Senin, 21 Juni 2010

Semua Tentang Kita (Muat di Aneka Yess-Pemenang Short Story Contest Aneka Yess! )

“Ceritanya seru ya?” tanyaku pada Sisi begitu kami beserta rombongan penonton theatre 4 keluar bersamaan.
“Iya, seru banget”, jawab Sisi.
Jawaban Sisi barusan mengelitikku. Sisi bisa saja bilang ‘seru’ buat mengapresiasi film yang baru saja kami tonton beberapa menit yang lalu, hanya saja nggak ada reaksi yang benar-benar antusias dari jawabannya. Padahal film yang dikasih judul Righteous Kill itu memasang duet aktor Hollywood kesukaannya, Al Pacino dan Robert De Niro. Usahaku untuk mengembalikan Sisi ke titik sebelum dia mengenal Ares belum juga membuahkan hasil.
Sesuatu telah hilang dari dalam diri Sisi. Sesuatu yang aku artikan sebagai ketergantungannya pada sosok Ares—sesuatu itu adalah sifat cerianya yang apa adanya. Aku nggak menemukan sifat itu lagi sejak Ares hijrah ke Jepang meninggalkan kami. Tapi semuanya nggak bakal terjadi seperti ini kalo saja Ares nggak masuk ke arus persahabatan antara aku dan Sisi.
Tiga tahun lalu, Ares datang dengan pesonanya yang khas ke SMP Kazena Krista dan praktis sejak itu Ares menjadi sahabat kami, hingga sekarang dimasa-masa SMA. Aku, Sisi dan Ares bisa tertawa, berbagi suka dan duka, saling curhat bahkan tanpa sungkan menjitaki kepala —siapapun diantara kami—kalo satu diantara kami sedang merasa jengkel sebagai tempat pelampiasan. Semuanya bisa saja terjadi karena kami merasa ditakdirkan buat bersama sebagai tiga sahabat.
Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami....

=======ooo00ooo=======

Semua hal yang ada di dunia ini bisa saja berubah dan perubahan itu ditentukan oleh waktu. Begitu juga dengan persahabatanku, Sisi dan Ares. Metamorfosis kebersamaan kami disisipi sebuah perasaan yang seharusnya nggak boleh terjadi. Perasaan yang bernama cinta itu menelusup di hati kami masing-masing. Rasa saling melengkapi dan empati telah berganti cinta. Kami memang nggak pernah mengumbarnya satu sama lain, kami memberinya secara tersirat dan kami berusaha untuk memahaminya saja.
Cinta segitiga tersirat dan terselubung. Ya seperti itulah aku menyebutnya.
Ares dengan segala pesonanya menjebak hati Sisi. Sahabat kecilku itu akhirnya mengakui kalo dia jatuh cinta pada Ares. Sisi memang nggak pernah curhat padaku kalo dia menyukai Ares, tapi sebagai sahabat yang kenal betul siapa Sisi, aku nggak terlalu susah buat menangkap ada satu bentuk perasaan yang dikhususkan Sisi untuk Ares dari binar matanya saat dia menatap cowok itu.
Sisi pun berubah. Dari yang tadinya tomboy dan dandanannya serampangan perlahan feminine dan tertata. Sisi yang tadinya lebih sering ngomong tanpa dipikir berubah jadi orang yang mengombinasikan pikiran dulu baru bicara. Aku yakin semuanya karena Ares.
Lain Sisi, lain lagi aku.
Aku, si Azarya ini ternyata jatuh cinta dengan Sisi. Perasaanku jungkir balik tiap berdekatan dengannya. Tadinya, aku berusaha menyangkal tapi setelah aku cari tahu, aku nggak bisa mengelak lagi kalo memang aku menyukai Sisi tapi aku nggak tega melihat Sisi terluka. Fakta bodoh yang aku dapat adalah Ares justru menyimpan rasa pada Aura—lagi-lagi lewat pengamatanku—si primadona sekolah yang mau nggak mau bakal menyakiti hati Sisi. Jangan sampai itu terjadi dan untunglah memang nggak terjadi karena Ares kudung hijrah ke Jepang.
“Kita makan dulu ya di resoran favorit kita. Aku laper banget nih”.
Aku sadar, ‘kita’ yang dimaksud Sisi barusan adalah kami bertiga. Mendengar permintaan Sisi, aku Cuma tersenyum dan langsung mengiyakan. Semua aku lakukan buat mengembalikan lagi keceriaan Sisi yang sebenarnya belum bisa aku temukan hingga detik ini.

======ooo00ooo======

Sampailah kami di Mon Ami, restoran favorit kami. Ares yang mengenalkan kami pada restoran ini. Ares memang orang yang ‘nyeni’ kalo bicara soal restoran. Instingnya bekerja dengan baik untuk memburu restoran mana saja yang menyajikan makanan-makanan enak. Aku dan Sisi mengakui bakatnya itu.
Sisi terlihat memangku dagunya sembari menunggu pesanan makanan datang. Menu yang dia pesan sama seperti menu kesukaan Ares. Aku jadi berpikir kalo semua yang berhubungan dengan Ares adalah kebutuhan akut buat Sisi.
“Si...”, panggilku dengan hati-hati. Aku ingin mengajukan pertanyaan krusial buat Sisi.
“Hmmm....”, jawab Sisi, sepertinya dengan nada setengah hati.
Aku berpikir sejenak untuk memikirkan ulang pertanyaan yang sudah bercokol di otakku sekarang. Tapi kalo aku ingin mendapatkan kembali keceriaan Sisi, aku harus menanyakannya.
“Si, apa kamu nggak bisa lepas dari bayang-bayang Ares?”
Jantungku bertalu setelah aku berhasil menanyakan hal ini dan dua kali lipat bertalu ketika aku sadar reaksi Sisi menanggapi pertanyaanku berhasil memfokuskan tatapannya padaku.
“Maksud kamu?” tanya Sisi dingin dan datar.
“Aku punya banyak maksud, Si”.
Terpaksa aku melepaskan peluru ketidaksukaanku tentang hal-hal yang berbau Ares yang membuat keceriaan Sisi hilang setelah cowok itu pergi. Tapi, aku juga sadar kalo kepergiaan Ares bukan keinginannya. Siapa suruh jadi anak staf kedutaan luar negeri!
“Dunia belum kiamat kalo pun Ares ninggalin kita. Besok pagi, Matahari terbitnya masih di timur jadi jangan habisin waktu kamu buat terus dihantui dengan segala hal tentang Ares”.
Aku mulai bisa membaca gelagat kejengkelan dalam nada bicaraku, namun setelah itu aku cuma bisa diam dan menelan ludah. Sebaliknya, Sisi malah tersenyum padaku.
“Aku? Dihantui segala macam hal tentang Ares?” Sisi malah balik bertanya padaku, bahkan menodongkan apa yang aku katakan tadi.
“Emang kenyatannya gitu kan?” tegasku dengan nada kayak orang bego.
Aku memperhatikan guratan sumringah yang lebih lebar di wajah Sisi. Entahlah, mungkin senyumnya itu disebabkan setelah Sisi melihat reaksi bego sahabatnya ini.
“Kenapa senyum-senyum nggak jelas kayak gitu. Aku serius nih”, gerutuku dengan membayangkan pastilah sekarang wajahku sudah memerah.
Sisi berhenti tersenyum. Sekarang dia menatapku dengan serius. Binar matanya begitu antusias.
“Ini yang aku tunggu, Zar”.
Yang ditunggu?? Aku membatin.
“Ya, momen ini yang aku tunggu. Momen dimana seharusnya kamu protes tentang gelagatku yang aneh”, ujar Sisi, “dan...momen pembuktian”.
“Pembuktian? Pembuktian apa?” tanyaku penasaran.
Aneh. Mendadak tubuhku tegang dan mengunci dengan sendirinya. Aku mencoba untuk tenang serta mengatur ulang pernapasanku yang porak-poranda karena mendengar kata ‘pembuktian’ dari Sisi barusan.
“Pembuktian....kalo kamu jatuh cinta sama aku”.
Mendengar ucapan Sisi, aku tertegun. Oh, Tuhan, Sisi berhasil menanggalkan rahasia terdalam yang aku simpan untuknya. Tapi darimana dia tahu kalo aku jatuh cinta padanya? Aku nggak pernah cerita pada siapa pun bahkan pada Ares sebelum kepergiannya.
Aku terus saja terdiam. Aku tertunduk kaku, bingung bercampur malu. Sementara aku masih sibuk menata ulang perasaanku, pelayan datang membawakan menu pesanan kami.
“Zar...”, panggil Sisi setelah pelayan berlalu. “Sekarang, aku pengen tau yang sebenernya, langsung dari mulut kamu sendiri. Bener kamu jatuh cinta sama aku?”
Aku mendongakkan kepala dan menatap Sisi dengan seraut wajahnya yang menunggu jawabanku. Aku ingin banget segera mengiyakan tapi semua kenangan tentang persahabatan kami nggak mungkin bisa aku abaikan begitu saja. Segala semangat yang memuncak, kesedihan yang mencuat, tawa lepas dan lainnya yang sudah kami bertiga lewati. Bagaimana kalo setelah aku berkata yang sejujurnya, Sisi justru malah menjauhi aku?
“Apa itu penting buat dijawab?”
“Aku cuma butuh jawaban, Zar. Ya atau nggak”.
“Ya, jawabku beberapa detik kemudian. Aku mengalah dan kalah dengan perasaanku. “Aku jatuh cinta sama kamu, Si”.
Ada rasa puas dari senyuman Sisi setelah mendengar jawabanku. Sebaliknya, aku dipenuhi rasa bersalah karena aku harus mengakui cintaku padanya yang nantinya bakal membuat persahabatan kami terasa canggung dan aneh.
“Tenang aja, Zar, semuanya bakal baik-baik aja kok”, ujar Sisi seperti memahami kekhawatiranku. “Dan kamu tau, Zar kalo aku....juga jatuh cinta sama kamu”.
Seketika mataku sedikit membeliak. Sekarang, ada senyum spontan yang nggak bisa dia tahan. Apa sih sebenarnya yang ada di pikiran gadis ini? Aku menggerutu. Belum cukup dia membuat aku kalah dengan ‘memaksaku’ memproklamirkan perasaanku padanya. Sekarang dia malah mengolok-olok aku dengan bilang kalo dia juga jatuh cinta padaku!!
“Kamu nggak percaya?” tanya Sisi begitu melihat reaksiku yang spertinya nggak peduli dengan apa yang dia katakan. “Gelagat anehku selama ini, itu semata-mata karena aku pengen kamu tau kalo aku suka sama kamu. Dan Ares adalah zona aman yang bisa membantu aku menyelesaikan misi itu. Kamu ini nggak peka banget sih!”
Aku sungguhan kaget. Jadi, selama ini akulah yang lemot dan nggak sadar kalo ada tawaran cinta yang diberikan padaku dan orang itu Sisi. Semua bentuk ketergantungan akut Sisi terhadap Ares cuma petunjuk bagiku supaya aku tahu kalo dia menyukaiku dan membuka lebar mataku untuk mengakui kalo aku pun menyukainya...
Aku belum tahu bakal seperti apa hubunganku dengan Sisi nantinya.Dalam hati, aku memang patut merasa bersyukur ditakdirkan memiliki Ares dan Sisi dalam kehidupanku. Aku masih ingin mengulang semua momen kebersamaan kami. Tiga sahabat yang saling melengkapi, tiga sahabat yang saling berempati. Tiga sahabat, itu kami; aku, Sisi dan Ares.
Semuanya berkesan, semuanya tentang kita kan? Gumamku dalam hati.

======ooo00oo=======

Jumat, 11 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di Tabloid GAUL :: MAAF DARI SURGA


Di rumah Ringgo, jam 21.00 wib.
          “Kak, disuruh Ibu masuk tuh”, ujar Nina adiknya. “Ngapain sih duduk-duduk nggak jelas sambil ngeliatin langit nggak penting kayak gitu”.
          Ringgo menoleh ke arah Nina. “Iya, bentar lagi, Nin”.
          “Ya udah, entar jangan lupa kunci pintu ya?”
          Ringgo mengangguk. “Udah sana buruan tidur”.
          Ringgo hampir dua jam duduk di terasnya selepas makan malam tadi. Ada yang mengganggu pikirannya, beberapa hari belakangan ini. Apalagi kalo malam datang. Kalo siang Ringgo sedikit disibukkan dengan kegiatannya sehari-hari; sekolah dan jadi tukang cuci steam motor jadi dia nggak terlalu terbawa suasana pikirannya. Tapi kalo malam datang, debat batin itu terus menghantuinya.
          “Apa karena aku orang miskin, makanya kamu nggak mau nerima aku, Dila”.
          Dila!
          Ya, Dila yang membuat pikirannya tersita ditiap malam belakangan ini. Dulu, sebelum Ringgo menyatakan cintanya buat Dila, yang jadi debat Ringgo cuma— apa dia harus bilang rasa sukanya pada Dila. Apa Dila bakal menerima cintanya atau nggak. Tapi setelah dia menyatakan cintanya pada gadis itu, yang jadi perdebatan Ringgo, kenapa Dila nggak menerimanya! Waktu ditanya, Dila nggak menjawab.
          Ringgo heran dengan sikap Dila. Gadis itu, menolak cintanya tanpa alasan. Tapi kalo begitu kenapa Dila seolah seperti menerima perhatiannya. Selama ini, Dila akrab dengannya dan Duta, sahabatnya. Bahkan, Ringgo bisa memastikan waktu kebersamaannya dengan Dila jauh lebih banyak ketimbang kebersamaannya dengan Duta. Dila sering curhat padanya, menggerutu nggak jelas, bahkan tiap ketemu dengannya Dila seperti baterai yang baru dicharge, selalu semangat.
          Kenapa sih, Dil. Kenapa kamu nggak mau nerima aku? Ringgo membatin.
                                                                                &
Di rumah Duta, jam 21.00 wib.
          Dalam satuan waktu yang sama—sama seperti Ringgo—Duta juga sedang menikmati angin malam di teras rumahnya. Duta tercenung sendiri di beranda teras rumahnya. Matanya nanar menatap nuansa warna hitam digantungan langit yang begitu luas. Bintang-bintang sepertinya saling berebutan mengisi satu tempat di langit dan memancarkan kerlap-kerlipnya. Bulan nggak mau kalah. Sang dewi malam juga tanpa enggan memberi sinar pucatnya. Duta merasa semua komponen penghias malam ini begitu saling melengkapi, saling berbagi. Kalo mereka hidup, pastilah mereka sangat senang karena terus bisa terus bersama-sama.
          “Duta, ayo buruan masuk”, ujar Oma. “Ntar masuk angin lho kalo kelamaan di luar. Angin malem nggak bagus buat kesehatan”.
          “Iya, Oma. Bentar lagi Duta masuk kok. Oma duluan aja”, sahut Duta.
                                                                                &
Rumah Ringgo, pagi harinya.
          Suasana rumah Ringgo, terlihat sibuk setiap paginya. Semua aktifitas mereka bakal berputar seperti biasanya. Bapak kerja lagi jadi juru parkir. Ibu ikut-ikutan kerja juga, jadi tukang cuci dan setrika di rumah tetangga sekitar rumah. Ibunya bekerja tentunya setelah selesai mengerjakan tugas beberes rumah. Sementara Ringgo dan Nina menuju sekolah.
          “Kok sarapannya telur mata sapi sih?” gerutu Ringgo setelah dia bergabung dengan ayah, ibu dan Nina yang sudah lebih dulu berada di meja makan. “Sekali-sekali roti bantal dikasih selai sama segelas susu bisa kan jadi sarapan pagi?!”
          “Kak Ringgo kenapa sih?” tanya Nina. “Biasanya juga Kak Ringgo nggak pernah protes sama sarapan yang dibuat ibu!”
          “Sarapan yang itu-itu aja, lama-lama bosen juga, Nin”, sahut Ringgo dengan cueknya pada Nina, tapi sorot matanya persis seperti singa yang mau menelan mangsanya hidup-hidup.
          Nina baru saja mau menjawab Ringgo lagi, tapi keburu dicegah Ibu dengan mimik muka menahan. Ringgo sebenarnya siap mementahkan lagi ucapan Nina kalo saja adiknya itu menjawabnya lagi.
          “Ya, udah entar sore Bapak beli roti bantal sama susu buat sarapan kita besok pagi, “ ujar Bapak mencoba bijak. “Ayo,buruan sarapan. Nanti kamu telat lho ke sekolahnya”.
          “Nggak, Pak”, jawab Ringgo ketus. “Ringgo jadi nggak selera lagi buat sarapan, Ringgo langsung berangkat aja”.
          Mendengar ucapan Ringgo yang telah melengos pergi tanpa pamit dan cium tangan lagi seperti yang selalu dia lakukan, membuat Bapak, Ibu dan Nina saling pandang. Dalam hati masing-masing mereka bertanya, ada apa dengan Ringgo?
          Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Ringgo menyesali perbuatannya tadi. Kenapa dia bisa marah-marah nggak jelas? Benar yang dibilang oleh Nina, bukannya selama ini dia nggak pernah merasa protes dengan menu sarapan yang disajikan Ibu di meja makan?? Sekalipun itu nasi ditemani ikan asin dan sambel terasi!
                                                                                &
Di sekolah, saat jam istirahat.
          “Dila..., tunggu!!” seru seseorang.
          Kepala Ringgo menoleh cepat ke arah orang yang namanya disebut. Sekarang Ringgo dan Duta berada persis di depan pintu kelas mereka.
          “Masih mikirin Dila?” tanya Duta penuh selidik. Ringgo cuma bisa menghela napas. “Udahlah, kan banyak cewek lain yang bisa kamu lo jadiin pacar. Kan nggak seru lagi, kalo udah kayak gini kejadiannya. Lo sama dia diem-dieman. Kesannya canggung!”
          “Lo bisa aja bilang kayak gitu. Tapi rasa suka nggak gampang buat didapetin. Lahirnya dari hati”, sahut Ringgo sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Dan gue kadung suka sama Dila”, lanjut Ringgo lagi. Tapi jauh dalam hatinya, ada perasaan kesal bukan kepalang yang dia alamatkan buat Duta, sahabatnya itu.
          Patah hatinya jadi dua kali lipat bertambah setelah Ringgo nggak sengaja mendengar obrolan Dila dengan dua sahabatnya, Chelsa dan Pupu tadi di koridor ruang guru sebelum dia menuju ruang kelasnya, setibanya dia di sekolah. Mungkin kah ini jadi alasan Dila menolak cintanya?
          “Nyantai, Bro. Rileks dong”, ujar Duta seraya menenangkan. “Tapi kenapa ya, Dila nolak lo, padahal kan kalian udah deket?” tanya Duta sambil mengerutkan dahi dan menyatukan alisnya.
          “Dia suka sama cowok lain kali!” jawab Ringgo sekenanya. “Makanya dia nolak gue. Tapi yang jelas, cowok itu beruntung banget dapet cintanya Dila. Cinta yang seharusnya gue pengen”.
          “Cowok lain? Siapa?” Duta balik bertanya. “Dia kan sering curhat sama lo, apa dia nggak pernah cerita kalo ada cowok yang dia taksir?”
          Ringgo nggak menggubris lagi pertanyaan Duta. Dia malas membahas cowok yang disuka sama cewek yang justru dia suka, yang sayangnya cowok itu sahabatnya sendiri!! Duta.
          “Lo dengerin gue ngomong nggak sih, Go?” desak Duta.
          “Iya, gue denger lo ngomong”.
          “Terus lo tau nggak siapa cowok yang Dila suka itu? Dia nggak pernah cerita sama lo?”
          “Dia emang nggak pernah cerita sama gue, tapi gue tau siapa cowok itu”, jawab Ringgo dingin ke arah Duta. “Cowok yang disuka sama Dila itu, lo!”
          Duta kaget bukan kepalang. “Gue? Kok gue?”
          Ringgo mengedikkan bahu.
          “Mungkin lo sempurna kali di mata Dila, makanya dia jatuh cinta sama lo”, ujar Ringgo. Dalam hatinya, Ringgo juga merasa iri pada Duta. “Lo kan ganteng, pinter lagi. Nggak heran semua cewek di sekolah naksir dan pengen deket sama lo, termasuk Dila. Iya kan?”
          “Lo juga ganteng, pinter. Dua kali lipat dari gue malah”.
          “Tapi ada kriteria yang ada dalam diri lo yang nggak ada sama gue”, ujar Ringgo pada Duta. Duta langsung terus memancangkan raut muka penasaran, menunggu Ringgo bicara lagi. “Lo tajir alias orang kaya. Sedangkan gue? Siapa lagi yang mau dengan cowok anak yang Bapaknya juru parkir dan Ibunya jadi tukang cuci-setrika di rumah tetangga, terus yang tiap pulang sekolah harus jadi tukang cuci steam motor supaya biar terus bisa sekolah?”
          “Kok lo ngomong kayak gitu sih, Go?”, Duta menjawab ucapan Ringgo. Duta menangkap ada nada skeptis saat Ringgo bicara barusan. “Gue nggak sempurna lagi...”
          Ringgo memandang Duta lekat-lekat. Apa maksudnya? Batin Ringgo. Justru menurut Ringgo, Duta sudah tergolong sempurna. Ganteng, otak ada isinya, ramah sama semua orang, supel, kaya lagi. Kurang apa coba? Cewek mana yang nggak suka sama cowok dengan tipe sekomplit Duta? Jadi nggak heran dong kalo Dila suka sama Duta dan memilih menolak cintanya?!
          “Gue nggak kayak lo, Go”, ujar Duta pada Ringgo. “Gue malah pengen banget kayak lo. Lo punya keluarga. Lo punya Ayah dan Ibu juga...adik cewek yang cantik”, lanjut Duta seraya tersenyum mengingat Ringgo punya adik yang memang cantik. “Keluarga lo hangat ditengah semua yang kalian hadapi. Tapi gue? Gue cuma punya Oma dan Opa yang ngebesarin gue dari gue umur enam bulan”.
          Mendadak Ringgo terenyuh mendengar ucapan Duta barusan. Iya, Duta hanya diasuh oleh Oma dan Opanya sejak Ayah dan Ibunya meninggal akibat kecelakaan mobil. Ringgo juga teringat saat Duta bilang, kalo dia benar-benar ingin tahu bagaimana suara Ayah dan Ibunya, dia ingin banget mendengar suara mereka meskipun cuma sekali. Dan tentunya, Ringgo nggak pernah lupa kalo Duta pernah menangis ketika Duta bercerita padanya kalo Duta benar-benar merindukan Ayah dan Ibunya. Kalo dibandingkan dengan Duta, memang hidupnya jauh lebih sempurna diantara ketidaksempurnaan yang dia alami.
          “Kalo gue jadi lo, gue nggak butuh semua yang lo bilang ‘sempurna’ itu. Gue bahkan rela menukarnya asal gue bisa ketemu dan dibesarin sama orang tua gue”, ujar Duta dengan mata berkaca-kaca.
          “Duta, sorry gue...”
          Duta tersenyum. “Nggak pa-pa kok, Go. Nyantai aja lagi”.
          Ringgo baru sadar, kalo keluarganya adalah yang terpenting. Jauh lebih penting daripada memiliki pacar atau sekedar hidup mewah dan berkecukupan. Keluarga satu-satunya tempat dia mendapatkan dukungan penuh, dan yang paling bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Sekelebat melintas raut wajah Bapak, Ibu juga Nina di pikiran Ringgo. Ada rasa penyesalan yang teramat sangat dalam hati Ringgo kepada mereka. Dia sangat egois tadi pagi dan Ringgo ingin banget bertemu dengan mereka serta meminta maaf.
                                                                                &
Jalanan,persis di depan gerbang sekolah.
          Ringgo sudah nggak sabar lagi tiba di rumah. Sepanjang pelajaran tadi, dia terus merangkai kata-kata yang tepat untuk meminta maaf. Setibanya nanti dia di rumah, Ringgo bakal langsung minta maaf dengan Ibu dan Nina serta Bapak sore harinya. Dalam hati, Ringgo harus merasa berterima kasih pada Duta karena telah membuka hatinya yang tertutup karena keegoisan sesaat.
          Tapi....
          Ada apa itu? Kenapa ada banyak kerubungan orang di sisi jalan raya itu? tanya Ringgo dalam hati.
          Akhirnya, Ringgo memutuskan ikut melihat, sebenarnya apa yang terjadi diantara orang-orang itu. Ternyata, ada orang tertabrak mobil dan meninggal!!
Kasian banget orang ini? Ucap Ringgo dalam hati. Tapi tunggu...orang itu kan...orang itu aku!!!
          Ternyata, jasad orang yang ditabrak itu, Ringgo. Ya, Ringgo yang tadinya begitu semangat, ternyata meninggal akibat mobil barang yang membawa sebuah lemari es. Mobil itu melaju dengan sangat kencang saat melintas di depan sekolah. Namun, sayangnya Ringgo nggak melihat mobil itu melaju saat dia tanpa hati-hati menyebrang jalan untuk menaiki angkot yang dipanggilnya tadi.
          “Kenapa, jadi kayak gini?” tanya Ringgo lirih pada diri sendiri. Dia masih belum bisa percaya kalo dia sudah nggak bernyawa. Tapi keberadaan rohnya yang sudah terpisah dari tubuhnya, telah menjawab pertanyaannya itu. “Tuhan, aku ingin minta maaf sama Bapak, Ibu juga Nina. Tapi kenapa, malah Engkau cabut nyawaku??”
          Ringgo cuma bisa tepekur sendiri, menyesali kesalahannya. Dia nggak peduli lagi meskipun orang-orang bertambah banyak mengerubungi jasadnya, termasuk Duta dan Dila.
          Sekarang, Ringgo hanya bisa berharap kiranya Tuhan mau memberi maafNya dari surga atas kesalahan yang dia perbuat dan mau mengabulkan keinginannya untuk meminta maaf kepada keluarganya yang dia sakiti, entah dengan cara apapun.
          “Waktu kamu sudah habis”, sapa dua malaikat yang datang menjemputnya.
Ringgo menoleh dan pasrah ketika dia digiring ke alam yang jauh dari dunia...
                                                                                &

Rabu, 09 Juni 2010

:: CERPEN: Dimuat di ANEKA YESS! (Cerpen Tahun Baru) :: RESOLUSI ANDIEN


          Pagi datang lagi!
          Sinar Matahari masuk tanpa permisi melalui celah ventilasi kamar Andien dan memaksanya memicingkan mata. Dia sempat menggerutu karena gara-gara hal itu dia terbangun dari tidurnya.
Tapi, dalam beberapa detik gerutuan Andien berubah jadi jerit histeris.
          “Whoooaaaaa....gue telat!!!”
          Tanpa pikir panjang lagi, Andien langsung beranjak dari ranjangnya nan empuk dan bergegas menuju kamar mandi. Tentu saja, Andien nggak mau sampai telat ke sekolah. Dia harus bisa lolos dari gerbang sekolah yang dijaga ketat oleh Pak Beben atau atas permintaan anak-anak penghuni sekolahnya mengubah namanya jadi Pak Ben. Beliau adalah satpam sekolah tempat Andien menuntut ilmu.
          Secepat kilat Andien sudah terlihat rapi dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Rambut hitam sebahunya pun cuma diikat kuncir di belakang bahu seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah semerbak wangi parfum yang baru dia beli kemarin di toko parfum langganannya. Sengaja dia memilih aroma parfum yang baru tapi tetap dia sukai. Cari suasana baru, begitu pikir Andien sewaktu dia membelinya kemarin.
          “Andien berangkat dulu ya, Ma, Pa”, kata Andien pada kedua orang tuanya begitu dia tiba di meja makan. Andien tahu-tahu mencomot roti yang baru saja diolesi selai kacang oleh Mamanya.
          “Andien...”, kata Papanya. “Nggak sopan banget sih”.
          Andien cuma tersenyum masam dengan mulut tersumbat roti yang dia comot barusan. Lalu dia langsung mencium tangan mama dan papa setelah lebih dulu menghabiskan separuh susunya.
          “Makanya, Dien, bangun itu jangan telat”, kata Mama menimpali. “Kamu itu, beda banget dengan Roy yang udah kuliah. Dia aja udah pergi lantaran ada kuliah pagi padahal kuliahnya baru mulai jam delapan nanti”.
          “Iya, iya...Daaaggghh”.
          “Hati-hati di jalan, jangan ngebut lho”, lanjut Mama meningkahi langkah Andien yang sudah menjauh.
          Andien pun akhirnya menuju garasi rumahnya karena di sana telah menunggu motor bebek yang diberikan Papanya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas, bulan lalu. Andien hanya perlu menyeimbangkan gas dan gigi, lalu melesat ke sekolah.
                                                                            &

          “Hampir kamu telat, Dien. Coba aja kamu telat dikit lagi, Pak Ben nggak bakalan ngasih kamu masuk lho”, kata Pak Ben pada Andien begitu dia dan motor bebeknya lolos melewati gerbang sekolah.
          “Iya nih, Pak. Saya tadi telat bangunnya, tapi untungnya masih bisa ngejer watu sebelum bel masuk”, sahut Andien.
          “Pasti kamu ngebut lagi makanya bisa sampe ke sekolah dengan cepet , hayo ngaku?” todong Pak Ben.
          Andien cuma cengengesan. “Pak Ben tau aja, terpaksa, Pak. Mau gimana lagi?”
Cewek satu ini kalo soal ngebut jangan ditanya. Dia bisa ngebut kalo kepepet alias telat. Hanya saja Andien sering banget telat!
          Setelah tadi ngobrol sebentar sama Pak Ben, Andien menuju parkiran. Kalo tadi Andien bisa merasa lega sekarang dia balik menggerutu lagi. Dia jengkel setengah mati lantaran tempat parkir yang biasanya dia tempati sudah diisi dengan motor siswa lain. Mau nggak mau, Andien akhirnya memilih parkiran yang tersisa.
          “Pagi, Dien”, sapa Reva, sahabat dari ketiga sahabat Andien yang sekaligus jadi teman sebangkunya. “Kenapa tampang lo pagi-pagi udah ditekuk kayak gitu?”
          “Nggak dikasih uang jajan kali”, sahut Chelsa, si Miss fashionista ngasal.
          “Bukan, Chel. Si Andien lupa bikin peer Fisika” ujar Chiko, si Miss tukang dandan sambil terkikik.
          Andien memutarkan kedua bola matanya, lalu mendengus.
          “Tebakan kalian nggak ada yang bener”, jawabnya taktis. “Gue selalu dikasih uang jajan yang lebih dari cukup sama ortu gue. Dan gue juga udah ngerjain peer Fisika yang dikasih kemarin lusa itu”.
          “Terus apa yang nyebabin tampang kusut lo itu, heh?” tanya Reva lagi.
          “Tempat parkir motor gue yang biasa, ditempatin sama anak lain. Sebel gue”.
          “Ya ampun, Dien, cuma gara-gara itu toh”, uja Reva seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak dapet parkiran seperti yang biasa bukan berarti kiamat kan?”
          Tapi Andien tetap nggak peduli, dia tetap saja masih jengkel.

                                                                                   &

          Di kantin saat jam istirahat.
          “Duh, gue jadi deg-degan nih buat ujian semester gazal ini. Soalnya susah-susah nggak ya?” ujar Reva dengan nada khawatir yang berlebihan.
          “Udah deh, Rev. Bukan cuma lo aja yang khawatir, kita-kita juga kok. Makanya kita harus lebih giat lagi belajarnya”, sahut Chiko bijak tapi tangan kanannya tetap menepuk-nepuk pelan wajahnya—memulaskan bedak. “Lagian kan lo itu kan langganan juara kelas, gue yakin lo pasti bisa ngelewatin semuanya”.
          Anehnya, sedari tadi Andien lebih banyak diam. Beda dari biasanya.
          “Btw, beberapa hari lagi kan kita mau tutup tahun dan buka kalender yang baru nih, kira-kira resolusi apa yang udah kalian buat?” Chelsa membuka topik obrolan baru. “Kalo gue sih pengen ikut Tante gue shopping di butik temennya di Singapur”.
          Resolusi? Andien membatin.
          Dia juga harus memikirkan resolusi apa yang bakal dia buat untuk diwujudkannya ditahun depan. Tahun-tahun sebelumnya, Andien nggak begitu menganggap penting apa itu resolusi, cita-cita, atau ketetapan hati untuk perubahan dimasa depan, tapi seiring dengan datangnya kedewasaan membuat Andien merasa dia juga harus memasang ‘target’ buat tahun depan.
          “Kalo gue sih selain belajar, gue harus terlihat lebih cantik lagi ditahun depan supaya Alan makin sayang sama gue”, kali ini Chiko yang ngomong.
          “Gue cuma pengen tambah lebih rajin belajar aja biar bisa masuk perguruan tinggi negeri”, ujar Reva kalem tanpa harapan yang muluk-muluk.
          “Aduh, Rev. Plis deh, kita emang urgent banget menjelang akhir-akhir SMA kita tapi bukan berarti kita harus belajar melulu setiap saat kayak lo”, Chiko berkomentar. “Lo harus pasang target yang tinggi juga buat tahun depan. Dapet pacar, misalnya. Itu lebih masuk akal, supaya lo jangan kelamaan jomblo dan makin tambah jadi orang yang nerd”.
          Reva memanyunkan bibirnya mendengar komentar pedas Chiko barusan. Sementara Andien dan Chelsa hanya bisa tertawa geli menangapi.
          “Kalo lo, Dien, resolusi lo ditahun depan apa?” Pertanyaan ini dengan cepat disodorkan Reva pada Andien membuat Andien berhenti tertawa.
          “Gue...gue...”.
          “Si Andien mah banyak”, serobot Chiko. “Pertama-tama yang harus ada di daftar resolusinya buat tahun depan adalah dia harus jago dandan. Apa kalian nggak liat pori-pori di mukanya Andien gede-gede banget, ada komedo lagi di hidungnya. Pasti deh jarang ke salon!”
          Meski merasa tersindir, Andien nggak ngomong apa-apa untuk membela diri. Memang kenyataannya seperti itu.
          “Dan kedua, lo juga harus ubah penampilan lo, Dien. Jangan terlalu tomboi gitu, feminine dikit kek”, celetuk Chelsa. “Hobi lo yang sering make jins belel plus kaos tiap kita hang out bareng harus lo kurangin. Gue akan dengan senang hati kok, buat minjemin koleksi baju-baju gue kalo emang itu perlu”.
Andien mengangguk-angguk, mencoba memahami nasehat sahabat-sahabatnya.
          “Dan ada satu lagi”, Reva bersuara, membuat Chiko, Chelsa dan terutama Andien menoleh ke arahnya. “Lo harus lebih merhatiin Tito tuh, kasian dia. Tito sering ngeluh ke gue, dia bilang lo tiga bulan belakangan ini banyak berubah. Apalagi sejak lo nggak make jasanya lagi sebagai ojek pribadi setelah lo dibeliin motor baru sama bokap lo. Inget, Dien, Tito itu pacar lo. Hargain dia”.
          Tito?
          Pikiran Andien tertuju pada sosok itu akhirnya. Andien mau nggak mau membenarkan ucapan Reva barusan. Dia memang belakangan ini jarang menggubris lebih serius keberadaan Tito apalagi sejak dia dituntut untuk terus belajar menjelang ujian semester sebentar lagi dan ujian kelulusan yang kian hari kian dekat. Dan yang lebih parahnya sejak Andien nggak lagi menumpang motor Tito, pergi dan pulang sekolah!!
          Terbersit kata maaf Andien untuk cowok itu. Dalam hatinya Andien bersyukur memiliki tiga sahabat yang benar-benar care padanya. Andien paham betul kalo ketiga sahabatnya itu memperhatikan dirinya dan kekurangannya. Untuk itulah mereka ada di kehidupan Andien saat ini.

                                                                                   &
          Malam harinya, Andien tercenung sendiri di atas ranjangnya. Di tangan kanannya, Andien memegang sebuah pulpen dan terlihat juga secarik kertas kosong. Disitulah Andien bakal menuliskan satu-persatu daftar resolusinya ditahun depan.
          Mengenai resolusi yang disarankan oleh Chiko dan Chelsa, Andien nggak mungkin langsung menyanggupinya seratus persen. Semuanya butuh proses, pikirnya. Masalahnya, dia masih comfort dengan ‘gaya’ yang dianutnya sekarang. Istilah yang pas buatnya, mungkin mengubah sedikit penampilan tapi tetap jadi diri sendiri. Menyenangkan hati sahabat, juga jadi resolusi Andien tahun depan.
Selanjutnya, tahun depan Andien juga pasang target harus lolos PTN .
          Lalu ketiga, lebih patuh sama Papa dan Mama. Daftar keempat, jangan sering berantem dengan Roy, abangnya. Kelima, harus bisa bangun pagi lebih awal.
Keenam, berusaha untuk nggak terlalu suka ngebut.
Dan bla...bla, hingga keurutan kedua puluh resolusi Andien bermuara : harus jadi orang yang lebih baik lagi dan murah senyum.
          Tapi ada satu resolusi utama yang benar-benar ingin dilakukan Andien tanpa harus menunggu tahun depan. Besok, dia akan memberi kejutan pada Tito, pacarnya yang hampir terlupakan olehnya...

