PEMBAWA KABAR
Oleh : Nora Joentak
Dia berbeda! Aku juga nggak tahu kenapa dia bukan seperti anak SMA pada
umumnya. Dia penyendiri dan membangun dunianya sendiri, tapi itulah yang
membuat aku tertarik setengah mati. Ada apa dengan dia?
Aku
seolah menemukan sesuatu yang aneh ketika melihatnya dan terkadang aku
bertanya, apa aku sedang merasakan suasana dengan kepekaan yang luar biasa?
Berulang kali aku berusaha menekan perasaan penasaranku meski nyaris nggak
mungkin bisa.
Dia melengkapi hari-hariku sejak kepindahannya ke
sekolahku-tepatnya sejak dia menjadi teman kelasku, tepatnya dua bulan yang
lalu.
Namanya
Azarya. Dia jarang menunjukkan raut wajah yang ceria aku malah nggak pernah
melihat rona merah di pipinya sama seperti orang kalo sedang senang. Setiap
istirahat tiba, dia lebih memilih duduk sendiri di bangku taman sekolah-tanpa
teman. Sikapnya ini lah yang jadi motivasi untukku memberanikan diri menyapanya
dua minggu belakangan ini.
Meski
agak sulit diawal, tapi untung lah dia menerima dengan baik, maksudku menerima
tawaranku untuk berteman.
&
Dua
minggu aku mengenalnya, banyak sekali dari pribadinya yang sangat membuatku
nggak habis pikir. Terkadang, dia bisa jadi anak yang paling manis dan ramah
padaku tapi dia juga bisa tiba-tiba jadi anak yang paling menyebalkan yang
pernah aku tahu.
Jalan
pikiran si Azarya ini ruwet untuk aku pahami. Dalam setiap mata pelajaran yang
diberikan akan dengan cepat dia cerna namun dia bukan tipe orang yang bisa
luwes berkompromi dengan keteraturan jam masuk sekolah. Dia selalu terlambat!
Kalo
pun dia terlambat, guru yang mengajar di jam pertama-siapa pun guru itu, nggak
akan banyak berkomentar dan segera mempersilahkan dia untuk duduk Sekuat apa
sih pesonanya hingga dia bisa melakukan itu?.
“Jenah,
mau tidak kamu menemani aku ke toko buku?” terdengar suara Azarya mengalun di
telingaku ketika aku baru saja mau naik angkot yang sengaja aku stop. Dia ada
di sampingku dengan ketampanan yang luar biasa.
“Boleh
aja, emang kapan mau perginya?” tanyaku.
“Sekarang”,
jawabnya. “Kita tunggu angkot berikutnya saja ya, itu sudah penuh?”
Betul
juga, ternyata angkot yang tadinya ingin aku naiki sudah pernuh sesak. Jujur,
aku senang sekali bisa duduk bersisian langsung dengannya. Meskipun dia pendiam
tapi dia cukup ramah padaku. Buktinya, selama perjalanan ke toko buku, dia
kerap membalas senyuman yang sengaja aku lontarkan padanya.
Tapi
sebelum kami benar-benar sampai di toko buku, aku terlonjak kaget melihat
angkot yang tadinya ingin aku naiki mengalami kecelakaan sehingga membuat
kemacetan total di jalan raya!
Aku
segera menoleh ke arah Azarya dengan tatapan heran tapi dia membalasku dengan
tatapan dingin tanpa ekspresi. Setelah kemacetan berhasil dilewati oleh angkot
yang kami tumpangi, Azarya menyuruh supir angkot itu untuk berhenti. Lantas,
dia memintaku untuk turun bersamanya. Kami malah menuju ke taman kota.
&
“Maaf,
Jen. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi tahu kamu supaya kamu
jangan naik angkot yang mengalami kecelakaan tadi. Aku tahu, aku harus
menyelamatkan kamu, itu makanya aku memakai alasan supaya kamu menemaniku ke
toko buku dan meminta kamu buat menunggu angkot yang lain”.
Aku
mencermati kata-katanya yang terlalu baku untuk zaman sekarang ini. Raut
wajahnya penuh penyesalan. Dia mulai mendudukkan dirinya di bangku taman.
“Mungkin
kali ini aku bisa menyelamatkan nyawa kamu, tapi aku tidak yakin untuk lain
waktu…”, kata Azarya dengan tatapan mata sedih. “Karena takdir punya rencananya
sendiri”.
Takdir?
Apa maksudnya?
“Gimana
kamu bisa tau kalo angkot itu bakal mengalami kecelakaan?” tanyaku bingung
bercampur rasa penasaran yang membuncah.
“Aku
punya sesuatu…entahlah bisa dikatakan kekuatan supernormal”, jawabnya sambil
menyandarkan punggungnya di bangku taman. “Aku bisa tahu fenomena ganjil dan
meramalkan yang akan terjadi. Aku seolah merasakan panasnya api di punggungku
ketika aku melihat kamu hari ini”. Aku semakin bingung.
“Para
peneliti menyebut orang-orang seperti aku dengan sebutan indigo”.
Indigo??
Aku sering
mendengar orang-orang dengan sebutan ini, entah itu dari artikel di majalah
atau koran, internet, buku bahkan infotainment pun pernah berulang kali
membahasnya. Meramal masa depan, intelegensi tinggi, intuisi tajam dan sangat
sensitive. Belum lagi sikap yang sering menyendiri atau asosial dengan orang
lain, nggak suka keteraturan dan lain sebagainya.
“Indigo?”
tanyaku terbata.
Azarya
mengangguk pelan.
“Tapi
anehnya para peneliti sering menganggap ini sejenis penyakit”, katanya dengan
senyum menyeringai, kalo boleh aku menafsirkannya sebagai senyuman skeptis.
“Mereka berkata, kami dengan kategori ini memiliki gejala konsentrasi yang
tidak terpusat. Lucu!”
Dia
sejenak mengedarkan pandangan ke semua penjuru taman, nggak banyak orang ada di
taman kota sekarang-saat siang belum juga berganti sore. Disaat yang sama aku
masih masih ingin mendengar kalimat-kalimat apalagi yang bakal meluncur dari
bibirnya.
“Kemampuan
otak manusia yang paling unik adalah dapat menyimpan pengalaman, perasaan, dan
pikirannya sendiri tapi aku lebih dari itu”, lanjutnya sambil menoleh ke
arahku. “Aku bahkan tahu pengalaman kamu jatuh dari motor saat kamu pertama
kali ingin mengendarainya, kamu bersumpah tidak akan pernah naik motor lagi.
Aku juga bisa tahu pikiran kamu yang sekarang kagum dengan kelebihanku ini
dan…perasaan suka yang lebih dari seorang teman yang kamu tujukan padaku”.
Aku
benar-benar kagum. Aku jadi merasa nggak punya celah sekedar untuk berbohong
karena aku yakin Azarya pasti tahu semua tentang aku.
“Aku
tahu semuanya sejak awal. Rasa antusias kamu terhadapku dan sisi kebaikan kamu
membuat aku nyaman ada di dekat kamu. Dan aku tahu kamu tulus”. Aku tersenyum
kecil padanya.
“Tapi
tenang saja, mengenai membaca pikiran, aku hanya bisa lima puluh persen jadi
kamu masih bisa menyimpan rahasia kalau kamu mau”, dia membalas senyumanku.
“Aku
boleh tau nggak anugerah apa aja yang kamu terima selain yang udah kamu sebutin
tadi?”, tanyaku hati-hati. “Tapi kalo kamu nggak mau kasih tau aku nggak
apa-apa kok, nggak jadi masalah”.
Azarya
menarik napas dalam-dalam dan menatapku sekilas sebelum menjawab. “Energi ini
sangat berlebihan dan terkadang membuat aku jadi orang paling aneh. Aku bisa
tahu perbuatan apa yang dilakukan seseorang dimasa lalunya, instingku juga
kelewat tajam sehingga aku bisa dengan cepat tahu orang itu baik atau tidak,
aku menjadikan kamu sebagai temanku dari tolok ukur ini. Terserah kamu mau
percaya atau tidak”.
“Aku
percaya kok”, jawabku terburu-buru.
“Aku
merasa, aku kelewat tidak sempurna untuk menerima semua ini. Aku mampu
memanipulasi otak kanan seseorang dan mempermainkan emosinya hanya dengan
beberapa kali kerjapan mata”.
Aku
langsung mengaitkan apa yang baru saja dikatakan Azarya dengan respon tiap guru
yang nggak pernah berkomentar banyak kalo dia selalu datang terlambat. Luar
biasa, cowok tampan satu ini. Terlalu banyak anugerah yang harus dia tanggung.
Azarya tersenyum manis padaku, dia pasti tahu apa yang sedang aku pikirkan
sekarang.
“Mungkin
kamu kira aku aneh dengan gaya bahasaku yang tak lazim. Iya kan, Jen?” Dengan
berat hati aku menganggukkan kepala.
“Aku
maklum kok, ini salah satu alasan kenapa aku terlihat seperti orang aneh. Kamu
tahu, Jen, aku seolah pernah hidup di masa lampau tapi datang ke masa kini
dengan perasaan ingin berbagi. Tapi sedikit sekali ada orang yang mau mengerti
dengan keanehan yang aku dapat”, lanjutnya.
Aku
menatapnya lekat-lekat dan dia membalas tatapanku. Jauh lebih dalam. Aku
mengamati bola matanya yang bukan hitam tapi cokelat. Lama sekali dia
menatapku, lalu kemudian dia mengerjapkan mata sekali padaku dan akhirnya
menundukkan kepala.
“Kenapa?
Kamu kenapa, Zar?” tanyaku. Terselip nada penasaran dalam pertanyaanku. Azarya tak langsung menjawabku dan aku
menunggu reaksinya.
Dia tersenyum kecil padaku. “Kamu cantik hari ini”,
dia memujiku dan aku tersipu.
&
Inikah
jawaban dari tatapan Azarya kemarin? Inikah kenapa sebabnya dia bilang aku
cantik? Inikah jawaban dari pertanyaanku yang bernada penasaran itu?
Aku
sedih jika ini menjadi jawabannya!
Aku
baru sadar kenapa Azarya nggak bisa berjanji untuk terus melindungiku. Aku juga
sadar bahwa kata-katanya benar, takdir punya rencananya sendiri.
Aku
sudah nggak tertolong lagi. Sebuah angkot menerjang tubuhku saat aku hendak
menyebrang menuju gang rumahku beberapa menit yang lalu. Aku nggak memiliki
waktu lagi dan bumi nggak memperkenankanku menginjakkan kaki. Aku sedih…
Aku
sedih karena aku sudah meninggalkan dunia ini sebagai seorang manusia, dan
Azarya telah mengabarkannya padaku. Hanya saja Azarya nggak ingin aku merasa
nggak rela kalo dia ternyata tahu waktu kematianku.
&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar