Selasa, 21 Desember 2010

Metamorfosis Quilla ( Dimuat Tabloid Gaul 19-26 Desember 2010)


“Hah…”        
          Quilla menghembuskan napas tragis di depan gerbang sekolah yang bertingkat tiga itu. Hembusan napas tadi mengartikan keengganan Quilla untuk sekolah. Bukan tanpa sebab dia merasa enggan, itu terjadi karena dia takut jadi pusat perhatian dari seluruh mata siswa yang menatapnya. Quilla sempat merutuki kenapa video-videonya bisa membuat petaka yang begitu mengejutkan untuk dia terima. Entah kenapa Quilla semakin yakin kalau bangunan sekolahnya itu seperti telah menunggu kedatangannya.
          “Oke, siapa lagi yang bakal minta dititipin salam dan minta tanda tangan?” ucap Quilla pelan pada diri sendiri.
          Barulah Quilla hendak melangkahkan kaki masuk ke sekolahnya itu, tiba-tiba saja ada orang yang meneriaki namanya. Widia yang bertubuh subur melambai-lambaikan tangannya ke arah Quilla. Cewek itu memang nggak mau mengubah kebiasaannya yang super-duper heboh itu. Selalu saja begitu, seolah-olah mereka sudah lama nggak ketemu. Sampai-sampai mengundang banyak mata yang melihat.
          “Quilla, sorry ya. Boleh nggak gue minta tolong lo ngasih ini ke Bayu Arnold?”
          Quilla tertegun sejenak tapi nggak urung dia terima juga surat yang disodorkan seorang siswa cewek padanya. Aduh, kalo begini terus kejadiannya, aku bakalan ketemu dia terus, pikir Quilla.
          “Ngapain tuh cewek?” tanya Widia begitu dia berhasil menghampiri Quilla.
          Quilla menunjukkan surat beramplop ungu pucat itu pada Widia jadi dia nggak perlu repot-repot menjelaskan karena Widia sudah pasti tahu jawabannya. Pikiran dan hati Quilla belum menemukan titik untuk saling bersinergi. Pikirannya mendebat kalo dia harus menghentikan semua kekonyolan ini karena dia sadar betul dia sudah dikenal oleh orang seantero sekolah ini, namun sayangnya hatinya membisikkan pesan kalo dia bisa jadi malaikat yang baik hati bagi orang-orang yang ingin berhubungan dengan Bayu Arnold.
          “Lo emang baik banget ya, La. Lo mau gitu, jadi perantara orang-orang yang pengen kenal lebih deket sama Bayu Arnold!” ujar Widia.
          “Lo udah sering ngomong kayak gitu ke gue, Wid,” jawab Quilla. “Lagian mau gimana lagi, gue juga bingung mau nolaknya. Entar gue dibilang sombong lagi.”
          Belum juga pelajaran dimulai, sudah satu surat diterima Quilla dan itu menggenapkan dua puluh sembilan surat yang ada di laci meja belajarnya. Bayu Arnold, memang telah sukses membuat dunia Quilla jungkir balik. Quilla yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak jadi orang yang paling dicari di sekolah. Bayu Arnold adalah seorang solois yang sedang naik daun. Perkenalannya dengan cowok itu terbilang unik tapi mungkin bukan satu-satunya perkenalan terunik diabad ini.
                                               = = = = oo00oo = = = =
          Siang itu—sebulan yang lalu, Quilla baru saja turun dari ojek yang mengantarkannya sepulang sekolah. Dia bisa melihat sebuah mobil sedan warna biru metalik berada di halaman rumahnya. Ada tamu rupanya, pikir Quilla. Tapi siapa tamu yang memakai mobil sedan yang masih kelihatan baru itu?
          Lalu, Quilla pun berjalan mantap menuju rumah untuk memastikan. Quilla memberi salam terlebih dulu sebelum akhirnya dia terkejut. Ternyata yang berkunjung itu Baru Arnold beserta dua orang cowok keren yang datang bersamanya. Mereka tampak tampan dengan balutan pakaian casual zaman sekarang. Dalam hatinya, Quilla bertanya-tanya dari mana mereka tahu rumahnya dan untuk apa mereka datang?!
          “Eh, kamu udah pulang, La?” sambut ibunya pada Quilla. “Kamu udah ditunggu lho sama mereka.”
          Quilla menatap satu persatu tiga cowok itu, lalu nggak lupa mengalihkan pandangannya pada ibu. Ibu mendadak jadi heboh begitu setelah mengenali satu diantara mereka adalah selebritis.
          “Hai, Quilla, “ ujar Bayu yang pertama kali menyapa Quilla. Cowok itu berdiri, lalu diikuti dua cowok yang lain. “Aku Bayu Arnold,” lanjutnya ramah sembari menyodorkan tangan hendak berjabat.
          “Quilla,” ujar Quilla turut memperkenalkan dirinya.
          Sensasi aneh masih menyelimuti Quilla tentang kehadiran tamu-tamu keren itu, terutama Bayu Arnold. Seolah ingin mengikuti apa yang dilakukan Bayu, dua cowok yang lain itu pun mengenalkan siapa diri mereka pada Quilla. Dari perkenalan itu, Quilla tahu kalo mereka bernama Koko dan Rafa.
          “Ada apa ya, mencari saya?” tanya Quilla dengan nada sopan.
          “Nyantai aja, La. Kamu nggak perlu kaku begitu dong, lagian kami bukan pejabat yang harus dihormati sampe segitunya,” ujar Koko sembari tersenyum.
          “Ya udah, tante pamit ke belakang dulu ya. Diterusin aja ngobrol-ngobrolnya,”ujar ibu pada tamu itu.
          Sepeninggal ibu yang berlalu dari ruang tamu, Quilla masih menunggu pertanyaannya dijawab.
          “Ada apa ya, kalian nyari aku?” ulang Quilla lagi, kali ini terdengar lebih santai.
          “Nggak ada apa-apa kok. Kita berdua cuma nemenin Bayu buat ketemu sama kamu,” pungkas Rafa menjawab mewakili kedua temannya.
          Merasa namanya disebut-sebut membuat Bayu tersenyum. Jauh dalam hatinya, Quilla terkesima dengan senyum cowok itu. Makin tambah ganteng saja cowok yang bernama Bayu Arnold itu ketika tersenyum.
          “Ketemu sama aku?” tanya Quilla seolah ingin meyakinkan kalo dia memang nggak salah dengar. Rafa mengangguk taktis.
          “Sorry ya, La, kalo kedatangan kami buat kamu bingung,” kali ini Bayu yang mengambil alih obrolan, “tapi yang dibilang sama Rafa itu bener, aku memang pengen ketemu sama kamu. Aku kagum waktu melihat video yang kamu up load di Youtube.”
          “Ya, La. Sampe-sampe nih ya, Bayu ngebanding-bandingi kamu sama kita-kita. Emang sih, permainan gitar kamu bagus banget. Klop deh sama suara kamu yang keren itu. Tapi, kita juga nggak kalah jago main gitarnya!” sahut Koko yang bagai angin puting beliung karena main serobot  jatah Bayu ngomong.
          Teringatlah Quilla tentang hobinya yang suka up load video ke internet. Quilla memang mahir memainkan gitar baik gitar akustik ataupun gitar elektrik dan dia sering up load performance-nya dengan kedua jenis gitar itu—dua gitar itu dia beli setelah dia mati-matian menyisihkan uang jajannya.  Suaranya juga bagus. Bermodalkan laptop dengan kamera build ini, Quilla menuangkan bakat dan hobinya itu. Entah sudah berapa kali Quilla meng-up load kesenangannya dalam bermusik lewat internet, yang jelas Quilla sudah lupa.
          Kalo boleh jujur, nggak pernah terlintas di pikiran Quilla efek dari video-videonya itu bisa menghadirkan sosok Bayu Arnold, solois yang namanya sedang naik daun untuk datang ke rumahnya, lengkap dengan dua cowok keren yang datang bersamanya.
          Quilla melakukan itu cuma sebagai bentuk sisi kreatif yang ingin dia salurkan dan juga sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Nggak dipungkiri lumayan banyak komentar-komentar manis yang memuji permainan musiknya itu ketika dia membuka ulang video-videonya. Quilla boleh saja disebut cewek yang minderan kalo bertemu orang lain tapi nggak dengan kegemarannya up load video. Quilla merasa terntantang menunjukkan pada dunia siapa dirinya meskipun hanya sebatas dunia maya.
          “Terus, kalian tau rumah aku dari mana?”
          Rasa kikuk tiba-tiba menyerang Quilla setelah tanpa tedeng aling-aling Bayu Arnold menatapnya terus. Kalo saja cowok itu tahu, sebenarnya jantung Quilla hampir saja melompat ke kerongkongan mendapatkan tatapannya itu.
          “Kalo kamu aja bisa membuat Bayu kagum dengan video-video yang kamu up load di internet, hal itu juga bisa berlaku dong, buat nyari tau di mana kamu tinggal,” ujar Rafa yang ngomongnya jauh lebih kalem dari Koko biarpun nggak lebih kalem dibandingkan dengan cara Bayu Arnold ketika memainkan kata-katanya saat dia bicara.
          Quilla Cuma bias ber ‘ooh’ ria setelah mendengar ucapan Rafa. Dan voila terjadilah obrolan diantara mereka. Banyak yang merka bahas, termasuk fenomena kepopuleran yang diraih beberapa orang lewat up load video, contohnya Justin Bieber atau Sinta dan Jojo. Tapi ketika disinggung seperti itu, Quilla buru-buru menyanggahnya karena memang dia nggak berminat untuk mengejar popularitas.
          “Iya, La. Kita tau kok kalo kamu orangnya nggak seperti itu. Keliatan lagi dari sifat polos kamu itu, “ujar Rafa. “Lagian kalopun kamu terkenal, anggap aja itu sebagai keberuntungan buat kamu. Banyak lho orang yang pengin terkenal cuma lewat internet doang.”
          Telinga Quilla jadi panas. Aku berbeda, batin Quilla sewot.
          “O iya, kata kamu tadi, kamu sekolahnya di SMA Breeze Vista ya?” tanya Bayu yang disambut anggukan kepala oleh Quilla. “Kalo begitu kebetulan banget, aku bakal nyanyi lho di sekolah kamu, jadi salah satu pengisi acara dipensi seminggu lagi.”
          Pensi, pikir Quilla. Dia hampir saja lupa kalo akan ada pensi di sekolahnya minggu depan. Tapi, Quilla nggak menyangka kalo Bayu Arnold akan jadi salah satu pengisi acara dan bisa jadi paling ditunggu performance-nya.
                                               = = = = oo00oo = = = =
          Benar saja, begitu Bayu Arnold naik ke atas panggung banyak mata tertuju padanya, terutama para siswa cewek. Mereka berteriak-teriak histeris mengelu-elukan solois itu apalagi saat Bayu melempar senyum gantengnya,.
          Quilla berjalan persis di belakangnya dan ikut naik ke atas panggung!
          Tadinya, Quilla sempat nggak mau menerima tawaran Bayu untuk turut mengisi acara dipensi sekolahnya. Tapi, dihari pertama kali kunjungannya, cowok itu bersikukuh akan membatalkan kehadirannya dipensi dan bilang pada pihak panitia kalo itu disebabkan olehnya. Jadi, mau nggak mau Quilla menyetujui meskipun dia akan ditatap oleh banyak pasang mata.
          Dipensi ini, Bayu Arnold menyanyikan empat lagu: dua lagu yang ada di album perdananya, satu lagu tantangan dari pihak panitia dan satu lagu dari salah satu favorinya Train. Semua lagu hasil kesepakatan antara Bayu Arnold dan pihak panitia. Quilla bermain gitar mengiringi Bayu bernyanyi sekaligus jadi backing vocal dadakan. Persiapan mereka sudah pol-polan karena selama seminggu, Quilla latihan bareng Bayu, bahkan Bayu sendiri yang menjemput Quilla ke rumahnya.
          Quilla sempat menahan napas dan berusaha menenangkan diri ketika Bayu memberi tahu bagaimana proses perkenalan mereka yang unik. Entah sudah berapa kali dia menelan ludah setelah tahu begitu banyak pasang mata yang menatapnya apalagi sejak Bayu bilang kalo dia sduah jadi sahabat bagi cowok itu!
          Sejak saat itu dunia Quilla berubah menghadirkan keribetan untuk dirinya. Perlahan—namun pasti—Quilla bermetamorfosis menjadi malaikat yang baik hati bagi siapa saja di sekolah yang mengagumi Bayu Arnold. Bahkan dia merasa telah berubah jadi ‘kota penampung’ banyaknya surat dan salam kagum dari para pengagum cowok itu.
                                                            = = = = oo00oo = = = =
          Sepulang sekolah, persis di depan gerbang mata, Quilla beralih pandang ke arah cowok yang meneriaki namanya sementara Widia sudah lebih dulu dijemput mamanya. Rencananya si cewek bertubuh subur itu akan menemani mamanya belanja bulanan ke supermarket. Dia Rafa. Cowok itu membawa mobil sedan berwarna biru metalik dan itu jelas mobil Bayu.
          Quilla menghela napas. Sudah pasti mobil itu yang akan mengantarkannya pulang. Ini kali keempat mobil itu menjemputnya. Jelas bukan Bayu yang meneriaki namanya kalo dia nggak mau menciptakan kehebohan dijam pulang sekolah seperti sekarang ini. Sampe kapan ini terus terjadi? Pikir Quilla.
                                                = = = = oo00oo = = = =

Senin, 20 September 2010

Mata Cinta Sachi--Muat di Majalah kaWanku (Edisi 81 # 8- 22 September 2010

Keajaiban dari sebuah ingatan dapat mengantarkan seseorang ke sebuah masa yang hampir terlupakan atau sengaja ingin dilupakan.


“Jujur deh, Zen, gue masih nggak habis pikir gimana ceritanya Sachi bisa jadi pacar Haga, padahal kan kita tau bahkan seluruh sekolah tau kalo Haga dulunya nggak suka banget sama dia”, kata Zaruya—sahabat Kazena, yang sekaligus kembaran Azarya, anak keren bin super badung yang jadi penghuni salah satu bangku di kelas sebelah.

Kazena hanya bisa mengedikkan bahu sekaligus menghle napas pada saat yang bersamaan. Dia mungkin akan sama—bertanya-tanya—bingungnya seperti Zaruya, kalau saja dia bisa melupakan gumaman Sachi di depan cermin kamar mandi sekolah, tiga bulan yang lalu.

Ketika itu Kazena baru saja hendak keluar setelah buang air kecil. Tapi barisan kalimat yang dikatakan seseorang menunda niatnya itu, Tak urung, Kazena mengintip dari balik pintu dan mendapati kalau orang itu adalah Sachi…

Perkataan Sachi di depan cermin itu begitu mengejutkan Kazena.

Kazena ingin sekali memberi tahu Zaruya tentang masalah ini. Semuanya—semua barisan kalimat yang telah keluar dari bibir Sachi waktu itu. Kazena bisa ingat dengan detail setiap kata-kata Sachi karena dia memiliki ingatan yang tak dimiliki orang kebanyakan! Bahkan, Kazena bisa membayangkan dengan jelas wajah kebencian Sachi yang tercetak sempurna di cermin.

Kazena bukannya tak pernah bersyukur mendapat kemampuan untuk mengingat semua kejadian yang pernah terjadi atau tanpa sengaja terjadi dalam hidupnya. Hanya saja, momen-momen yang menjejali kepalanya terkadang menyebalkan, membuatnya merasa bersalah bahkan sanggup membuatnya menangis…

Siapa yang salah? Tuhan??

Ingatan eidetik yang diterimanya, bingung diartikannya sebagai anugerah atau malah musibah !

= = = = oo00oo = = = =

“Hai, Zen, hai, Ru. Sachi mana, kok nggak bareng kalian?”

Haga menghampiri Kazena dan Zaruya di kantin. Cowok ganteng—yang juga sekelas dengan Azarya—yang terkenal kaya, pintar sekaligus sombong itu sibuk mencari keberadaan Sachi. Alisnya sempat berkerut karena tak mendapati Sachi bersama kedua gadis yang diajaknya mengobrol itu.

Kazena menolehkan kepala menghadap Haga, dengan seulas senyum dia berkata, “kita tadi, nganterin Sachi ke UKS. Katanya, perutnya sakit”.

“Penyakit bulanan kali, Ga”, sahut Zaruya menimpali dengan raut wajah ogah-ogahan.

Kazena tahu betul makna dari raut wajah jengah yang ditunjukkan Zaruya barusan. Sama jengahnya seperti masyarakat yang jengah dengan pemberitaan ledakan tabung gas tiga kilogram yang sedang marak terjadi atau pemberitaan video ‘panas’ artis yang tak kunjung usai. Zaruya itu cemburu!

Cemburu??

Benar sekali, Zaruya cemburu dengan Sachi, si anak baru yang dengan cepat ketahuan kikuk dan sulit bergaul itu. Tadinya Zaruya bisa bersinergi dengan senang hati terhadap Sachi tapi karena gadis itu mencuri perhatian cowok yang disukainya, praktis membuat Zaruya berteman sekedar berteman saja. Tak ada lagi tawaran hang out, tak ada lagi sapa ramah atau undangan ke kantin bareng dari dirinya. Semua itu cuma diangsurkan oleh Kazena. Bagi Zaruya, semuanya hanya pertemanan klise.

Ah, cinta bisa membutakan orang yang kejatuhan pesonanya.

“Kalo gitu, gue nyamperin Sachi ke UKS dulu ya?” Kata Haga pamit, lalu berlalu dari situ.

Zaruya mengaduk-ngaduk es campurnya sambil sesekali menyeruputnya sedikit-sedikit. Alisnya bertaut membentuk satu kekesalan yang tampak dengan mudah dibaca Kazena. Zaruya memang bisa diumpamakan seperti buku yang terbuka. Kali ini, itu sangat gampang terbaca oleh Kazena.

“Mantra-mantra Sachi cepet banget meracuni otak Haga. Lo liat kan segitu ngebetnya Haga pengen ketemu dia. Pelet apa ya yang dipakai sama Sachi sampe-sampe Haga bisa kesengsem setengah mati kayak gitu?!”

Kazena tak menyanggah ucapan Zaruya juga tidak mendukung kata-kata sahabatnya itu. Dia memilih untuk tidak merespons. Sebenarnya, Sachi tak bermaksud mencuri perhatian Haga sama sekali tapi tak selamanya ada orang yang yang mau diremehkan terus-terusan kan??

Sachi, oh Sachi. Pikiran Kazena sibuk memainkan sosoknya.

= = = = oo00oo = = = =

Tak ada yang salah yang ditangkap Kazena ketika tanpa sengaja Haga menolong Sachi yang hampir terjatuh, seminggu sebelum peristiwa kamar mandi itu. Sepertinya, anemianya kambuh lagi soalnya Sachi pernah bilang kalau dia sering sekali mengalami anemia dadakan. Haga pun memapahnya ke UKS, meskipun ketika itu Kazena melihat Haga melakukannya dengan sangat terpaksa.

Dan dari situlah perubahan dalam diri Haga terjadi, menciptakan keanehan sewot Zaruya dan lebih parah lagi kengerian bercampur ketakutan menyerang Kazena. Benarkah awal mulanya karena itu?? Dibalik kekikukan dan kesulitannya bergaul, ternyata Sachi menyimpan bakat yang tersimpan—yang bisa mempesona atau lebih tepatnya bisa memaksa orang untuk menyukainya!

