Keajaiban dari sebuah ingatan dapat mengantarkan seseorang ke sebuah masa yang hampir terlupakan atau sengaja ingin dilupakan.
“Jujur deh, Zen, gue masih nggak habis pikir gimana ceritanya Sachi bisa jadi pacar Haga, padahal kan kita tau bahkan seluruh sekolah tau kalo Haga dulunya nggak suka banget sama dia”, kata Zaruya—sahabat Kazena, yang sekaligus kembaran Azarya, anak keren bin super badung yang jadi penghuni salah satu bangku di kelas sebelah.
Kazena hanya bisa mengedikkan bahu sekaligus menghle napas pada saat yang bersamaan. Dia mungkin akan sama—bertanya-tanya—bingungnya seperti Zaruya, kalau saja dia bisa melupakan gumaman Sachi di depan cermin kamar mandi sekolah, tiga bulan yang lalu.
Ketika itu Kazena baru saja hendak keluar setelah buang air kecil. Tapi barisan kalimat yang dikatakan seseorang menunda niatnya itu, Tak urung, Kazena mengintip dari balik pintu dan mendapati kalau orang itu adalah Sachi…
Perkataan Sachi di depan cermin itu begitu mengejutkan Kazena.
Kazena ingin sekali memberi tahu Zaruya tentang masalah ini. Semuanya—semua barisan kalimat yang telah keluar dari bibir Sachi waktu itu. Kazena bisa ingat dengan detail setiap kata-kata Sachi karena dia memiliki ingatan yang tak dimiliki orang kebanyakan! Bahkan, Kazena bisa membayangkan dengan jelas wajah kebencian Sachi yang tercetak sempurna di cermin.
Kazena bukannya tak pernah bersyukur mendapat kemampuan untuk mengingat semua kejadian yang pernah terjadi atau tanpa sengaja terjadi dalam hidupnya. Hanya saja, momen-momen yang menjejali kepalanya terkadang menyebalkan, membuatnya merasa bersalah bahkan sanggup membuatnya menangis…
Siapa yang salah? Tuhan??
Ingatan eidetik yang diterimanya, bingung diartikannya sebagai anugerah atau malah musibah !
= = = = oo00oo = = = =
“Hai, Zen, hai, Ru. Sachi mana, kok nggak bareng kalian?”
Haga menghampiri Kazena dan Zaruya di kantin. Cowok ganteng—yang juga sekelas dengan Azarya—yang terkenal kaya, pintar sekaligus sombong itu sibuk mencari keberadaan Sachi. Alisnya sempat berkerut karena tak mendapati Sachi bersama kedua gadis yang diajaknya mengobrol itu.
Kazena menolehkan kepala menghadap Haga, dengan seulas senyum dia berkata, “kita tadi, nganterin Sachi ke UKS. Katanya, perutnya sakit”.
“Penyakit bulanan kali, Ga”, sahut Zaruya menimpali dengan raut wajah ogah-ogahan.
Kazena tahu betul makna dari raut wajah jengah yang ditunjukkan Zaruya barusan. Sama jengahnya seperti masyarakat yang jengah dengan pemberitaan ledakan tabung gas tiga kilogram yang sedang marak terjadi atau pemberitaan video ‘panas’ artis yang tak kunjung usai. Zaruya itu cemburu!
Cemburu??
Benar sekali, Zaruya cemburu dengan Sachi, si anak baru yang dengan cepat ketahuan kikuk dan sulit bergaul itu. Tadinya Zaruya bisa bersinergi dengan senang hati terhadap Sachi tapi karena gadis itu mencuri perhatian cowok yang disukainya, praktis membuat Zaruya berteman sekedar berteman saja. Tak ada lagi tawaran hang out, tak ada lagi sapa ramah atau undangan ke kantin bareng dari dirinya. Semua itu cuma diangsurkan oleh Kazena. Bagi Zaruya, semuanya hanya pertemanan klise.
Ah, cinta bisa membutakan orang yang kejatuhan pesonanya.
“Kalo gitu, gue nyamperin Sachi ke UKS dulu ya?” Kata Haga pamit, lalu berlalu dari situ.
Zaruya mengaduk-ngaduk es campurnya sambil sesekali menyeruputnya sedikit-sedikit. Alisnya bertaut membentuk satu kekesalan yang tampak dengan mudah dibaca Kazena. Zaruya memang bisa diumpamakan seperti buku yang terbuka. Kali ini, itu sangat gampang terbaca oleh Kazena.
“Mantra-mantra Sachi cepet banget meracuni otak Haga. Lo liat kan segitu ngebetnya Haga pengen ketemu dia. Pelet apa ya yang dipakai sama Sachi sampe-sampe Haga bisa kesengsem setengah mati kayak gitu?!”
Kazena tak menyanggah ucapan Zaruya juga tidak mendukung kata-kata sahabatnya itu. Dia memilih untuk tidak merespons. Sebenarnya, Sachi tak bermaksud mencuri perhatian Haga sama sekali tapi tak selamanya ada orang yang yang mau diremehkan terus-terusan kan??
