Senin, 20 September 2010

Momen Indah Zia--Muat di Tabloid GAUL (Edisi 32)

Rasanya kepalaku mau pecah kalau harus meladeni humor-humor zombi Zia padaku. Dia tak henti-hentinya membahas hal-hal yang tak penting padahal aku sering merasa tak minat sama sekali. Bahkan hal remeh temeh saja dia bahas, misalnya aktifitas Belo, kucing Anggora kesayanganku yang lebih banyak tidur pun dia ceritakan padaku, jelas-jelas aku sudah tahu!

Kedatangan Zia ke rumah membuat duniaku jungkir balik.

Zia bukan cuma sekedar datang berkunjung tapi dia telah tinggal di rumahku sekarang. Dia berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kesulitan ekonomi orang tuanya—yang tak lain Om dan Tante dari pihak Mamaku—yang menyebabkan Zia mau tak mau harus jadi bagian dari keluargaku. Dengan adik-adiknya yang masih berjumlah enam orang— yang juga harus dinafkahi, tentu saja jadi alasan utama mengapa Om dan Tante dengan berat hati melepas Zia.

Aku masih ingat betapa lusuhnya Zia ketika pertama kali menginjakkan kaki ke rumahku ini. Dandanannya berantakan, rambutnya awut-awutan—pasti jarang dispa tau bahkan jarang creambath atau jangan-jangan dia pakai sabun sebagai shampo—kulit kasar tak terawat, pokoknya membuat aku tak tahan kalau harus menatapnya lama-lama. Sangat pantas untuk dipermak—dan sayangnya Mama waktu itu memercayakan perubahan Zia padaku.

Uuugghhh….

“Apa, kabar? Kamu masih ingat aku kan, Lan?” tanya Zia ketika dia menyapaku pertama kali—waktu itu—di dapur sewaktu aku hendak membuatkan Orange Juice untuk Mama. “Emang sih kita belum pernah ketemu lagi sejak terakhir kali keluargaku berkunjung delapan tahun yang lalu, maklumlah keluargaku kan nggak berpunya. Tapi aku masih ingat, kok tampang cantik kamu waktu itu”.

Aku tak bergeming, aku masih memfokuskan diri dengan perasan jeruk yang sedang aku buat.

“Rambut kamu panjang sebahu dengan poni selamat datang di kening kamu”, lanjutnya seraya menahan tawa dan tentu saja membuatku sebal setengah mati.

“Mendingan aku yang waktu itu berambut panjang sebahu dengan poni selamat datang, daripada kamu kulit hitam plus rambut ikal nggak jelas!” kataku seraya meninggalkannya. Biar saja Mbok Inah yang melanjutkan membuat Orange Juice untuk Mama. Aku tak mood lagi!



====oo00oo====

Ada lima kardus yang lumayan besar berjejer rapi di ruang keluarga ketika aku hendak menonton televisi sore harinya. Kardus-kardus apaan ini? Tanyaku dalam hati.

“Maaf ya, ini tumpukan buku-buku aku”, kata Zia yang mendadak berada di sampingku. “Mulai dari buku pelajaran sampe novel-novel kesayanganku yang aku beli dari uang jajanku yang sangat sedikit. Aku belum menyusunnya”.

Siapa juga yang tanya?! Aku menggerutu tak jelas dalam hati lagi. “Singkirin deh, aku mau nonton tivi. Mataku nggak nyaman banget kalo harus ngeliat kardus-kardus kamu itu!” kataku datar tapi kuucapkan dengan nada menyakitkan hati.

Zia hanya tersenyum tak enak hati.

Begitulah Zia menyeimbangkan kesan jutekku dengan berbagai cara. Bahkan terkadang tanpa sungkan dan tanpa malu dia mendekatiku dan menularkan humor-humor zombinya. Tapi aku masih agak ogah-ogahan meladeninya meski tak urung aku juga pernah tergelitik dan menahan senyum.

Sosok Zia punya satu impian diusianya yang tak beda jauh denganku. Dia pernah menceritakan impiannya itu padaku ketika dia menghampiriku di gazebo halaman belakang rumah. Waktu itu aku sedang asyik membaca majalah remaja yang baru aku beli sepulangnya aku dari sekolah.

Zia ingin sekali mempunyai perpustakaan atau semacam taman bacaan! “Buat apa kamu pengen punya perpustakaan atau taman bacaan segala?” tanyaku pura-pura cuek—padahal jelas-jelas aku antusias ingin tahu— sembari membalikkan satu halaman majalah.

Dari balik ekoran mataku, aku melihat mata Zia berkedut-kedut sembari menjawab, “karena itu momen indah buatku kalo itu terwujud”.

“Momen indah kamu?” tanyaku lagi sekenanya tanpa memalingkan wajah menghadapnya.

“Hmm…,”jawab gadis yang akhirnya satu sekolah denganku itu, “aku ingin anak-anak yang sama nggak beruntungnya denganku atau malah yang jauh nggak beruntung dari aku bisa lebih dapet banyak wawasan dengan koleksi-koleksi buku yang aku punya”.

Tertegun aku mendengar ucapannya. Caranya menyikapi impian dan harapan membuatku merasa rendah di hadapannya…



=====oo00oo=====

Kemana raibnya semua penghuni rumah maghrib-maghrib begini. Mama kemana? Dan, bukannya Papa seharusnya sudah pulang biasanya dijam-jam begini? Tapi kemana Papa? Terus, Lintang adik bungsuku juga menghilang!

Sedari tadi mencari-cari keberadaan orang-orang rumah, aku hanya mendapati Mbok Inah di dapur.

“Mbok, semua orang pada kemana sih, sepi banget? tanyaku. “Terus, kenapa Mang Diman nggak jemput aku ke tempat les piano?”

“Anu, Non…anu”, jawabMbok Inah terbata. “Nyonya sama Non Lintang pergi ke rumah sakit dianterin sama Mang Diman. Tuan langsung nyusul kesana, langsung dari kantor. Juga ke rumah sakit”.

Rumah sakit? Batinku.

“Emang siapa yang sakit?” tanyaku ingin tahu. Wajar saja aku menanyakan ini. Mendadak, aku jadi sedikit khawatir.

“Non Zia”, jawab Mbok Inah cepat. “Non Zia yang sakit, Non”.

“Zia?” tanyaku lagi dan langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Mbok Inah. “Ke rumah sakit mana dia dibawa?”

“Rumah sakit Kazena Krista, Non”.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar menuju pangkalan ojek yang ada di ujung kompleks rumahku dan segera menuju rumah sakit.

=====oo00oo=====

Aku tak tahan melihat keadaan Zia sekarang. Aku yang menatapnya saja begitu terlihat menderita, apalagi Zia yang mengalaminya sendiri. Aku tanpa sadar menangis menyaksikan perjuangan Zia yang hanya sekedar ingin bernapas dengan menggunakan ventilator.

Penyakit itu sudah menyerang otot- paru-paru Zia!

“Ma, kak Zia sakit apa?” tanya Lintang pada Mama yang tampak sedih melihat keponakannya.

Zia hanya mengedipkan mata pada seluruh anggota keluargaku—termasuk aku—sebagai tanda dia memahami kalau dialah yang jadi bahan obrolan. Kondisi Zia sudah parah!!

Mama tak menjawab Lintang. Mama hanya mengusap-usap punggung Lintang dan berisyarat agar membuatnya berhenti bertanya lagi. Namun, beberapa detik kemudian ada yang tak beres dengan Zia dan membuatku keluar karena merasa tak kuat melihatnya.

Tadi paru-paru Zia bocor. Ternyata setelah dirontgen, paru-paru Zia mengempis drastis, makanya bisa bocor. Untuk mengatasinya dokter harus memasang Water Sealed Drainage (WSD) serta melubangi tubuhnya agar pemakaian WSD bisa terhubung ke paru-parunya.

Penyakit itu diberi nama Guillain-Barre Syndrome. Dia yang menyerang saraf motorik dari bagian tubuh hingga menjalar ke bagian atas lalu hampir keseluruhan tubuh—dan inilah yang membuat Zia tak berdaya!

“Mama nggak sengaja menemukan Zia tergeletak di lantai. Tubuhnya nggak bisa digerakin tapi dia masih sadar waktu itu”, kata Mama menangis, “cuma mata Zia kelihatan aneh, makanya Mama dan Lintang langsung bawa Zia ke rumah sakit”.

“Papa juga lngsung buru-buru pulang waktu Mama ngasih tau Papa”, timpal Papa.

Seketika itu juga, aku layangkan pandanganku ke Zia yang tertidur. Tampaknya dia sudah agak mendingan hingga dia bisa menikmati tidurnya. Aku melihatnya dari kaca yang terpatri di pintu ICU tempat dia dirawat. Wajahnya pucat, mungkin akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu. Tapi Lintang senantiasa menemaninya sedari tadi.

“Kasian Zia”, kataku terdengar seperti bergumam seraya mengalihkan kembali perhatianku ke Mama dan Papa. “dia anak yang ceria dan punya semangat yang tinggi. Dia juga pinter kok di sekolah”.

Mama dan Papa setuju dengan yang aku katakan.

“Zia nggak mau ngerepotin orang lain, dia selalu melakukan semuanya sendiri. Dia anak yang sangat tau diri”, timpal Papa lagi.

“Om dan Tante udah dikabarin?” tanyaku tiba-tiba.

Mama menggeleng. “Zia nggak mau, Om dan Tente tau tetang hal ini”.

“Tapi kenapa?”

Belum sempat aku mendapat jawaban atas pertanyaanku barusan, tiba-tiba Lintang menghambur keluar dengan jerit histeris!

“Mama, kak Zia?!!!

Para perawat dan dokter saling berkejaran waktu untuk memulihkan kesadaran Zia yang perlahan menghilang akibat penyakitnya yang mendadak kambuh. Ada masalah lagi dengan paru-paru Zia. Tapi mereka terus mencoba. Pemandangan kesakitan Zia seperti kiamat bagiku.

Demi Tuhan, kalau Zia diberi kesempatan untuk sembuh, aku akan meladeni selera humor-humor zombinya itu dan membantunya mewujudkan momen indahnya untuk memiliki perpustakaan atau taman bacaan!!

Aku menyayangi kamu, Zia, gumamku pada sendiri sambil menangis.



======oo00oo======

Keesokan harinya…

Aku berada diantara banyaknya kerumunan orang yang berpakaian hitam-hitam—dan aku juga menggunakan kerudung berwarna senada—ketika mengiringi tubuh kaku Zia menuju liang lahat yang menunggunya. Zia dipaksa menyerah dengan penyakitnya. Dia meninggal, hanya sepuluh menit sejak jerit histeris Lintang semalam.

Zia boleh saja lenyap dan meninggalkan dunia fana ini tapi semangatnya tetap akan hidup di hatiku…dan aku bakal mewujudkan momen indah yang jadi impiannya…



=======oo00oo======

Tidak ada komentar:

Posting Komentar