                                                                                   &


:: CERPEN: Dimuat ANEKA YESS! :: DUNIA ANGGRA


         Anggra memberi warna dalam kehidupanku. Warna yang banyak mengajarkan aku tentang bagaimana menghargai orang-orang terdekat. Aku patut merasa bersyukur ditakdirkan bertemu dengannya. Mungkin dia tak pernah sadar menawarkan hal itu padaku. Namun, sekali lagi aku harus mengucapkan terima kasih padanya.
         Sayangnya, dunia Anggra adalah dunia kesepian. Dunia yang tak memiliki orang-orang yang ingin benar-benar berbagi kebahagiaan dengannya, setidaknya itu yang dialaminya di sekolah. Di sekolah, dia tidak memiliki teman—meski tidak sepenuhnya seperti itu—hanya saja semua teman di kelas hanya berkamuflase menawarkan persahabatan pada Anggra. Aku tahu betul tentang yang satu ini. Kalo saja, Anggra tidak tergolong siswa yang cerdas bukan kepalang di kelas, mungkin Anggra akan tersingkir dari percaturan pergaulan di sekolah. Tidak perlu jauh-jauh kalo aku ingin memberi bukti, sesaat PR dikumpulkan, misalnya. Anggra dengan sifatnya yang—berharap dapat menjaring teman sebanyak mungkin—baik dan tulus hati, akan meminjamkan PR-nya pada teman manapun yang ingin meminjamnya. Bagiku, ini sama buruknya dengan berbohong pada diri sendiri!
Aku akui, Anggra memang polos dengan sifatnya itu, tapi apa gara-gara itu dia tidak memiliki teman—atau hanya gara-gara kecerdasannya, dia baru bisa memiliki teman??
          Di hari pertama aku menjadi murid baru di kelas ini, aku langsung dijejali banyak nasehat untuk tidak mendekati si kuper Anggra, alasannya klise kalo aku sudah berteman dengan Anggra, kecil kemungkinan aku bisa mendapatkan lebih banyak teman yang populer di sekolah, sekaliber Pupu contohnya. Tapi, aku bukan orang yang bisa didoktrin begitu saja dengan ‘petuah’ dari mereka yang menurutku nggak masuk akal. Aku tahu mana yang harus aku pilih dan aku memilih untuk tidak berpihak pada mereka.
           Aku juga masih belum terlalu bisa memahami kenapa Anggra melarangku untuk tidak mendekatinya, sepertinya dia masih ragu dengan keseriusanku yang ingin sekali berteman dengannya. Aku masih ingat kata-kata terakhirnya saat di ruang perpustakaan seminggu yang lalu. Hari itu aku memang sengaja mengikutinya sekedar agar aku lebih mengenalnya.
           “Kamu ngapain duduk deket aku?” tanyanya hari itu.
           “Lho, emangnya ada larangan ya buat duduk disini”, jawabku dengan nada sedikit berbisik—tapi bercampur salah tingkah—takut ketahuan ibu penjaga perpus. Setelah mengatakan itu, aku berhenti dari sikapku yang rada kekanakan tadi soalnya Anggra menatapku dengan pandangan yang seolah bilang ‘dasar bego’. “Iya deh, aku duduk disini supaya lebih bisa deket sama kamu aja”.
          Anggra kembali meneruskan kegiatan bacanya, dia membalik satu halaman, kelihatannya sangat serius.
          “Lebih baik nggak usah deh ganggu aku lagi. Entar kamu kena sial gara-gara nimbrung sama aku”.
          Aku mengerutkan jidat—bingung. “Emang kenapa? Sial kenapa coba?”
         “Sial nggak bisa dapet banyak temen”, kata Anggra pendek tanpa menggubris pertanyaanku lagi.
         Sejak saat itu, aku mengamati Anggra dan bisa menyimpulkan sejauh ini, kalo Anggra membangun dunia kesepiannya sendiri di sekolah.

                                                                       -----oo000oo----

          Ruangan mendadak diam tanpa suara saat Pak Andrian, guru Kimia yang mengajar di kelas kami, mengadakan ulangan dadakan. Sesekali dengan matanya yang setajam mata elang, Pak Andrian mengawasi kami kalo-kalo saja ada dari kami yang mencontek catatan atau malah membuka dengan sengaja buku pelajaran. Mungkin bagi siswa yang sudah ada persiapan karena rajin mengulang pelajaran di rumah, tidak akan ada masalah dengan ulangan dadakan ini, tapi bagaimana dengan siswa yang kerjanya jarang melakukan itu, jawabannya pastilah hanya menggerutu.
          Dari posisi dudukku di urutan tiga dan bersebelahan dengan Hamid—yang juga bersenderan langsung dengan dinding yang memuat jendela-jendela kelas— aku bisa melihat beberapa kertas mendarat di atas meja Anggra. Semua kertas itu dari siswa-siswa yang ingin meminta jawaban dari Anggra. Mereka mendaratkan kertas-kertas itu disaat Pak Adrian luput memerhatikan kami. Anggra menyingkirkan satu-persatu kertas-kertas itu ke laci mejanya. Namun, tak satu pun dari tumpukan kertas itu digubris Anggra, dia tetap terus mengerjakan setiap tugas ulangannya bahkan hingga ulangan selesai…
            “Lo, gimana sih, Gra. Kan gue tadi minta jawaban nomor dua dan lima. Kok lo nggak ngasih ke gue sih?” gerutu Maia dengan berkacak pinggang—meski bicara bukan dengan nada membentak. Posisi duduknya dua bangku di belakang Anggra.
           Belum sempat Anggra menjawab, dia sudah ditodong cercaan dari Jenah yang tadi juga mendaratkan kertas ke meja Anggra. “Iya, gara-gara lo nggak bagiin jawaban tujuh sampe sepuluh, jadinya tiga soal itu nggak gue jawab deh”.
         “Maafin gue ya”, jawab Anggra sekenanya tapi didalam pikirannya dia berusaha membuat satu alasan yang masuk akal yang harus mau tidak mau diterima oleh teman-teman yang mengerubunginya lantaran dia tidak memberi jawaban. “Tapi kan kalian tau, Pak Adrian itu kayak gimana. Kalo ketahuan, kita sekelas bisa dapet nilai jelek semua. Untung aja tadi nggak ketauan waktu kalian ngelemparin kertas ke meja gue”.
         Aku tak pernah tahu apa yang ada dipikiran Anggra sekarang, tapi aneh rasanya kalo baru sekarang dia melakukan hal itu, bersikap tegas untuk tidak memberi jawaban saat ulangan. Jadi selama ini, kenapa dia terlalu baik sama anak-anak yang malas itu? Aku harus cari tahu yang sebenarnya.
        Aku memang tak pernah salah kalo Anggra telah berhasil mencuri perhatianku.

                                                                    -----oo000oo----

        Kantin terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa saja yang menghabiskan waktu istirahat. Tapi aku melihat Anggra sedang duduk sambil membaca buku di meja dekat pojokan kantin.
         “Aku boleh gabung duduk nggak?” tanyaku dengan sikap hati-hati takut-takut kalo penolakan lagi yang bakal aku terima.
          Anggra mendongakkan kepalanya dan melihatku yang masih berdiri mematung menunggu jawabannya. “Ya udah duduk aja kalo mau duduk”.
         Aku duduk persis di hadapannya yang masih setia membaca buku. “Hhmm…aku kok ngerasa kamu beda banget deh hari ini”.
         Detik pertama setelah aku mengatakan itu, Anggra tidak juga merespon tapi akhirnya…
         “Beda? Beda gimana? Apanya yang beda?”
         Akhirnya aku berhasil memancing reaksi Anggra yang memang sengaja kulakukan.
         “Iya, aku suka aja ngeliat sikap kamu dikelas tadi, kamu emang harus tegas dengan anak-anak yang malas itu. Seharusnya kamu ngelakuin hal itu dari dulu, Gra!”
         “Kamu suka?” tanya Anggra padaku, aku segera menjawabnya dengan anggukan kepala—setuju. “Tapi setelah kejadian tadi, aku yakin kalo aku bener-bener nggak bakalan bisa dapetin temen lagi”.
         Anggra memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan. “Kamu tau, bukan tanpa sebab aku mau ngasih mereka semua hal yang mereka mau dari aku?” Dia menatapku sebentar lalu melanjutkan ucapannya. “Dan apa kamu tau, kalo alasannya hanya demi mendapatkan temen, aku rela ngelakuin hal itu?!”
         “Aku tau kok!” jawab dengan tanpa berhati-hati karena ini adalah fakta yang sudah dari dulu ada diotakku tentang Anggra dan dunianya.
         “Hanya demi mendapatkan teman, aku rela ngelakuin apa aja demi mereka. Dan demi mendapatkan teman juga, aku harus menahan semua rasa sakit akibat perbuatanku buat mereka”.
         “Menahan semua rasa sakit?”
         “Aku bisa ngerasain rasa sakit yang luar biasa kalo aku ngelakuin hal yang nggak bener, apalagi kalo harus bersikap nggak jujur. Aku ngerasa seluruh badanku panas kebakar api tiap malam. Sakitnya luar biasa, sampe-sampe aku nggak bisa tidur tapi aku berusaha menahannya hanya demi ngedapetin temen”.
        Aku kaget mendengar penuturan Anggra, sampai sebegitu parahkah usahanya untuk menjaring teman? Kasihan sekali Anggra. Aku—tanpa harus diminta pun—ingin menjadi temannya. Jauh sebelum dia mengatakan hal yang sejujurnya namun jauh lebih serius setelah aku tahu kalo dia ingin sekali memiliki teman yang memang tulus mau berteman dengannya.
        “Tapi mau gimana lagi, aku emang seperti ini..kuper nggak jelas, jadi mana ada orang yang berteman sama aku”, kata Anggra menyalahkan dirinya sendiri. “Aku emang nggak bisa bergaul tapi bukan berarti aku nggak bisa memperlakukan seorang teman dengan baik. Kalo bukan gara-gara aku dikarunia Tuhan ingatan eidetik dan fotografis yang membuat aku kelihatan pintar mungkin nggak satu pun dari mereka mau menegurku sama sekali”.
         Aku merasa tertarik dengan ucapannya barusan. Ingatan eidetik dan fotografis? Apa maksudnya?
        “Ingatan eidetik dan fotografis? Apa itu?”
        “Itu semacam kemampuan untuk mengingat semua hal dengan akurat. Orang-orang dengan kemampuan eidetik dan fotografis seperti aku umumnya bisa mengingat setiap detail gambar, suara, benda bahkan kata-kata yang didengar dengan sempurna”.
         Kalo tadi aku kaget, sekarang aku malah tercengang mendengar apa yang dikatakannya. Aku kagum dengan karunia yang dianugerahkan Tuhan padanya namun disisi lain juga menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Apa jadinya kalo aku yang diberi karunia itu? Satu sentuhan bau, pandangan, atau suara bisa mengantarkan kembali ke semua kenangan dan pengalaman yang sudah jauh aku lupakan. Buat sebagian orang—termasuk aku—ingatan akan terus bercokol di kepala kalo pengalaman yang dialami hanya sebatas kenangan menyakitkan, misalnya putus cinta atau ditinggal orang yang disayangi, bukan malah keseluruhan dari pengalaman hidup yang pernah dijalani.
          “Kamu mungkin nggak percaya kalo aku bisa mengulang lagi semua penjelasan Pak Adrian seminggu yang lalu—semuanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya!”
         “Semuanya?!!” tanyaku jauh lebih kaget dari sebelumnya.
         “Aku tau kamu pasti kaget mendengarnya tapi itulah yang aku alami. Kamu mungkin bakal ngerasa kalo aku ini hebat banget udah dapet ingatan ini karena mungkin nggak bakal capek-capek belajar buat ulangan, iya kan?”
          Aku tak menjawab karena aku mengamini apa yang dikatakannya.
         “Tapi buat aku ini menyakitkan. Kamu tau gara-gara ingatan ini, aku harus mau nggak mau terima banyak hal bahkan aku nggak bisa ngelupain apa yang pernah aku liat yang justru nggak ingin aku liat”.
         Menyakitkan? Mungkin aku tidak akan bisa merasakannya kalo tidak aku sendiri yang mengalaminya. Apa karena Anggra dianggap super jenius hingga dicap sok tahu segalanya? Atau apakah ada sesuatu pengalaman pahit yang tidak bisa dilupakan Anggra dari ingatannya yang super itu. Pengalaman pahit? Kalo begitu apa bedanya Anggra dengan aku yang hanya memiliki ingatan yang sama dengan orang pada umumnya?
        “Aku nggak mau ngebahasnya lagi”, lanjut Anggra dengan nada jengah yang sudah pasti memang tidak ingin dia lanjutkan. “Aku emang pantas ngucapin makasih buat kedua almarhum orang tuaku karena sedari kecil aku bukan aja diajarkan logika dan bahasa tapi mereka juga ngebiarin aku untuk bebas berimajinasi yang mungkin nggak aku sadari udah membuat ingatanku lebih berkembang”.

                                                                      ----oo000oo----

          Sekarang aku dan Anggra bercanda di bangku yang terbuat dari beton—ada empat buah bangku—yang sengaja dibuat untuk mengitari kolam air mancur mini di sekolah kami. Sejak saat itu, aku menjadi temannya karena itulah yang aku inginkan dari pertama kali aku pindah ke sekolah ini. Aku tidak peduli orang-orang beranggapan apa tentang Anggra, sekalipun Anggra digelari cewek terkuper.
          Mengenai ingatan eidetik dan fotografis, yang dia miliki itu hanya aku anggap sebagai karunia Tuhan yang memang pantas untuknya. Sebenarnya, setiap orang bisa melatih setiap ingatan yang pernah singgah tapi mungkin tetap tidak bakal seakurat orang yang memiliki ingatan eidetik dan fotografis tadi.
         “Oya, Gra…coba kamu bisa baca pikiran juga ya, mungkin bakal lebih klop lagi kelebihan kamu”, kataku dengan canda.
         “Nggak mau ah, nggak enak banget kalo harus dengerin semua yang ada di kepala orang. Kalo mereka sampe tau, itu sama aja mereka nggak punya rahasia ato bahkan nggak bisa punya rahasia di depan aku”.
        “Iya juga ya”, pikirku.
         Anggra bukan saja memberi banyak warna dalam hidupku tapi juga mengajarkan aku satu hal yang mungkin sebagian orang sudah banyak melupakannya kalo: ternyata nggak cukup kata hebat untuk menggambarkan kemampuan dari ingatan seorang manusia!

                                                                         ---oo000oo---