Sachi, oh Sachi. Pikiran Kazena sibuk memainkan sosoknya.
= = = = oo00oo = = = =
Tak ada yang salah yang ditangkap Kazena ketika tanpa sengaja Haga menolong Sachi yang hampir terjatuh, seminggu sebelum peristiwa kamar mandi itu. Sepertinya, anemianya kambuh lagi soalnya Sachi pernah bilang kalau dia sering sekali mengalami anemia dadakan. Haga pun memapahnya ke UKS, meskipun ketika itu Kazena melihat Haga melakukannya dengan sangat terpaksa.
Dan dari situlah perubahan dalam diri Haga terjadi, menciptakan keanehan sewot Zaruya dan lebih parah lagi kengerian bercampur ketakutan menyerang Kazena. Benarkah awal mulanya karena itu?? Dibalik kekikukan dan kesulitannya bergaul, ternyata Sachi menyimpan bakat yang tersimpan—yang bisa mempesona atau lebih tepatnya bisa memaksa orang untuk menyukainya!
Rinai hujan yang merintik dari langit sudah turun kurang-lebih selama setengah jam dan terlihat sosok Kazena tengah menikmati cappuchino hangatnya di Mon Ami, café langganannya dan Zaruya—juga Sachi. Kazena sedang menunggu kedatangan Sachi. Tiba-tiba terlintas di pikiran Kazena untuk mengobrol serius dengan Sachi hari ini tentang peristiwa kamar mandi itu. Kazena tak bisa lagi membiarkannya berlarut-larut. Tak bisa ditunda lagi, Kazena benar-benar ingin mendengar pengakuan Sachi—langsung dari bibir tipisnya nan sensual itu.
Sepuluh menit kemudian, Sachi datang.
“Hai, Zen?!” sapa Sachi setibanya dia di meja tempat Kazena berada. Tangannya kemudian sibuk membersihkan sisa-sisa percikan air rintikan hujan yang membasahi baju serta kepalanya. “ Zaruya mana? Dia nggak ikutan dateng?”
Kazena terseyum tipis. “Duduk dulu deh, Chi”.
Dengan sigap Sachi, mengambil posisi duduk persis di hadapan Kazena.
“Gue sengaja, nggak ngajak Zaruya ngumpul bareng kita”, kata Kazena pada Sachi yang menunggu jawabannya.
Sensasi keheranan ditunjukkan Sachi. Keningnya berkerut, seolah menghadirkan satu pertanyaan. Lalu…
”Kok gitu?? Lo nggak lagi berantem sama Zaruya kan, Zen?” tanya Sachi hati-hati.
Sachi sadar betul, sekalipun dia sudah berteman dengan Kazena dan Zaruya bahkan dianggap sahabat oleh mereka namun tetap saja ada koridor-koridor persahabatan yang tak bisa dimasuki Sachi antara Kazena dan Zaruya.
“Gue nggak berantem kok sama Zaruya. Semuanya baik-baik aja”.
Sachi menghela napas lega sebentar.
“Eee….terus kenapa Zaruya nggak gabung bareng kita? Kenapa cuma kita berdua?” tanya Sachi lagi, tetap membombardir Kazena dengan rasa penasarannya yang mulai menjadi-jadi.
Sejenak Kazena mengisi penuh rongga dadanya dengan udara. Sepertinya berat sekali, Kazena ingin memulai percakapannya dengan Sachi. Tapi sudah terlanjur setengah jalan. Lagipula si pembuat perubahan itu sudah ada di hadapannya saat ini.
“Gue pengen ngomong sesuatu yang serius sama lo, Chi”.
“Sama gue? Emang ada apaan, Zen?”
Kazena bisa menangkap reaksi aneh yang dihasilkan getar suara Sachi tapi gadis itu berusaha menjaga sedatar mungkin getar suaranya tersebut. Apakah Sachi sudah bisa membaca niatnya untuk menanyakan masalah yang mengganggu pikirannya tiga bulan belakangan ini?!!
“Gue tau semuanya, Chi!”
Kazena langsung menohok Sachi dengan tuduhan tersirat. Entah Sachi bisa mengartikannya atau tidak. Ini prolog awal yang bisa dilakukannya untuk membangun percakapan seriusnya dengan Sachi. Gadis berpostur tubuh mungil yang ada di hadapannya itu mau tak mau harus siap mendengar apa yang sudah tak sengaja didengarnya tentang apa yang diucapakannya di kamar mandi ketika itu. Sudah cukup tiga bulan Kazena menyimpan rapat rahasia itu. Dan inilah saatnya…
“Mata lo yang menghipnotis itu! Gue tau lo bisa ngelakuinnya”, kata Kazena tanpa berusaha berbicara dengan nada hati-hati. “Dan Haga…lo ngelakuinnya sama Haga kan? Iya kan, Chi? Saatnya lo harus jujur sama gue!”
Bening pupil Sachi melihat tajam ke arah Kazena. Tapi bibirnya terkatup rapat tanpa melahirkan kalimat pembelaan apa-apa. Dalam hatinya, Sachi baru menyadari ternyata ini alasan kenapa Kazena tak mengajak Zaruya duduk bareng bersama mereka.
Beberapa saat kemudian, Sachi membuang pandang ke luar café. Kebetulan posisi meja tempat mereka duduk bersebelahan langsung dengan kaca pengganti dinding. Di luar café, Sachi disuguhi pemandangan yang dianggapnya romantis, sampai-sampai dia tersenyum tipis menyaksikannya. Ada seorang laki-laki dan perempuan berlari-lari kecil menghindari rintikan hujan. Laki-laki itu berusaha melindungi kepala si perempuan dengan tangannya agar kepala si perempuan tak basah terguyur air hujan. Namun, Kazena menganggap senyuman Sachi itu sebagai senyuman sarkastis, seolah-olah Sachi telah menelanjangi tuduhan tersiratnya tadi.
Apa yang ada di pikiran gadis ini, batin Kazena.
“Lo ngomong apa sih, Zen?” Barulah Sachi merespons, tapi tanpa mengalihkan pandangannya pada Kazena. Sepertinya dia membangun pertahanan untuk dirinya sendiri.
“Jangan ditutup-tutupi lagi, Chi. Percuma. Gue tau lo udah tau maksud omongan gue sekarang!”
Mendengar kata-kata Kazena, akhirnya Sachi memutar kepala ke arah orang yang ada di hadapannya itu. Akhirnya dia menyadari, bukan saatnya lagi membangun pertahanan kepura-puraan karena sepertinya Kazena sudah sangat tahu betul apa yang terjadinya—ya sepertinya—Kazena tahu tentang bakat bawaannya sejak lahir itu.
“Oke, apa yang pengen lo tau, Zen?”
“Gue cuma pengen lo ngaku—kalo lo menghipnotis Haga dan ngebuat dia jatuh cinta setengah mati sama lo kan? Iya kan, Chi?”
Sachi menatap Sachi tajam dan dalam untuk beberapa saat. Itu jelas-jelas membuat Kazena merasa takut dan risih. Baru kali ini Kazena merasa seperti itu hanya karena diserang tatapan mata seseorang.
“Iya gue yang menghipnotis Haga dan membuatnya jatuh cinta setengah mati sama gue”, ucap Sachi jujur. “Lo tau kan kenapa gue ngelakuin itu, Zen?”
Kazena tak menjawab karena dia tahu betul arah ucapan Sachi. Seketika terlintas dipikiran Kazena cowok yang bernama Haga itu. Sebenarnya dialah sumber kekecauan ini. Kesombongannyalah yang membuat Sachi menggunakan bakat alamiahnya itu.
“Gue pengen menghancurkan kesombongannya dengan menghancurkan reputasinya di sekolah”, lanjut Sachi dengan nada marah yang teredam dalam suaranya. Sachi kembali melihat ke arah Kazena, “ lo tau kan betapa bencinya dia sama gue padahal sampe sekarang gue nggak tau kenapa dia ngebenci gue”.
Sachi mulai menggiring Kazena ke narasi dan deskripsi yang dia bangun. “Dia selalu meremehkan gue bersama teman-temannya tiap kali kami ketemu. Sekali-dua kali mungkin gue bisa terima tapi kesabaran gue ada batasnya juga, Zen”.
“Dan ini cara lo buat ngebales dia? Dengan menghipnotisnya sampe sekarang?”
“Kenapa nggak? Biar dia malu kalo nanti gue nanti ngilangin hipnotis itu? Tuhan, ngasih gue bakat menghipnotis ini, kenapa nggak gue manfaatin aja”, Sachi menyeringai dengan raut wajah kebencian. “Gue pengen kesombongannya hancur. Gimana ceritanya seorang Haga bisa pacaran sama cewek yang nggak se-level kaya dan mempesona seperti dia. Bahkan Bellatrix kalah kan sama gue?”
“Sampe kapan lo bakal memperlakukan dia kayak gitu, Chi? Kasian dia?
Sachi menatap Kazena sambil berkata, “sampe gue ngerasa puas. Dan lo, Zen…kalo lo nggak mau nasib lo sama kayak Haga, terhipnotis gara-gara mata gue ini, lo jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini. Ngerti lo??”
Kazena terbungkam dengan sendirinya, mendengar ancaman yang keluar dari sseorang Sachi. Mendadak, si kikuk Sachi bukan seperti Sachi yang dulu lagi. Dan untung saja Kazena tak mengajak Zaruya, karena sudah bisa dipastikan Zaruya akan terpancing emosi kalau mengetahui kejadian ini…
= = = = oo00oo = = = =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar