan dia untuk duduk Sekuat apa sih pesonanya hingga dia bisa melakukan itu?.

          “Jenah, mau tidak kamu menemani aku ke toko buku?” terdengar suara Azarya mengalun di telingaku ketika aku baru saja mau naik angkot yang sengaja aku stop. Dia ada di sampingku dengan ketampanan yang luar biasa.
          “Boleh aja, emang kapan mau perginya?” tanyaku.
          “Sekarang”, jawabnya. “Kita tunggu angkot berikutnya saja ya, itu sudah penuh?”
          Betul juga, ternyata angkot yang tadinya ingin aku naiki sudah pernuh sesak. Jujur, aku senang sekali bisa duduk bersisian langsung dengannya. Meskipun dia pendiam tapi dia cukup ramah padaku. Buktinya, selama perjalanan ke toko buku, dia kerap membalas senyuman yang sengaja aku lontarkan padanya.
          Tapi sebelum kami benar-benar sampai di toko buku, aku terlonjak kaget melihat angkot yang tadinya ingin aku naiki mengalami kecelakaan sehingga membuat kemacetan total di jalan raya!
          Aku segera menoleh ke arah Azarya dengan tatapan heran tapi dia membalasku dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Setelah kemacetan berhasil dilewati oleh angkot yang kami tumpangi, Azarya menyuruh supir angkot itu untuk berhenti. Lantas, dia memintaku untuk turun bersamanya. Kami malah menuju ke taman kota.
                                                                                     &
          “Maaf, Jen. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi tahu kamu supaya kamu jangan naik angkot yang mengalami kecelakaan tadi. Aku tahu, aku harus menyelamatkan kamu, itu makanya aku memakai alasan supaya kamu menemaniku ke toko buku dan meminta kamu buat menunggu angkot yang lain”.
          Aku mencermati kata-katanya yang terlalu baku untuk zaman sekarang ini. Raut wajahnya penuh penyesalan. Dia mulai mendudukkan dirinya di bangku taman.
          “Mungkin kali ini aku bisa menyelamatkan nyawa kamu, tapi aku tidak yakin untuk lain waktu…”, kata Azarya dengan tatapan mata sedih. “Karena takdir punya rencananya sendiri”.
          Takdir? Apa maksudnya?
          “Gimana kamu bisa tau kalo angkot itu bakal mengalami kecelakaan?” tanyaku bingung bercampur rasa penasaran yang membuncah.
          “Aku punya sesuatu…entahlah bisa dikatakan kekuatan supernormal”, jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di bangku taman. “Aku bisa tahu fenomena ganjil dan meramalkan yang akan terjadi. Aku seolah merasakan panasnya api di punggungku ketika aku melihat kamu hari ini”. Aku semakin bingung.
          “Para peneliti menyebut orang-orang seperti aku dengan sebutan indigo”.
Indigo??
          Aku sering mendengar orang-orang dengan sebutan ini, entah itu dari artikel di majalah atau koran, internet, buku bahkan infotainment pun pernah berulang kali membahasnya. Meramal masa depan, intelegensi tinggi, intuisi tajam dan sangat sensitive. Belum lagi sikap yang sering menyendiri atau asosial dengan orang lain, nggak suka keteraturan dan lain sebagainya.
          “Indigo?” tanyaku terbata.
          Azarya mengangguk pelan.
          “Tapi anehnya para peneliti sering menganggap ini sejenis penyakit”, katanya dengan senyum menyeringai, kalo boleh aku menafsirkannya sebagai senyuman skeptis. “Mereka berkata, kami dengan kategori ini memiliki gejala konsentrasi yang tidak terpusat. Lucu!”
          Dia sejenak mengedarkan pandangan ke semua penjuru taman, nggak banyak orang ada di taman kota sekarang-saat siang belum juga berganti sore. Disaat yang sama aku masih masih ingin mendengar kalimat-kalimat apalagi yang bakal meluncur dari bibirnya.
          “Kemampuan otak manusia yang paling unik adalah dapat menyimpan pengalaman, perasaan, dan pikirannya sendiri tapi aku lebih dari itu”, lanjutnya sambil menoleh ke arahku. “Aku bahkan tahu pengalaman kamu jatuh dari motor saat kamu pertama kali ingin mengendarainya, kamu bersumpah tidak akan pernah naik motor lagi. Aku juga bisa tahu pikiran kamu yang sekarang kagum dengan kelebihanku ini dan…perasaan suka yang lebih dari seorang teman yang kamu tujukan padaku”.
          Aku benar-benar kagum. Aku jadi merasa nggak punya celah sekedar untuk berbohong karena aku yakin Azarya pasti tahu semua tentang aku.
          “Aku tahu semuanya sejak awal. Rasa antusias kamu terhadapku dan sisi kebaikan kamu membuat aku nyaman ada di dekat kamu. Dan aku tahu kamu tulus”. Aku tersenyum kecil padanya.
          “Tapi tenang saja, mengenai membaca pikiran, aku hanya bisa lima puluh persen jadi kamu masih bisa menyimpan rahasia kalau kamu mau”, dia membalas senyumanku.
          “Aku boleh tau nggak anugerah apa aja yang kamu terima selain yang udah kamu sebutin tadi?”, tanyaku hati-hati. “Tapi kalo kamu nggak mau kasih tau aku nggak apa-apa kok, nggak jadi masalah”.
          Azarya menarik napas dalam-dalam dan menatapku sekilas sebelum menjawab. “Energi ini sangat berlebihan dan terkadang membuat aku jadi orang paling aneh. Aku bisa tahu perbuatan apa yang dilakukan seseorang dimasa lalunya, instingku juga kelewat tajam sehingga aku bisa dengan cepat tahu orang itu baik atau tidak, aku menjadikan kamu sebagai temanku dari tolok ukur ini. Terserah kamu mau percaya atau tidak”.
          “Aku percaya kok”, jawabku terburu-buru.
          “Aku merasa, aku kelewat tidak sempurna untuk menerima semua ini. Aku mampu memanipulasi otak kanan seseorang dan mempermainkan emosinya hanya dengan beberapa kali kerjapan mata”.
          Aku langsung mengaitkan apa yang baru saja dikatakan Azarya dengan respon tiap guru yang nggak pernah berkomentar banyak kalo dia selalu datang terlambat. Luar biasa, cowok tampan satu ini. Terlalu banyak anugerah yang harus dia tanggung. Azarya tersenyum manis padaku, dia pasti tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang.
          “Mungkin kamu kira aku aneh dengan gaya bahasaku yang tak lazim. Iya kan, Jen?” Dengan berat hati aku menganggukkan kepala.
          “Aku maklum kok, ini salah satu alasan kenapa aku terlihat seperti orang aneh. Kamu tahu, Jen, aku seolah pernah hidup di masa lampau tapi datang ke masa kini dengan perasaan ingin berbagi. Tapi sedikit sekali ada orang yang mau mengerti dengan keanehan yang aku dapat”, lanjutnya.
          Aku menatapnya lekat-lekat dan dia membalas tatapanku. Jauh lebih dalam. Aku mengamati bola matanya yang bukan hitam tapi cokelat. Lama sekali dia menatapku, lalu kemudian dia mengerjapkan mata sekali padaku dan akhirnya menundukkan kepala.
          “Kenapa? Kamu kenapa, Zar?” tanyaku. Terselip nada penasaran dalam pertanyaanku.   Azarya tak langsung menjawabku dan aku menunggu reaksinya.
Dia tersenyum kecil padaku. “Kamu cantik hari ini”, dia memujiku dan aku tersipu.
                                                                            &
          Inikah jawaban dari tatapan Azarya kemarin? Inikah kenapa sebabnya dia bilang aku cantik? Inikah jawaban dari pertanyaanku yang bernada penasaran itu?
          Aku sedih jika ini menjadi jawabannya!
          Aku baru sadar kenapa Azarya nggak bisa berjanji untuk terus melindungiku. Aku juga sadar bahwa kata-katanya benar, takdir punya rencananya sendiri.
          Aku sudah nggak tertolong lagi. Sebuah angkot menerjang tubuhku saat aku hendak menyebrang menuju gang rumahku beberapa menit yang lalu. Aku nggak memiliki waktu lagi dan bumi nggak memperkenankanku menginjakkan kaki. Aku sedih…
          Aku sedih karena aku sudah meninggalkan dunia ini sebagai seorang manusia, dan Azarya telah mengabarkannya padaku. Hanya saja Azarya nggak ingin aku merasa nggak rela kalo dia ternyata tahu waktu kematianku.
                                                                            &

Tidak ada komentar:

Posting Komentar