Rinai hujan yang merintik dari langit sudah turun kurang-lebih selama setengah jam dan terlihat sosok Kazena tengah menikmati cappuchino hangatnya di Mon Ami, café langganannya dan Zaruya—juga Sachi. Kazena sedang menunggu kedatangan Sachi. Tiba-tiba terlintas di pikiran Kazena untuk mengobrol serius dengan Sachi hari ini tentang peristiwa kamar mandi itu. Kazena tak bisa lagi membiarkannya berlarut-larut. Tak bisa ditunda lagi, Kazena benar-benar ingin mendengar pengakuan Sachi—langsung dari bibir tipisnya nan sensual itu.

Sepuluh menit kemudian, Sachi datang.

“Hai, Zen?!” sapa Sachi setibanya dia di meja tempat Kazena berada. Tangannya kemudian sibuk membersihkan sisa-sisa percikan air rintikan hujan yang membasahi baju serta kepalanya. “ Zaruya mana? Dia nggak ikutan dateng?”

Kazena terseyum tipis. “Duduk dulu deh, Chi”.

Dengan sigap Sachi, mengambil posisi duduk persis di hadapan Kazena.

“Gue sengaja, nggak ngajak Zaruya ngumpul bareng kita”, kata Kazena pada Sachi yang menunggu jawabannya.

Sensasi keheranan ditunjukkan Sachi. Keningnya berkerut, seolah menghadirkan satu pertanyaan. Lalu…

”Kok gitu?? Lo nggak lagi berantem sama Zaruya kan, Zen?” tanya Sachi hati-hati.

Sachi sadar betul, sekalipun dia sudah berteman dengan Kazena dan Zaruya bahkan dianggap sahabat oleh mereka namun tetap saja ada koridor-koridor persahabatan yang tak bisa dimasuki Sachi antara Kazena dan Zaruya.

“Gue nggak berantem kok sama Zaruya. Semuanya baik-baik aja”.

Sachi menghela napas lega sebentar.

“Eee….terus kenapa Zaruya nggak gabung bareng kita? Kenapa cuma kita berdua?” tanya Sachi lagi, tetap membombardir Kazena dengan rasa penasarannya yang mulai menjadi-jadi.

Sejenak Kazena mengisi penuh rongga dadanya dengan udara. Sepertinya berat sekali, Kazena ingin memulai percakapannya dengan Sachi. Tapi sudah terlanjur setengah jalan. Lagipula si pembuat perubahan itu sudah ada di hadapannya saat ini.

“Gue pengen ngomong sesuatu yang serius sama lo, Chi”.

“Sama gue? Emang ada apaan, Zen?”

Kazena bisa menangkap reaksi aneh yang dihasilkan getar suara Sachi tapi gadis itu berusaha menjaga sedatar mungkin getar suaranya tersebut. Apakah Sachi sudah bisa membaca niatnya untuk menanyakan masalah yang mengganggu pikirannya tiga bulan belakangan ini?!!

“Gue tau semuanya, Chi!”

Kazena langsung menohok Sachi dengan tuduhan tersirat. Entah Sachi bisa mengartikannya atau tidak. Ini prolog awal yang bisa dilakukannya untuk membangun percakapan seriusnya dengan Sachi. Gadis berpostur tubuh mungil yang ada di hadapannya itu mau tak mau harus siap mendengar apa yang sudah tak sengaja didengarnya tentang apa yang diucapakannya di kamar mandi ketika itu. Sudah cukup tiga bulan Kazena menyimpan rapat rahasia itu. Dan inilah saatnya…

“Mata lo yang menghipnotis itu! Gue tau lo bisa ngelakuinnya”, kata Kazena tanpa berusaha berbicara dengan nada hati-hati. “Dan Haga…lo ngelakuinnya sama Haga kan? Iya kan, Chi? Saatnya lo harus jujur sama gue!”

Bening pupil Sachi melihat tajam ke arah Kazena. Tapi bibirnya terkatup rapat tanpa melahirkan kalimat pembelaan apa-apa. Dalam hatinya, Sachi baru menyadari ternyata ini alasan kenapa Kazena tak mengajak Zaruya duduk bareng bersama mereka.

Beberapa saat kemudian, Sachi membuang pandang ke luar café. Kebetulan posisi meja tempat mereka duduk bersebelahan langsung dengan kaca pengganti dinding. Di luar café, Sachi disuguhi pemandangan yang dianggapnya romantis, sampai-sampai dia tersenyum tipis menyaksikannya. Ada seorang laki-laki dan perempuan berlari-lari kecil menghindari rintikan hujan. Laki-laki itu berusaha melindungi kepala si perempuan dengan tangannya agar kepala si perempuan tak basah terguyur air hujan. Namun, Kazena menganggap senyuman Sachi itu sebagai senyuman sarkastis, seolah-olah Sachi telah menelanjangi tuduhan tersiratnya tadi.

Apa yang ada di pikiran gadis ini, batin Kazena.

“Lo ngomong apa sih, Zen?” Barulah Sachi merespons, tapi tanpa mengalihkan pandangannya pada Kazena. Sepertinya dia membangun pertahanan untuk dirinya sendiri.

“Jangan ditutup-tutupi lagi, Chi. Percuma. Gue tau lo udah tau maksud omongan gue sekarang!”

Mendengar kata-kata Kazena, akhirnya Sachi memutar kepala ke arah orang yang ada di hadapannya itu. Akhirnya dia menyadari, bukan saatnya lagi membangun pertahanan kepura-puraan karena sepertinya Kazena sudah sangat tahu betul apa yang terjadinya—ya sepertinya—Kazena tahu tentang bakat bawaannya sejak lahir itu.

“Oke, apa yang pengen lo tau, Zen?”

“Gue cuma pengen lo ngaku—kalo lo menghipnotis Haga dan ngebuat dia jatuh cinta setengah mati sama lo kan? Iya kan, Chi?”

Sachi menatap Sachi tajam dan dalam untuk beberapa saat. Itu jelas-jelas membuat Kazena merasa takut dan risih. Baru kali ini Kazena merasa seperti itu hanya karena diserang tatapan mata seseorang.

“Iya gue yang menghipnotis Haga dan membuatnya jatuh cinta setengah mati sama gue”, ucap Sachi jujur. “Lo tau kan kenapa gue ngelakuin itu, Zen?”

Kazena tak menjawab karena dia tahu betul arah ucapan Sachi. Seketika terlintas dipikiran Kazena cowok yang bernama Haga itu. Sebenarnya dialah sumber kekecauan ini. Kesombongannyalah yang membuat Sachi menggunakan bakat alamiahnya itu.

“Gue pengen menghancurkan kesombongannya dengan menghancurkan reputasinya di sekolah”, lanjut Sachi dengan nada marah yang teredam dalam suaranya. Sachi kembali melihat ke arah Kazena, “ lo tau kan betapa bencinya dia sama gue padahal sampe sekarang gue nggak tau kenapa dia ngebenci gue”.

Sachi mulai menggiring Kazena ke narasi dan deskripsi yang dia bangun. “Dia selalu meremehkan gue bersama teman-temannya tiap kali kami ketemu. Sekali-dua kali mungkin gue bisa terima tapi kesabaran gue ada batasnya juga, Zen”.

“Dan ini cara lo buat ngebales dia? Dengan menghipnotisnya sampe sekarang?”

“Kenapa nggak? Biar dia malu kalo nanti gue nanti ngilangin hipnotis itu? Tuhan, ngasih gue bakat menghipnotis ini, kenapa nggak gue manfaatin aja”, Sachi menyeringai dengan raut wajah kebencian. “Gue pengen kesombongannya hancur. Gimana ceritanya seorang Haga bisa pacaran sama cewek yang nggak se-level kaya dan mempesona seperti dia. Bahkan Bellatrix kalah kan sama gue?”

“Sampe kapan lo bakal memperlakukan dia kayak gitu, Chi? Kasian dia?

Sachi menatap Kazena sambil berkata, “sampe gue ngerasa puas. Dan lo, Zen…kalo lo nggak mau nasib lo sama kayak Haga, terhipnotis gara-gara mata gue ini, lo jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini. Ngerti lo??”

Kazena terbungkam dengan sendirinya, mendengar ancaman yang keluar dari sseorang Sachi. Mendadak, si kikuk Sachi bukan seperti Sachi yang dulu lagi. Dan untung saja Kazena tak mengajak Zaruya, karena sudah bisa dipastikan Zaruya akan terpancing emosi kalau mengetahui kejadian ini…

= = = = oo00oo = = = =

Momen Indah Zia--Muat di Tabloid GAUL (Edisi 32)

Rasanya kepalaku mau pecah kalau harus meladeni humor-humor zombi Zia padaku. Dia tak henti-hentinya membahas hal-hal yang tak penting padahal aku sering merasa tak minat sama sekali. Bahkan hal remeh temeh saja dia bahas, misalnya aktifitas Belo, kucing Anggora kesayanganku yang lebih banyak tidur pun dia ceritakan padaku, jelas-jelas aku sudah tahu!

Kedatangan Zia ke rumah membuat duniaku jungkir balik.

Zia bukan cuma sekedar datang berkunjung tapi dia telah tinggal di rumahku sekarang. Dia berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kesulitan ekonomi orang tuanya—yang tak lain Om dan Tante dari pihak Mamaku—yang menyebabkan Zia mau tak mau harus jadi bagian dari keluargaku. Dengan adik-adiknya yang masih berjumlah enam orang— yang juga harus dinafkahi, tentu saja jadi alasan utama mengapa Om dan Tante dengan berat hati melepas Zia.

Aku masih ingat betapa lusuhnya Zia ketika pertama kali menginjakkan kaki ke rumahku ini. Dandanannya berantakan, rambutnya awut-awutan—pasti jarang dispa tau bahkan jarang creambath atau jangan-jangan dia pakai sabun sebagai shampo—kulit kasar tak terawat, pokoknya membuat aku tak tahan kalau harus menatapnya lama-lama. Sangat pantas untuk dipermak—dan sayangnya Mama waktu itu memercayakan perubahan Zia padaku.

Uuugghhh….

“Apa, kabar? Kamu masih ingat aku kan, Lan?” tanya Zia ketika dia menyapaku pertama kali—waktu itu—di dapur sewaktu aku hendak membuatkan Orange Juice untuk Mama. “Emang sih kita belum pernah ketemu lagi sejak terakhir kali keluargaku berkunjung delapan tahun yang lalu, maklumlah keluargaku kan nggak berpunya. Tapi aku masih ingat, kok tampang cantik kamu waktu itu”.

Aku tak bergeming, aku masih memfokuskan diri dengan perasan jeruk yang sedang aku buat.

“Rambut kamu panjang sebahu dengan poni selamat datang di kening kamu”, lanjutnya seraya menahan tawa dan tentu saja membuatku sebal setengah mati.

“Mendingan aku yang waktu itu berambut panjang sebahu dengan poni selamat datang, daripada kamu kulit hitam plus rambut ikal nggak jelas!” kataku seraya meninggalkannya. Biar saja Mbok Inah yang melanjutkan membuat Orange Juice untuk Mama. Aku tak mood lagi!



====oo00oo====

Ada lima kardus yang lumayan besar berjejer rapi di ruang keluarga ketika aku hendak menonton televisi sore harinya. Kardus-kardus apaan ini? Tanyaku dalam hati.

“Maaf ya, ini tumpukan buku-buku aku”, kata Zia yang mendadak berada di sampingku. “Mulai dari buku pelajaran sampe novel-novel kesayanganku yang aku beli dari uang jajanku yang sangat sedikit. Aku belum menyusunnya”.

Siapa juga yang tanya?! Aku menggerutu tak jelas dalam hati lagi. “Singkirin deh, aku mau nonton tivi. Mataku nggak nyaman banget kalo harus ngeliat kardus-kardus kamu itu!” kataku datar tapi kuucapkan dengan nada menyakitkan hati.

Zia hanya tersenyum tak enak hati.

Begitulah Zia menyeimbangkan kesan jutekku dengan berbagai cara. Bahkan terkadang tanpa sungkan dan tanpa malu dia mendekatiku dan menularkan humor-humor zombinya. Tapi aku masih agak ogah-ogahan meladeninya meski tak urung aku juga pernah tergelitik dan menahan senyum.

Sosok Zia punya satu impian diusianya yang tak beda jauh denganku. Dia pernah menceritakan impiannya itu padaku ketika dia menghampiriku di gazebo halaman belakang rumah. Waktu itu aku sedang asyik membaca majalah remaja yang baru aku beli sepulangnya aku dari sekolah.

Zia ingin sekali mempunyai perpustakaan atau semacam taman bacaan! “Buat apa kamu pengen punya perpustakaan atau taman bacaan segala?” tanyaku pura-pura cuek—padahal jelas-jelas aku antusias ingin tahu— sembari membalikkan satu halaman majalah.

Dari balik ekoran mataku, aku melihat mata Zia berkedut-kedut sembari menjawab, “karena itu momen indah buatku kalo itu terwujud”.

“Momen indah kamu?” tanyaku lagi sekenanya tanpa memalingkan wajah menghadapnya.

“Hmm…,”jawab gadis yang akhirnya satu sekolah denganku itu, “aku ingin anak-anak yang sama nggak beruntungnya denganku atau malah yang jauh nggak beruntung dari aku bisa lebih dapet banyak wawasan dengan koleksi-koleksi buku yang aku punya”.

Tertegun aku mendengar ucapannya. Caranya menyikapi impian dan harapan membuatku merasa rendah di hadapannya…



=====oo00oo=====

Kemana raibnya semua penghuni rumah maghrib-maghrib begini. Mama kemana? Dan, bukannya Papa seharusnya sudah pulang biasanya dijam-jam begini? Tapi kemana Papa? Terus, Lintang adik bungsuku juga menghilang!

Sedari tadi mencari-cari keberadaan orang-orang rumah, aku hanya mendapati Mbok Inah di dapur.

“Mbok, semua orang pada kemana sih, sepi banget? tanyaku. “Terus, kenapa Mang Diman nggak jemput aku ke tempat les piano?”

“Anu, Non…anu”, jawabMbok Inah terbata. “Nyonya sama Non Lintang pergi ke rumah sakit dianterin sama Mang Diman. Tuan langsung nyusul kesana, langsung dari kantor. Juga ke rumah sakit”.

Rumah sakit? Batinku.

“Emang siapa yang sakit?” tanyaku ingin tahu. Wajar saja aku menanyakan ini. Mendadak, aku jadi sedikit khawatir.

“Non Zia”, jawab Mbok Inah cepat. “Non Zia yang sakit, Non”.

“Zia?” tanyaku lagi dan langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Mbok Inah. “Ke rumah sakit mana dia dibawa?”

“Rumah sakit Kazena Krista, Non”.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar menuju pangkalan ojek yang ada di ujung kompleks rumahku dan segera menuju rumah sakit.

=====oo00oo=====

Aku tak tahan melihat keadaan Zia sekarang. Aku yang menatapnya saja begitu terlihat menderita, apalagi Zia yang mengalaminya sendiri. Aku tanpa sadar menangis menyaksikan perjuangan Zia yang hanya sekedar ingin bernapas dengan menggunakan ventilator.

Penyakit itu sudah menyerang otot- paru-paru Zia!

“Ma, kak Zia sakit apa?” tanya Lintang pada Mama yang tampak sedih melihat keponakannya.

Zia hanya mengedipkan mata pada seluruh anggota keluargaku—termasuk aku—sebagai tanda dia memahami kalau dialah yang jadi bahan obrolan. Kondisi Zia sudah parah!!

Mama tak menjawab Lintang. Mama hanya mengusap-usap punggung Lintang dan berisyarat agar membuatnya berhenti bertanya lagi. Namun, beberapa detik kemudian ada yang tak beres dengan Zia dan membuatku keluar karena merasa tak kuat melihatnya.

Tadi paru-paru Zia bocor. Ternyata setelah dirontgen, paru-paru Zia mengempis drastis, makanya bisa bocor. Untuk mengatasinya dokter harus memasang Water Sealed Drainage (WSD) serta melubangi tubuhnya agar pemakaian WSD bisa terhubung ke paru-parunya.

Penyakit itu diberi nama Guillain-Barre Syndrome. Dia yang menyerang saraf motorik dari bagian tubuh hingga menjalar ke bagian atas lalu hampir keseluruhan tubuh—dan inilah yang membuat Zia tak berdaya!

“Mama nggak sengaja menemukan Zia tergeletak di lantai. Tubuhnya nggak bisa digerakin tapi dia masih sadar waktu itu”, kata Mama menangis, “cuma mata Zia kelihatan aneh, makanya Mama dan Lintang langsung bawa Zia ke rumah sakit”.

“Papa juga lngsung buru-buru pulang waktu Mama ngasih tau Papa”, timpal Papa.

Seketika itu juga, aku layangkan pandanganku ke Zia yang tertidur. Tampaknya dia sudah agak mendingan hingga dia bisa menikmati tidurnya. Aku melihatnya dari kaca yang terpatri di pintu ICU tempat dia dirawat. Wajahnya pucat, mungkin akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu. Tapi Lintang senantiasa menemaninya sedari tadi.

“Kasian Zia”, kataku terdengar seperti bergumam seraya mengalihkan kembali perhatianku ke Mama dan Papa. “dia anak yang ceria dan punya semangat yang tinggi. Dia juga pinter kok di sekolah”.

Mama dan Papa setuju dengan yang aku katakan.

“Zia nggak mau ngerepotin orang lain, dia selalu melakukan semuanya sendiri. Dia anak yang sangat tau diri”, timpal Papa lagi.

“Om dan Tante udah dikabarin?” tanyaku tiba-tiba.

Mama menggeleng. “Zia nggak mau, Om dan Tente tau tetang hal ini”.

“Tapi kenapa?”

Belum sempat aku mendapat jawaban atas pertanyaanku barusan, tiba-tiba Lintang menghambur keluar dengan jerit histeris!

“Mama, kak Zia?!!!

Para perawat dan dokter saling berkejaran waktu untuk memulihkan kesadaran Zia yang perlahan menghilang akibat penyakitnya yang mendadak kambuh. Ada masalah lagi dengan paru-paru Zia. Tapi mereka terus mencoba. Pemandangan kesakitan Zia seperti kiamat bagiku.

Demi Tuhan, kalau Zia diberi kesempatan untuk sembuh, aku akan meladeni selera humor-humor zombinya itu dan membantunya mewujudkan momen indahnya untuk memiliki perpustakaan atau taman bacaan!!

Aku menyayangi kamu, Zia, gumamku pada sendiri sambil menangis.



======oo00oo======

Keesokan harinya…

Aku berada diantara banyaknya kerumunan orang yang berpakaian hitam-hitam—dan aku juga menggunakan kerudung berwarna senada—ketika mengiringi tubuh kaku Zia menuju liang lahat yang menunggunya. Zia dipaksa menyerah dengan penyakitnya. Dia meninggal, hanya sepuluh menit sejak jerit histeris Lintang semalam.

Zia boleh saja lenyap dan meninggalkan dunia fana ini tapi semangatnya tetap akan hidup di hatiku…dan aku bakal mewujudkan momen indah yang jadi impiannya…



=======oo00oo======

Rabu, 25 Agustus 2010

Wah, raibnya duit gw :'(

Apa ya yang pengen gw bagi disini,,, *speechless*. Masalahnya gw lagi sedu-sedan (weleh2 bahasa gw), huhuhu... *mencoba sesenggukan tapi tak bisa selain dibela2in kalo perut gw maagh atau konstipasi yg kagak nahan rasa sakitnya*
Tapi okelah langsung ke inti masalahnya aja yak,,,duit gw raib entah kemana!!! Whoooaaaa...Padahal nih ujung bulan banget, secara 80 % uang gw kemaren lenyap ke RS alias buat berobat--buat perut gw yang sebelah kanan bawah yang gileee sampe sebulan lebih gw nnggak masuk kerja gara2 penyakit edan ini. Tapi ambil hikmahnya ajalah, itu sih teori yg mama gw bilang--dan sisanya lenyap ke rutinitas gw beli majalah di kios langganan gw, hehehe...maklumlah mengecek naskah gw kali2 aja ada yang nyantol di salah satu majalah. Malu pisan euy kalo cuma ngecek gratisan tapi kagak beli, ya minimal tabloid yang nggak nyampe 10 ribu lah yang harus gw beli. Tapi sekedar info biarpun gw suka kirim-kirim naskah ke majalah remaja tapi segmen gw sumpah jarang nge-teen kok. Malu sama umur dong gw apalagi udah tiga tahun ngelewatin kepala 2; kecuali gw kangen ke masa2 remaja gw doeloe, hehehe... Ah, ternyata gw udah tua...

Back to topik, yang jelas raibnya duit gw bukan karena digondol maling yang suka menyatroni rumah2 para tetangga--sumpah gw nggak nuduh ya disini--juga bukan raib dirampok sama perampok kelas kakap yang kasusnya heboh dan bikin gempar seantero Indonesia.
Gimana nggak heboh, orang beritanya aja hampir disiarin semua stasiun tivi.

Ugghhhh.....

Gileee bener, duit yang dirampok yang konon katanya pake senpi itu bukan dikit lagi..Ratusan juta. Ckckckck...gw aja keilangan duit yang nggak lebih dari 100 rb aja udah kalang kabut apalagi segitu ya?? Bisa-bisa mati berdiri. Gimana streesnya ya pihak bank mengganti duit nasabah yang ilang digondol rampok itu. Mungkin sama stressnya kayak mama gw kalo ngitungin belanja dapur tiap harinya atau pengeluaran tiap bulannya. Sumpah kalo gw liat, muka mama gw kalo udah ngitungin duit udah berasa kayak finance officer yang sibuk ngurusin gaji karyawan, hehehehe...

Oke, baiklah bukannya gw mendukung para perampok itu ya, tapi gw nyoba liat dari sisi yang lainnya aja deh. Kalo mereka aja bisa nekad buat ngewujudin apa yang mereka mau, kenapa gw nggak?? Dan kalo mereka aja bisa melakukan hal sebaik-baiknnya--biarpun jalan mereka salah--kenapa gw nggak??

Bener nnggak sih?? :)

So, do the best, and let God do the rest...tugas gw coba ngasih yang terbaik. Ambisi memang ada, tapi gw nggak jadi orang yang ambisius.

Tapi....wahai perampok kasian sama orang yang duitnya kalian rampok!! :)

Senin, 21 Juni 2010

Semua Tentang Kita (Muat di Aneka Yess-Pemenang Short Story Contest Aneka Yess! )

“Ceritanya seru ya?” tanyaku pada Sisi begitu kami beserta rombongan penonton theatre 4 keluar bersamaan.
“Iya, seru banget”, jawab Sisi.
Jawaban Sisi barusan mengelitikku. Sisi bisa saja bilang ‘seru’ buat mengapresiasi film yang baru saja kami tonton beberapa menit yang lalu, hanya saja nggak ada reaksi yang benar-benar antusias dari jawabannya. Padahal film yang dikasih judul Righteous Kill itu memasang duet aktor Hollywood kesukaannya, Al Pacino dan Robert De Niro. Usahaku untuk mengembalikan Sisi ke titik sebelum dia mengenal Ares belum juga membuahkan hasil.
Sesuatu telah hilang dari dalam diri Sisi. Sesuatu yang aku artikan sebagai ketergantungannya pada sosok Ares—sesuatu itu adalah sifat cerianya yang apa adanya. Aku nggak menemukan sifat itu lagi sejak Ares hijrah ke Jepang meninggalkan kami. Tapi semuanya nggak bakal terjadi seperti ini kalo saja Ares nggak masuk ke arus persahabatan antara aku dan Sisi.
Tiga tahun lalu, Ares datang dengan pesonanya yang khas ke SMP Kazena Krista dan praktis sejak itu Ares menjadi sahabat kami, hingga sekarang dimasa-masa SMA. Aku, Sisi dan Ares bisa tertawa, berbagi suka dan duka, saling curhat bahkan tanpa sungkan menjitaki kepala —siapapun diantara kami—kalo satu diantara kami sedang merasa jengkel sebagai tempat pelampiasan. Semuanya bisa saja terjadi karena kami merasa ditakdirkan buat bersama sebagai tiga sahabat.
Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami....

=======ooo00ooo=======

Semua hal yang ada di dunia ini bisa saja berubah dan perubahan itu ditentukan oleh waktu. Begitu juga dengan persahabatanku, Sisi dan Ares. Metamorfosis kebersamaan kami disisipi sebuah perasaan yang seharusnya nggak boleh terjadi. Perasaan yang bernama cinta itu menelusup di hati kami masing-masing. Rasa saling melengkapi dan empati telah berganti cinta. Kami memang nggak pernah mengumbarnya satu sama lain, kami memberinya secara tersirat dan kami berusaha untuk memahaminya saja.
Cinta segitiga tersirat dan terselubung. Ya seperti itulah aku menyebutnya.
Ares dengan segala pesonanya menjebak hati Sisi. Sahabat kecilku itu akhirnya mengakui kalo dia jatuh cinta pada Ares. Sisi memang nggak pernah curhat padaku kalo dia menyukai Ares, tapi sebagai sahabat yang kenal betul siapa Sisi, aku nggak terlalu susah buat menangkap ada satu bentuk perasaan yang dikhususkan Sisi untuk Ares dari binar matanya saat dia menatap cowok itu.
Sisi pun berubah. Dari yang tadinya tomboy dan dandanannya serampangan perlahan feminine dan tertata. Sisi yang tadinya lebih sering ngomong tanpa dipikir berubah jadi orang yang mengombinasikan pikiran dulu baru bicara. Aku yakin semuanya karena Ares.
Lain Sisi, lain lagi aku.
Aku, si Azarya ini ternyata jatuh cinta dengan Sisi. Perasaanku jungkir balik tiap berdekatan dengannya. Tadinya, aku berusaha menyangkal tapi setelah aku cari tahu, aku nggak bisa mengelak lagi kalo memang aku menyukai Sisi tapi aku nggak tega melihat Sisi terluka. Fakta bodoh yang aku dapat adalah Ares justru menyimpan rasa pada Aura—lagi-lagi lewat pengamatanku—si primadona sekolah yang mau nggak mau bakal menyakiti hati Sisi. Jangan sampai itu terjadi dan untunglah memang nggak terjadi karena Ares kudung hijrah ke Jepang.
“Kita makan dulu ya di resoran favorit kita. Aku laper banget nih”.
Aku sadar, ‘kita’ yang dimaksud Sisi barusan adalah kami bertiga. Mendengar permintaan Sisi, aku Cuma tersenyum dan langsung mengiyakan. Semua aku lakukan buat mengembalikan lagi keceriaan Sisi yang sebenarnya belum bisa aku temukan hingga detik ini.

======ooo00ooo======

Sampailah kami di Mon Ami, restoran favorit kami. Ares yang mengenalkan kami pada restoran ini. Ares memang orang yang ‘nyeni’ kalo bicara soal restoran. Instingnya bekerja dengan baik untuk memburu restoran mana saja yang menyajikan makanan-makanan enak. Aku dan Sisi mengakui bakatnya itu.
Sisi terlihat memangku dagunya sembari menunggu pesanan makanan datang. Menu yang dia pesan sama seperti menu kesukaan Ares. Aku jadi berpikir kalo semua yang berhubungan dengan Ares adalah kebutuhan akut buat Sisi.
“Si...”, panggilku dengan hati-hati. Aku ingin mengajukan pertanyaan krusial buat Sisi.
“Hmmm....”, jawab Sisi, sepertinya dengan nada setengah hati.
Aku berpikir sejenak untuk memikirkan ulang pertanyaan yang sudah bercokol di otakku sekarang. Tapi kalo aku ingin mendapatkan kembali keceriaan Sisi, aku harus menanyakannya.
“Si, apa kamu nggak bisa lepas dari bayang-bayang Ares?”
Jantungku bertalu setelah aku berhasil menanyakan hal ini dan dua kali lipat bertalu ketika aku sadar reaksi Sisi menanggapi pertanyaanku berhasil memfokuskan tatapannya padaku.
“Maksud kamu?” tanya Sisi dingin dan datar.
“Aku punya banyak maksud, Si”.
Terpaksa aku melepaskan peluru ketidaksukaanku tentang hal-hal yang berbau Ares yang membuat keceriaan Sisi hilang setelah cowok itu pergi. Tapi, aku juga sadar kalo kepergiaan Ares bukan keinginannya. Siapa suruh jadi anak staf kedutaan luar negeri!
“Dunia belum kiamat kalo pun Ares ninggalin kita. Besok pagi, Matahari terbitnya masih di timur jadi jangan habisin waktu kamu buat terus dihantui dengan segala hal tentang Ares”.
Aku mulai bisa membaca gelagat kejengkelan dalam nada bicaraku, namun setelah itu aku cuma bisa diam dan menelan ludah. Sebaliknya, Sisi malah tersenyum padaku.
“Aku? Dihantui segala macam hal tentang Ares?” Sisi malah balik bertanya padaku, bahkan menodongkan apa yang aku katakan tadi.
“Emang kenyatannya gitu kan?” tegasku dengan nada kayak orang bego.
Aku memperhatikan guratan sumringah yang lebih lebar di wajah Sisi. Entahlah, mungkin senyumnya itu disebabkan setelah Sisi melihat reaksi bego sahabatnya ini.
“Kenapa senyum-senyum nggak jelas kayak gitu. Aku serius nih”, gerutuku dengan membayangkan pastilah sekarang wajahku sudah memerah.
Sisi berhenti tersenyum. Sekarang dia menatapku dengan serius. Binar matanya begitu antusias.
“Ini yang aku tunggu, Zar”.
Yang ditunggu?? Aku membatin.
“Ya, momen ini yang aku tunggu. Momen dimana seharusnya kamu protes tentang gelagatku yang aneh”, ujar Sisi, “dan...momen pembuktian”.
“Pembuktian? Pembuktian apa?” tanyaku penasaran.
Aneh. Mendadak tubuhku tegang dan mengunci dengan sendirinya. Aku mencoba untuk tenang serta mengatur ulang pernapasanku yang porak-poranda karena mendengar kata ‘pembuktian’ dari Sisi barusan.
“Pembuktian....kalo kamu jatuh cinta sama aku”.
Mendengar ucapan Sisi, aku tertegun. Oh, Tuhan, Sisi berhasil menanggalkan rahasia terdalam yang aku simpan untuknya. Tapi darimana dia tahu kalo aku jatuh cinta padanya? Aku nggak pernah cerita pada siapa pun bahkan pada Ares sebelum kepergiannya.
Aku terus saja terdiam. Aku tertunduk kaku, bingung bercampur malu. Sementara aku masih sibuk menata ulang perasaanku, pelayan datang membawakan menu pesanan kami.
“Zar...”, panggil Sisi setelah pelayan berlalu. “Sekarang, aku pengen tau yang sebenernya, langsung dari mulut kamu sendiri. Bener kamu jatuh cinta sama aku?”
Aku mendongakkan kepala dan menatap Sisi dengan seraut wajahnya yang menunggu jawabanku. Aku ingin banget segera mengiyakan tapi semua kenangan tentang persahabatan kami nggak mungkin bisa aku abaikan begitu saja. Segala semangat yang memuncak, kesedihan yang mencuat, tawa lepas dan lainnya yang sudah kami bertiga lewati. Bagaimana kalo setelah aku berkata yang sejujurnya, Sisi justru malah menjauhi aku?
“Apa itu penting buat dijawab?”
“Aku cuma butuh jawaban, Zar. Ya atau nggak”.
“Ya, jawabku beberapa detik kemudian. Aku mengalah dan kalah dengan perasaanku. “Aku jatuh cinta sama kamu, Si”.
Ada rasa puas dari senyuman Sisi setelah mendengar jawabanku. Sebaliknya, aku dipenuhi rasa bersalah karena aku harus mengakui cintaku padanya yang nantinya bakal membuat persahabatan kami terasa canggung dan aneh.
“Tenang aja, Zar, semuanya bakal baik-baik aja kok”, ujar Sisi seperti memahami kekhawatiranku. “Dan kamu tau, Zar kalo aku....juga jatuh cinta sama kamu”.
Seketika mataku sedikit membeliak. Sekarang, ada senyum spontan yang nggak bisa dia tahan. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran gadis ini? Aku menggerutu. Belum cukup dia membuat aku kalah dengan ‘memaksaku’ memproklamirkan perasaanku padanya. Sekarang dia malah mengolok-olok aku dengan bilang kalo dia juga jatuh cinta padaku!!
“Kamu nggak percaya?” tanya Sisi begitu melihat reaksiku yang spertinya nggak peduli dengan apa yang dia katakan. “Gelagat anehku selama ini, itu semata-mata karena aku pengen kamu tau kalo aku suka sama kamu. Dan Ares adalah zona aman yang bisa membantu aku menyelesaikan misi itu. Kamu ini nggak peka banget sih!”
Aku sungguhan kaget. Jadi, selama ini akulah yang lemot dan nggak sadar kalo ada tawaran cinta yang diberikan padaku dan orang itu Sisi. Semua bentuk ketergantungan akut Sisi terhadap Ares cuma petunjuk bagiku supaya aku tahu kalo dia menyukaiku dan membuka lebar mataku untuk mengakui kalo aku pun menyukainya...
Aku belum tahu bakal seperti apa hubunganku dengan Sisi nantinya.Dalam hati, aku memang patut merasa bersyukur ditakdirkan memiliki Ares dan Sisi dalam kehidupanku. Aku masih ingin mengulang semua momen kebersamaan kami. Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami; aku, Sisi dan Ares.
Semuanya berkesan, semuanya tentang kita kan? Gumamku dalam hati.

======ooo00oo=======

Jumat, 11 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di Tabloid GAUL :: MAAF DARI SURGA


Di rumah Ringgo, jam 21.00 wib.
          “Kak, disuruh Ibu masuk tuh”, ujar Nina adiknya. “Ngapain sih duduk-duduk nggak jelas sambil ngeliatin langit nggak penting kayak gitu”.
          Ringgo menoleh ke arah Nina. “Iya, bentar lagi, Nin”.
          “Ya udah, entar jangan lupa kunci pintu ya?”
          Ringgo mengangguk. “Udah sana buruan tidur”.
          Ringgo hampir dua jam duduk di terasnya selepas makan malam tadi. Ada yang mengganggu pikirannya, beberapa hari belakangan ini. Apalagi kalo malam datang. Kalo siang Ringgo sedikit disibukkan dengan kegiatannya sehari-hari; sekolah dan jadi tukang cuci steam motor jadi dia nggak terlalu terbawa suasana pikirannya. Tapi kalo malam datang, debat batin itu terus menghantuinya.
          “Apa karena aku orang miskin, makanya kamu nggak mau nerima aku, Dila”.
          Dila!
          Ya, Dila yang membuat pikirannya tersita ditiap malam belakangan ini. Dulu, sebelum Ringgo menyatakan cintanya buat Dila, yang jadi debat Ringgo cuma— apa dia harus bilang rasa sukanya pada Dila. Apa Dila bakal menerima cintanya atau nggak. Tapi setelah dia menyatakan cintanya pada gadis itu, yang jadi perdebatan Ringgo, kenapa Dila nggak menerimanya! Waktu ditanya, Dila nggak menjawab.
          Ringgo heran dengan sikap Dila. Gadis itu, menolak cintanya tanpa alasan. Tapi kalo begitu kenapa Dila seolah seperti menerima perhatiannya. Selama ini, Dila akrab dengannya dan Duta, sahabatnya. Bahkan, Ringgo bisa memastikan waktu kebersamaannya dengan Dila jauh lebih banyak ketimbang kebersamaannya dengan Duta. Dila sering curhat padanya, menggerutu nggak jelas, bahkan tiap ketemu dengannya Dila seperti baterai yang baru dicharge, selalu semangat.
          Kenapa sih, Dil. Kenapa kamu nggak mau nerima aku? Ringgo membatin.
                                                                                &
Di rumah Duta, jam 21.00 wib.
          Dalam satuan waktu yang sama—sama seperti Ringgo—Duta juga sedang menikmati angin malam di teras rumahnya. Duta tercenung sendiri di beranda teras rumahnya. Matanya nanar menatap nuansa warna hitam digantungan langit yang begitu luas. Bintang-bintang sepertinya saling berebutan mengisi satu tempat di langit dan memancarkan kerlap-kerlipnya. Bulan nggak mau kalah. Sang dewi malam juga tanpa enggan memberi sinar pucatnya. Duta merasa semua komponen penghias malam ini begitu saling melengkapi, saling berbagi. Kalo mereka hidup, pastilah mereka sangat senang karena terus bisa terus bersama-sama.
          “Duta, ayo buruan masuk”, ujar Oma. “Ntar masuk angin lho kalo kelamaan di luar. Angin malem nggak bagus buat kesehatan”.
          “Iya, Oma. Bentar lagi Duta masuk kok. Oma duluan aja”, sahut Duta.
                                                                                &
Rumah Ringgo, pagi harinya.
          Suasana rumah Ringgo, terlihat sibuk setiap paginya. Semua aktifitas mereka bakal berputar seperti biasanya. Bapak kerja lagi jadi juru parkir. Ibu ikut-ikutan kerja juga, jadi tukang cuci dan setrika di rumah tetangga sekitar rumah. Ibunya bekerja tentunya setelah selesai mengerjakan tugas beberes rumah. Sementara Ringgo dan Nina menuju sekolah.
          “Kok sarapannya telur mata sapi sih?” gerutu Ringgo setelah dia bergabung dengan ayah, ibu dan Nina yang sudah lebih dulu berada di meja makan. “Sekali-sekali roti bantal dikasih selai sama segelas susu bisa kan jadi sarapan pagi?!”
          “Kak Ringgo kenapa sih?” tanya Nina. “Biasanya juga Kak Ringgo nggak pernah protes sama sarapan yang dibuat ibu!”
          “Sarapan yang itu-itu aja, lama-lama bosen juga, Nin”, sahut Ringgo dengan cueknya pada Nina, tapi sorot matanya persis seperti singa yang mau menelan mangsanya hidup-hidup.
          Nina baru saja mau menjawab Ringgo lagi, tapi keburu dicegah Ibu dengan mimik muka menahan. Ringgo sebenarnya siap mementahkan lagi ucapan Nina kalo saja adiknya itu menjawabnya lagi.
          “Ya, udah entar sore Bapak beli roti bantal sama susu buat sarapan kita besok pagi, “ ujar Bapak mencoba bijak. “Ayo,buruan sarapan. Nanti kamu telat lho ke sekolahnya”.
          “Nggak, Pak”, jawab Ringgo ketus. “Ringgo jadi nggak selera lagi buat sarapan, Ringgo langsung berangkat aja”.
          Mendengar ucapan Ringgo yang telah melengos pergi tanpa pamit dan cium tangan lagi seperti yang selalu dia lakukan, membuat Bapak, Ibu dan Nina saling pandang. Dalam hati masing-masing mereka bertanya, ada apa dengan Ringgo?
          Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Ringgo menyesali perbuatannya tadi. Kenapa dia bisa marah-marah nggak jelas? Benar yang dibilang oleh Nina, bukannya selama ini dia nggak pernah merasa protes dengan menu sarapan yang disajikan Ibu di meja makan?? Sekalipun itu nasi ditemani ikan asin dan sambel terasi!
                                                                                &
Di sekolah, saat jam istirahat.
          “Dila..., tunggu!!” seru seseorang.
          Kepala Ringgo menoleh cepat ke arah orang yang namanya disebut. Sekarang Ringgo dan Duta berada persis di depan pintu kelas mereka.
          “Masih mikirin Dila?” tanya Duta penuh selidik. Ringgo cuma bisa menghela napas. “Udahlah, kan banyak cewek lain yang bisa kamu lo jadiin pacar. Kan nggak seru lagi, kalo udah kayak gini kejadiannya. Lo sama dia diem-dieman. Kesannya canggung!”
          “Lo bisa aja bilang kayak gitu. Tapi rasa suka nggak gampang buat didapetin. Lahirnya dari hati”, sahut Ringgo sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Dan gue kadung suka sama Dila”, lanjut Ringgo lagi. Tapi jauh dalam hatinya, ada perasaan kesal bukan kepalang yang dia alamatkan buat Duta, sahabatnya itu.
          Patah hatinya jadi dua kali lipat bertambah setelah Ringgo nggak sengaja mendengar obrolan Dila dengan dua sahabatnya, Chelsa dan Pupu tadi di koridor ruang guru sebelum dia menuju ruang kelasnya, setibanya dia di sekolah. Mungkin kah ini jadi alasan Dila menolak cintanya?
          “Nyantai, Bro. Rileks dong”, ujar Duta seraya menenangkan. “Tapi kenapa ya, Dila nolak lo, padahal kan kalian udah deket?” tanya Duta sambil mengerutkan dahi dan menyatukan alisnya.
          “Dia suka sama cowok lain kali!” jawab Ringgo sekenanya. “Makanya dia nolak gue. Tapi yang jelas, cowok itu beruntung banget dapet cintanya Dila. Cinta yang seharusnya gue pengen”.
          “Cowok lain? Siapa?” Duta balik bertanya. “Dia kan sering curhat sama lo, apa dia nggak pernah cerita kalo ada cowok yang dia taksir?”
          Ringgo nggak menggubris lagi pertanyaan Duta. Dia malas membahas cowok yang disuka sama cewek yang justru dia suka, yang sayangnya cowok itu sahabatnya sendiri!! Duta.
          “Lo dengerin gue ngomong nggak sih, Go?” desak Duta.
          “Iya, gue denger lo ngomong”.
          “Terus lo tau nggak siapa cowok yang Dila suka itu? Dia nggak pernah cerita sama lo?”
          “Dia emang nggak pernah cerita sama gue, tapi gue tau siapa cowok itu”, jawab Ringgo dingin ke arah Duta. “Cowok yang disuka sama Dila itu, lo!”
          Duta kaget bukan kepalang. “Gue? Kok gue?”
          Ringgo mengedikkan bahu.
          “Mungkin lo sempurna kali di mata Dila, makanya dia jatuh cinta sama lo”, ujar Ringgo. Dalam hatinya, Ringgo juga merasa iri pada Duta. “Lo kan ganteng, pinter lagi. Nggak heran semua cewek di sekolah naksir dan pengen deket sama lo, termasuk Dila. Iya kan?”
          “Lo juga ganteng, pinter. Dua kali lipat dari gue malah”.
          “Tapi ada kriteria yang ada dalam diri lo yang nggak ada sama gue”, ujar Ringgo pada Duta. Duta langsung terus memancangkan raut muka penasaran, menunggu Ringgo bicara lagi. “Lo tajir alias orang kaya. Sedangkan gue? Siapa lagi yang mau dengan cowok anak yang Bapaknya juru parkir dan Ibunya jadi tukang cuci-setrika di rumah tetangga, terus yang tiap pulang sekolah harus jadi tukang cuci steam motor supaya biar terus bisa sekolah?”
          “Kok lo ngomong kayak gitu sih, Go?”, Duta menjawab ucapan Ringgo. Duta menangkap ada nada skeptis saat Ringgo bicara barusan. “Gue nggak sempurna lagi...”
          Ringgo memandang Duta lekat-lekat. Apa maksudnya? Batin Ringgo. Justru menurut Ringgo, Duta sudah tergolong sempurna. Ganteng, otak ada isinya, ramah sama semua orang, supel, kaya lagi. Kurang apa coba? Cewek mana yang nggak suka sama cowok dengan tipe sekomplit Duta? Jadi nggak heran dong kalo Dila suka sama Duta dan memilih menolak cintanya?!
          “Gue nggak kayak lo, Go”, ujar Duta pada Ringgo. “Gue malah pengen banget kayak lo. Lo punya keluarga. Lo punya Ayah dan Ibu juga...adik cewek yang cantik”, lanjut Duta seraya tersenyum mengingat Ringgo punya adik yang memang cantik. “Keluarga lo hangat ditengah semua yang kalian hadapi. Tapi gue? Gue cuma punya Oma dan Opa yang ngebesarin gue dari gue umur enam bulan”.
          Mendadak Ringgo terenyuh mendengar ucapan Duta barusan. Iya, Duta hanya diasuh oleh Oma dan Opanya sejak Ayah dan Ibunya meninggal akibat kecelakaan mobil. Ringgo juga teringat saat Duta bilang, kalo dia benar-benar ingin tahu bagaimana suara Ayah dan Ibunya, dia ingin banget mendengar suara mereka meskipun cuma sekali. Dan tentunya, Ringgo nggak pernah lupa kalo Duta pernah menangis ketika Duta bercerita padanya kalo Duta benar-benar merindukan Ayah dan Ibunya. Kalo dibandingkan dengan Duta, memang hidupnya jauh lebih sempurna diantara ketidaksempurnaan yang dia alami.
          “Kalo gue jadi lo, gue nggak butuh semua yang lo bilang ‘sempurna’ itu. Gue bahkan rela menukarnya asal gue bisa ketemu dan dibesarin sama orang tua gue”, ujar Duta dengan mata berkaca-kaca.
          “Duta, sorry gue...”
          Duta tersenyum. “Nggak pa-pa kok, Go. Nyantai aja lagi”.
          Ringgo baru sadar, kalo keluarganya adalah yang terpenting. Jauh lebih penting daripada memiliki pacar atau sekedar hidup mewah dan berkecukupan. Keluarga satu-satunya tempat dia mendapatkan dukungan penuh, dan yang paling bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Sekelebat melintas raut wajah Bapak, Ibu juga Nina di pikiran Ringgo. Ada rasa penyesalan yang teramat sangat dalam hati Ringgo kepada mereka. Dia sangat egois tadi pagi dan Ringgo ingin banget bertemu dengan mereka serta meminta maaf.
                                                                                &
Jalanan,persis di depan gerbang sekolah.
          Ringgo sudah nggak sabar lagi tiba di rumah. Sepanjang pelajaran tadi, dia terus merangkai kata-kata yang tepat untuk meminta maaf. Setibanya nanti dia di rumah, Ringgo bakal langsung minta maaf dengan Ibu dan Nina serta Bapak sore harinya. Dalam hati, Ringgo harus merasa berterima kasih pada Duta karena telah membuka hatinya yang tertutup karena keegoisan sesaat.
          Tapi....
          Ada apa itu? Kenapa ada banyak kerubungan orang di sisi jalan raya itu? tanya Ringgo dalam hati.
          Akhirnya, Ringgo memutuskan ikut melihat, sebenarnya apa yang terjadi diantara orang-orang itu. Ternyata, ada orang tertabrak mobil dan meninggal!!
Kasian banget orang ini? Ucap Ringgo dalam hati. Tapi tunggu...orang itu kan...orang itu aku!!!
          Ternyata, jasad orang yang ditabrak itu, Ringgo. Ya, Ringgo yang tadinya begitu semangat, ternyata meninggal akibat mobil barang yang membawa sebuah lemari es. Mobil itu melaju dengan sangat kencang saat melintas di depan sekolah. Namun, sayangnya Ringgo nggak melihat mobil itu melaju saat dia tanpa hati-hati menyebrang jalan untuk menaiki angkot yang dipanggilnya tadi.
          “Kenapa, jadi kayak gini?” tanya Ringgo lirih pada diri sendiri. Dia masih belum bisa percaya kalo dia sudah nggak bernyawa. Tapi keberadaan rohnya yang sudah terpisah dari tubuhnya, telah menjawab pertanyaannya itu. “Tuhan, aku ingin minta maaf sama Bapak, Ibu juga Nina. Tapi kenapa, malah Engkau cabut nyawaku??”
          Ringgo cuma bisa tepekur sendiri, menyesali kesalahannya. Dia nggak peduli lagi meskipun orang-orang bertambah banyak mengerubungi jasadnya, termasuk Duta dan Dila.
          Sekarang, Ringgo hanya bisa berharap kiranya Tuhan mau memberi maafNya dari surga atas kesalahan yang dia perbuat dan mau mengabulkan keinginannya untuk meminta maaf kepada keluarganya yang dia sakiti, entah dengan cara apapun.
          “Waktu kamu sudah habis”, sapa dua malaikat yang datang menjemputnya.
Ringgo menoleh dan pasrah ketika dia digiring ke alam yang jauh dari dunia...
                                                                                &

Rabu, 09 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di ANEKA YESS! (Cerpen Tahun Baru) :: RESOLUSI ANDIEN


          Pagi datang lagi!
          Sinar Matahari masuk tanpa permisi melalui celah ventilasi kamar Andien dan memaksanya memicingkan mata. Dia sempat menggerutu karena gara-gara hal itu dia terbangun dari tidurnya.
Tapi, dalam beberapa detik gerutuan Andien berubah jadi jerit histeris.
          “Whoooaaaaa....gue telat!!!”
          Tanpa pikir panjang lagi, Andien langsung beranjak dari ranjangnya nan empuk dan bergegas menuju kamar mandi. Tentu saja, Andien nggak mau sampai telat ke sekolah. Dia harus bisa lolos dari gerbang sekolah yang dijaga ketat oleh Pak Beben atau atas permintaan anak-anak penghuni sekolahnya mengubah namanya jadi Pak Ben. Beliau adalah satpam sekolah tempat Andien menuntut ilmu.
          Secepat kilat Andien sudah terlihat rapi dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Rambut hitam sebahunya pun cuma diikat kuncir di belakang bahu seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah semerbak wangi parfum yang baru dia beli kemarin di toko parfum langganannya. Sengaja dia memilih aroma parfum yang baru tapi tetap dia sukai. Cari suasana baru, begitu pikir Andien sewaktu dia membelinya kemarin.
          “Andien berangkat dulu ya, Ma, Pa”, kata Andien pada kedua orang tuanya begitu dia tiba di meja makan. Andien tahu-tahu mencomot roti yang baru saja diolesi selai kacang oleh Mamanya.
          “Andien...”, kata Papanya. “Nggak sopan banget sih”.
          Andien cuma tersenyum masam dengan mulut tersumbat roti yang dia comot barusan. Lalu dia langsung mencium tangan mama dan papa setelah lebih dulu menghabiskan separuh susunya.
          “Makanya, Dien, bangun itu jangan telat”, kata Mama menimpali. “Kamu itu, beda banget dengan Roy yang udah kuliah. Dia aja udah pergi lantaran ada kuliah pagi padahal kuliahnya baru mulai jam delapan nanti”.
          “Iya, iya...Daaaggghh”.
          “Hati-hati di jalan, jangan ngebut lho”, lanjut Mama meningkahi langkah Andien yang sudah menjauh.
          Andien pun akhirnya menuju garasi rumahnya karena di sana telah menunggu motor bebek yang diberikan Papanya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas, bulan lalu. Andien hanya perlu menyeimbangkan gas dan gigi, lalu melesat ke sekolah.
                                                                            &

          “Hampir kamu telat, Dien. Coba aja kamu telat dikit lagi, Pak Ben nggak bakalan ngasih kamu masuk lho”, kata Pak Ben pada Andien begitu dia dan motor bebeknya lolos melewati gerbang sekolah.
          “Iya nih, Pak. Saya tadi telat bangunnya, tapi untungnya masih bisa ngejer watu sebelum bel masuk”, sahut Andien.
          “Pasti kamu ngebut lagi makanya bisa sampe ke sekolah dengan cepet , hayo ngaku?” todong Pak Ben.
          Andien cuma cengengesan. “Pak Ben tau aja, terpaksa, Pak. Mau gimana lagi?”
Cewek satu ini kalo soal ngebut jangan ditanya. Dia bisa ngebut kalo kepepet alias telat. Hanya saja Andien sering banget telat!
          Setelah tadi ngobrol sebentar sama Pak Ben, Andien menuju parkiran. Kalo tadi Andien bisa merasa lega sekarang dia balik menggerutu lagi. Dia jengkel setengah mati lantaran tempat parkir yang biasanya dia tempati sudah diisi dengan motor siswa lain. Mau nggak mau, Andien akhirnya memilih parkiran yang tersisa.
          “Pagi, Dien”, sapa Reva, sahabat dari ketiga sahabat Andien yang sekaligus jadi teman sebangkunya. “Kenapa tampang lo pagi-pagi udah ditekuk kayak gitu?”
          “Nggak dikasih uang jajan kali”, sahut Chelsa, si Miss fashionista ngasal.
          “Bukan, Chel. Si Andien lupa bikin peer Fisika” ujar Chiko, si Miss tukang dandan sambil terkikik.
          Andien memutarkan kedua bola matanya, lalu mendengus.
          “Tebakan kalian nggak ada yang bener”, jawabnya taktis. “Gue selalu dikasih uang jajan yang lebih dari cukup sama ortu gue. Dan gue juga udah ngerjain peer Fisika yang dikasih kemarin lusa itu”.
          “Terus apa yang nyebabin tampang kusut lo itu, heh?” tanya Reva lagi.
          “Tempat parkir motor gue yang biasa, ditempatin sama anak lain. Sebel gue”.
          “Ya ampun, Dien, cuma gara-gara itu toh”, uja Reva seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak dapet parkiran seperti yang biasa bukan berarti kiamat kan?”
          Tapi Andien tetap nggak peduli, dia tetap saja masih jengkel.

                                                                                   &

          Di kantin saat jam istirahat.
          “Duh, gue jadi deg-degan nih buat ujian semester gazal ini. Soalnya susah-susah nggak ya?” ujar Reva dengan nada khawatir yang berlebihan.
          “Udah deh, Rev. Bukan cuma lo aja yang khawatir, kita-kita juga kok. Makanya kita harus lebih giat lagi belajarnya”, sahut Chiko bijak tapi tangan kanannya tetap menepuk-nepuk pelan wajahnya—memulaskan bedak. “Lagian kan lo itu kan langganan juara kelas, gue yakin lo pasti bisa ngelewatin semuanya”.
          Anehnya, sedari tadi Andien lebih banyak diam. Beda dari biasanya.
          “Btw, beberapa hari lagi kan kita mau tutup tahun dan buka kalender yang baru nih, kira-kira resolusi apa yang udah kalian buat?” Chelsa membuka topik obrolan baru. “Kalo gue sih pengen ikut Tante gue shopping di butik temennya di Singapur”.
          Resolusi? Andien membatin.
          Dia juga harus memikirkan resolusi apa yang bakal dia buat untuk diwujudkannya ditahun depan. Tahun-tahun sebelumnya, Andien nggak begitu menganggap penting apa itu resolusi, cita-cita, atau ketetapan hati untuk perubahan dimasa depan, tapi seiring dengan datangnya kedewasaan membuat Andien merasa dia juga harus memasang ‘target’ buat tahun depan.
          “Kalo gue sih selain belajar, gue harus terlihat lebih cantik lagi ditahun depan supaya Alan makin sayang sama gue”, kali ini Chiko yang ngomong.
          “Gue cuma pengen tambah lebih rajin belajar aja biar bisa masuk perguruan tinggi negeri”, ujar Reva kalem tanpa harapan yang muluk-muluk.
          “Aduh, Rev. Plis deh, kita emang urgent banget menjelang akhir-akhir SMA kita tapi bukan berarti kita harus belajar melulu setiap saat kayak lo”, Chiko berkomentar. “Lo harus pasang target yang tinggi juga buat tahun depan. Dapet pacar, misalnya. Itu lebih masuk akal, supaya lo jangan kelamaan jomblo dan makin tambah jadi orang yang nerd”.
          Reva memanyunkan bibirnya mendengar komentar pedas Chiko barusan. Sementara Andien dan Chelsa hanya bisa tertawa geli menangapi.
          “Kalo lo, Dien, resolusi lo ditahun depan apa?” Pertanyaan ini dengan cepat disodorkan Reva pada Andien membuat Andien berhenti tertawa.
          “Gue...gue...”.
          “Si Andien mah banyak”, serobot Chiko. “Pertama-tama yang harus ada di daftar resolusinya buat tahun depan adalah dia harus jago dandan. Apa kalian nggak liat pori-pori di mukanya Andien gede-gede banget, ada komedo lagi di hidungnya. Pasti deh jarang ke salon!”
          Meski merasa tersindir, Andien nggak ngomong apa-apa untuk membela diri. Memang kenyataannya seperti itu.
          “Dan kedua, lo juga harus ubah penampilan lo, Dien. Jangan terlalu tomboi gitu, feminine dikit kek”, celetuk Chelsa. “Hobi lo yang sering make jins belel plus kaos tiap kita hang out bareng harus lo kurangin. Gue akan dengan senang hati kok, buat minjemin koleksi baju-baju gue kalo emang itu perlu”.
Andien mengangguk-angguk, mencoba memahami nasehat sahabat-sahabatnya.
          “Dan ada satu lagi”, Reva bersuara, membuat Chiko, Chelsa dan terutama Andien menoleh ke arahnya. “Lo harus lebih merhatiin Tito tuh, kasian dia. Tito sering ngeluh ke gue, dia bilang lo tiga bulan belakangan ini banyak berubah. Apalagi sejak lo nggak make jasanya lagi sebagai ojek pribadi setelah lo dibeliin motor baru sama bokap lo. Inget, Dien, Tito itu pacar lo. Hargain dia”.
          Tito?
          Pikiran Andien tertuju pada sosok itu akhirnya. Andien mau nggak mau membenarkan ucapan Reva barusan. Dia memang belakangan ini jarang menggubris lebih serius keberadaan Tito apalagi sejak dia dituntut untuk terus belajar menjelang ujian semester sebentar lagi dan ujian kelulusan yang kian hari kian dekat. Dan yang lebih parahnya sejak Andien nggak lagi menumpang motor Tito, pergi dan pulang sekolah!!
          Terbersit kata maaf Andien untuk cowok itu. Dalam hatinya Andien bersyukur memiliki tiga sahabat yang benar-benar care padanya. Andien paham betul kalo ketiga sahabatnya itu memperhatikan dirinya dan kekurangannya. Untuk itulah mereka ada di kehidupan Andien saat ini.

                                                                                   &
          Malam harinya, Andien tercenung sendiri di atas ranjangnya. Di tangan kanannya, Andien memegang sebuah pulpen dan terlihat juga secarik kertas kosong. Disitulah Andien bakal menuliskan satu-persatu daftar resolusinya ditahun depan.
          Mengenai resolusi yang disarankan oleh Chiko dan Chelsa, Andien nggak mungkin langsung menyanggupinya seratus persen. Semuanya butuh proses, pikirnya. Masalahnya, dia masih comfort dengan ‘gaya’ yang dianutnya sekarang. Istilah yang pas buatnya, mungkin mengubah sedikit penampilan tapi tetap jadi diri sendiri. Menyenangkan hati sahabat, juga jadi resolusi Andien tahun depan.
Selanjutnya, tahun depan Andien juga pasang target harus lolos PTN .
          Lalu ketiga, lebih patuh sama Papa dan Mama. Daftar keempat, jangan sering berantem dengan Roy, abangnya. Kelima, harus bisa bangun pagi lebih awal.
Keenam, berusaha untuk nggak terlalu suka ngebut.
Dan bla...bla, hingga keurutan kedua puluh resolusi Andien bermuara : harus jadi orang yang lebih baik lagi dan murah senyum.
          Tapi ada satu resolusi utama yang benar-benar ingin dilakukan Andien tanpa harus menunggu tahun depan. Besok, dia akan memberi kejutan pada Tito, pacarnya yang hampir terlupakan olehnya...

                                                                                   &