Rabu, 30 November 2011

Maybe One Day...




Kau tahu, sebenarnya hubungan ini terasa kosong tapi menyenangkan. Tidak erat tapi agak susah untuk saling melepaskan. Baik aku--ataupun ia. Aku pun sulit menjabarkannya.

Aku tak mungkin bisa sepenuhnya masuk jauh ke dalam dan menyentuh hatinya. Kau tahu kenapa? Karena sebenarnya, aku menipu diri sendiri. Seolah-olah aku bisa berlalu dengan tenang tanpa mengharap cintanya.

Tapi, aku akan belajar untuk merenggangkannya secara perlahan, agar aku tidak terlalu merasakan sakitnya. Hanya saja, aku akan tetap di sisinya dan ada untuknya sampai ia sendiri yang menyuruhku pergi.

Kapan waktu itu akan terjadi?

Maybe, one day...

Senin, 28 November 2011

Wajah dalam Sketsa


Jema.
Bagai patung yang hidup, diam tapi bernyawa. Itulah aku. Aku tak pernah membantah setiap ucapan bunda, aku selalu jadi gadis remaja yang penurut. Aku tak mau membuat bunda bersedih, apalagi mengalirkan sungai air mata di pipinya. Aku terima sajalah semuanya dengan ikhlas hati.
Aku memiliki sebuah impian yang ingin sekali aku wujudkan. Mau tahu? Gunung, itu jawabnya. Aku ingin sekali naik gunung, menjelajahi tiap liku jengkalnya. Dan juga menghidup udara basah pepohonan yang tumbuh liar. Ah, kapan aku dapat mewujudkannya sementara berjingkat dari satu tempat ke tempat lain saja, ruang gerakku dibatasi.
Seorang sahabat yang belum lama kukenal pernah bilang kalau kesedihan menyergap, berteriaklah agar angin membawanya pergi. Aku tak bisa melakukannya, karena aku tak ingin orang-orang mengira aku gila gara-gara melakukan itu. Dia juga bilang kalau tetap saja bersedih, lukiskan kata-kata kesedihanmu pada pasir pantai yang putih agar ombak menyapunya. Ini jelas tak bisa juga aku lakukan karena aku tak bisa pergi ke tempat-tempat jauh. Maka, aku menuruti perkataannya yang ketiga. Menangis. Ya, dengan menangis aku bisa sedikit merasa lega dan membaik. Aku sering menangis di kamarku atau ketika aku merasa sendiri.
“Jema, acara kisah petulangan di tv-nya sudah mulai tuh, sayang?” ujar bunda sembari memegang pundakku.
Sedari tadi aku memang asyik sendiri dengan pensil lukis dan buku gambar besarku. Aku telah selesai menggambar satu sketsa wajah bunda yang aku lihat dari album fotonya sewaktu muda. Aku menggambarnya dengan sepenuh hati di teras belakang rumah.
“Bunda jadi tambah cantik, ya kalo kamu yang gambar,” pungkas bunda. Aku tersenyum kecil, senang rasanya kalau bunda menyukainya. “Ayo, kita masuk. Kamu sudah kelamaan di luar, enggak baik buat kesehatan kamu, nak.”
Aku manut. Aku pun membereskan alat-alat gambarku, dibantu bunda. Tapi, begitu aku beranjak, mata bunda tak luput mengamatiku. Rasa cemasnya yang berlebihan kembali terlontar.
“Aduh, kenapa bunda lupa ingetin kamu pakai jaket sih?” ujarnya. Aku tersenyum kecut. “Ayo, cepetan masuk, biar bunda pakaikan kamu jaket. Badan kamu harus tetap hangat, Jema.”
Bunda, kenapa kelainan jantung yang aku idap sejak aku kecil membuat kebebasanku lenyap perlahan?
**

Kikan.
Seorang sahabat baruku pernah bilang dalam hidup ini seseorang harus memilih dari tiap-tiap pilihan yang ada di depan mata. Aku percaya yang dikatakannya itu. Namun, dia juga pernah bilang, ada kalanya juga seseorang tak bisa memilih. Dan itu yang terjadi padaku. Tak pernah terbersit dalam kepalaku aku akan melakukannya.
Hari itu aku pulang sekolah. Hanya saja aku sesampainya aku di rumah, aku merasakan keanehan yang tak biasa. Zizi, adik perempuanku terlihat mengelus-ngelus punggung mama yang sedang menangis. Aku memandang Zizi dengan penuh tanya. Zizi malah balik menatapku dengan pandangan nelangsa.
Mendadak Zizi beranjak, lalu dia menggamit tanganku. Dia membawaku ke kamarnya dan menutupnya dengan pelan.
“Mama kenapa, Zi?” tanyaku cepat.
“Bukan mama, kak. Tapi, papa!” sergah Zizi cepat.
“Papa? Ada apa dengan papa, Zi?”
“Papa ditangkap sama polisi, Kak,” jawabnya. Aku tersentak, kaget mendengar ucpannya. “Karena tuduhan korupsi!”
Korupsi? Papa korupsi?! Aku tak percaya kalau papa yang jadi panutan keluarga dan sayang keluarga serta taat ibadah melakukan perbuatan itu. Pasti ada yang salah!
“Enggak mungkin papa melakukan itu, Zi,” ujarku. Aku tanpa sadar menaikkan satu oktaf nada bicaraku pada Zizi. “Pasti ada yang salah. Polisi-polisi itu pasti salah tangkap!”
“Kak, kita enggak bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa menunggu hukum yang menentukan semuanya. Sekarang papa lagi diproses pihak yang berwenang.”
Sejurus kemudian terlintas dengan cepat di pikiranku untuk menghubungi Om Prasetyo, pengacara keluarga kami. Pasti, Om Prasetyo tahu apa yang terjadi sebenarnya dan—mungkin—akan memutar otak untuk mengeluarkan papa. Aku tak ingin melihat papa mendekam sebaagi pesakitan di hotel prodeo.
Dari sejak itulah, segalanya berubah. Berita tentang papa karena korupsi di perusahaan multi nasional tempatnya bekerja menyebar dengan cepat bagai virus yang menyerang tiap orang yang ingin dijangkitinya. Wajah papa yang didakwa sebagai koruptor kelas kakap tak henti-hentinya berseliweran di tv dan surat kabar. Mama jadi sulit untuk diajak bicara. Zizi pun berubah menjadi sosok pendiam sedangkan aku terlanjur frustrasi.
Tapi, aku sempat teringat ucapan sahabatku itu maka aku memilih untuk kuat dan bertahan. Badai yang menghantam itu memang sudah memperodak-porandakan semuanya. Ingin rasanya aku menjadi seperti pohon oak yang berani menantang angin. Biarpun sulit menerima setiap cemoohan dan sindiran, namun aku harus menelannya bulat-bulat.
**

Jema dan Kikan.
Kikan mengganti rasa frustrasinya dengan memotret. Ya, dia memiliki hobi fotografi. Jauh sebelum papa-nya mendekam dan menjadi pesakitan di hotel prodeo sembari menunggu vonis akhir putusan hakim, Kikan memang sudah menyukai dunia potret-memotret. Obyek potretnya terkadang sederhana tapi bermakna atau sama sekali tak terpikirkan oleh orang lain.
Tapi, Kikan jauh lebih menikmatinya akhir-akhir ini. Dari memotret itulah, dia bertemu Jema.
Kikan mendapati Jema sedang menatapnya ketika dia tanpa sepengetahuan Jema mengambil gambar-gambar Jema untuk dipotret. Hari itu Jema memohon pada bunda untuk pergi sendirian menikmati udara sore yang cukup hangat di taman kota. Dari lensa kameranya Kikan dapat melihat mata Jema yang mengerjap-ngerjap sementara bibirnya sedikit berwarna kebiruan.
Raut wajah Kikan menunjukkan kalau dia memang merasa bersalah karena mengambil gambar orang lain tanpa izin. Dia mesem-mesem sembari langkah kakinya mendekati Jema yang duduk di sebuah duduk-dudukan yang terbuat dari batu bata yang berlapis semen, persis di bawah pohon Akasia.
“Maaf, aku udah mencuri gambar kamu untuk aku jadikan obyek foto,” ujar Kikan.
Bukannya marah, Jema malah mengulaskan senyum pada Kikan. “Enggak apa-apa kok. Kalau wajahku bisa membantu orang lain terlihat senang, aku enggak masalah,” sahut Jema. “Aku malah senang banget kalo dapat membantu orang lain, selagi aku punya kesempatan untuk itu.”
Kikan sedikit ternganga mendengar ucapan Jema kala itu. Ada yang mengusiknya. Apa maksudnya ‘selagi masih punya kesempatan’? Kikan membatin. Lalu, tak perlu menunggu waktu yang lama, Kikan pun ikut bergabung duduk bersama Jema. Sejak saat itulah mereka bersahabat, saling mencurahkan isi hati tentang apa yang mereka rasakan—saling berempati.
**

Jema.
Entah kenapa, belakangan ini aku kangen sekali ingin bertemu Kikan. Aku sudah lama tak bertemu dengannya lagi. Aku seolah merasakan kalau aku memiliki sembilan nyawa seperti kucing, begitu bersemangat ketika aku bersamanya. Kikan tahu di mana rumahku, malah dia sudah sering datang berkunjung. Tapi, aku tak pernah tahu di mana Kikan tinggal.
Kikan yang bertubuh jangkung itu juga tak cuma bersahabat denganku saja, dengan bunda pun dia akrab. Dia pandai beradaptasi, mudah menciptakan obrolan seru. Bahkan dari kejauhan aku sering melihatnya ngobrol-ngobrol bareng bunda. Padahal aku dan bunda tahu betul apa yang sedang dia dan keluarganya alami sekarang.
Sungguh, Kikan itu cewek yang luar biasa, penuh semangat. Itulah Kikan di mataku.
Karena betapa kangennya aku pada Kikan, semua lembar-lembar buku gambarku telah aku isi dengan sketsa wajahnya. Ya, wajah Kikan.
**

Kikan.
Aku sudah lama tak bertemu Jema. Aku tak ingat persisnya kapan terakhir kali aku dan dia bertatapan muka. Dengan berat hati, aku memilih untuk menyendiri dulu darinya. Aku tak ingin membuat Jema bertanya-tanya apa gerangan yang aku rasakan, sudah cukup dia banyak tahu. Aku tak ingin dia banyak bertanya, karena dari banyak bertanya dia akan lebih banyak tahu. Dan kalau dia banyak tahu, maka aku akan semakin sakit.
Suasana hatiku kian kacau melihat kenyataan keluargaku. Mama sudah terganggu jiwanya. Mama depresi, tak kuat dengan cemoohan orang-orang. Zizi? Adikku itu melarikan diri, entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, dan memintaku untuk tak mencarinya. Dia juga tak tahan dengan semua kenyataan yang terjadi pada keluarga kami dan memilih menjauh dari hiruk-pikuk masalah. Kasihan Zizi.
Kasihan?
Hei, aku juga pantas untuk dikasihani. Senyum dan tawa yang seharusnya menjadi perjalanan kehidupan remajaku telah lenyap digantikan rasa frustrasi dan depresi. Papa telah terbukti bersalah. Lima belas tahun ganjaran yang harus dia terima.
Aku bagai mengambang di ruang kosong ketika mendengar itu. Seperti biasa kalau aku frustrasi, aku akan tenggelam dengan hobiku. Hanya saja aku punya hobi yang baru.
Membuat sketsa seperti yang Jema lakukan.
**

Inilah kisah Jema dan Kikan…

Doa Jema terkabul. Dia akan mendapatkan ‘hidup’ baru. Ini bagai angin segar untuknya, dia akan melakukan transplantasi jantung. Sebentar lagi impiannya yang ingin naik gunung akan terwujud.
Mentari bersinar cerah ketika operasi itu dilaksanakan. Jema rebah tanpa daya dengan mata terpejam rapat di ranjang operasi sembari menunggu jantung baru yang akan bersemayam dalam tubuhnya.
Dan…setelah tak sadarkan diri, Jema pun membuka mata untuk kali pertama sejak operasi pencangkokkan jantung barunya usai. Bunda yang sengaja memilih untuk tidak tidur sama sekali, tersenyum haru. Begitu juga ayahnya. Jema dapat merasakan kalau tangan bunda menggenggam tangannya. Meremasnya dengan lembut.
Kepala Jema agak pusing akibat pengaruh bius total sedangkan matanya masih menyesuaikan diri. Tapi, itu semua tak ada apa-apanya ketimbang rasa senangnya yang mencuat hebat. Berkali-kali Jema berucap syukur atas hidup ‘kedua’ yang akan dijalaninya.
**

“Jadi…”
Bunda memandang Jema nelangsa. Ada janji yang harus dia bayar. Meski sakit untuk diucapkan tapi dia harus mengatakannya pada Jema.
“Iya, nak. Jantung yang berdetak dalam dada kamu itu, jantung milik Kikan. Dia sendiri yang bersikeras mau mendonorkannya buat kamu.”
Jema perlahan menitikkan air mata. Benarkah itu? Benarkah tak akan ada lagi Kikan yang luar biasa itu? Jema pilu mendengarnya, lidahnya kelu. Tahu-tahu, Jema menyesal kenapa harus memberi tahu Kikan kalau dia pengidap kelainan jantung!
“Kikan menitipkan ini buat kamu, Jema,” ujar bunda lagi sembari menyodorkan sebuah amplop cokelat besar.
Jema tercengang melihat isinya. Ada tiga gambar wajahnya yang dituangkan dalam bentuk sketsa. Itu buatan Kikan. Lalu, tiba-tiba tangan Jema memegang secarik kertas berwarna. Surat dari Kikan.
Jema, aku udah capek dan aku memilih menyerah. Ini pilihanku, Jem karena aku udah memilih. Seperti yang kamu bilang dalam hidup kita harus memilih, kan? Aku titip jantungku ya, aku mohon jaga baik-baik. Oiya, aku belajar menggambar sketsa wajah kamu dari foto-foto kamu yang ada di kameraku. Maaf kalau enggak sebagus sketsa buatan kamu, tapi aku harap kamu senang. Berjanjilah untuk tersenyum, terutama untukku. :)
**

Minggu, 27 Maret 2011

Celoteh Minggu Malam

"Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan."

Kalimat ini sedikit menggelitik gw. Gw sangat suka point kedua dari kalimatnya. Hmm...

Kalau memang kata-kata penting seharusnya dikatakan bukan? Tapi, pada akhirnya gw terkadang susah untuk melakukannya. Pikiran di kepala sudah menginstruksikan, tapi semuanya tersendat di mulut--mengurungkan semuanya. Lagi-lagi perasaan yang berperan...

Jujur, gw orangnya sering enggak enakan sama orang lain, selalu menimbang-nimbang, selalu membalikkan keadaan, 'gimana ya kalo gw yang mengalami perbuatan yang gw lakuin ke orang lain?'
Contoh kecil deh, gw paling males buat ikutan nimbrung gosip atau ngomongin orang. Memang sih, disatu sisi gw bisa dapet info dari 'kasak-kusuk' itu, tapi disisi lain, gw--amit-amit--bisa jadi bahan gosip juga oleh orang lain--gw bs dibilang sedikit terjangkiti yang namanya rules of life yang bilang karma itu berlaku-- meskipun gw enggak bisa mencegah orang lain melakukan itu terhadap gw.


Gw posting tentang ini, karena gw juga masih belajar dari dulu sampai sekarang, gw berusaha untuk enggak jadi orang yang 'useless' apalagi setelah membaca kalimat bijak diatas. Haiya....selama ini gw terkadang terkungkung dengan apa yang ada di kepala gw. Gw sering banget mengungkung imaji gw dan menutup rapat-rapat ruang kreatif dari ide-ide gila yang berseliweran di kepala. Gw terlalu banyak pertimbangan "Entar kalo enggak berhasil gimana ya?" atau "Entar kalo ide gw ditolak gimana?" atau "Kalo gw keluar dari tempat kerja gw yang sekarang dengan alasan bukan passion gw dan membangun impian passion gw, kira-kira gw bisa survive enggak ya?" atau satu lagi "Kalo gw nembak duluan kia-kira dikira cewek genit enggak ya?
*Menarik napas panjang*


Tapi, pada akhirnya kalimat bijak diatas menyadarkan gw, kalo gw sudah saatnya memang me-reset ulang diri saya supaya lebih 'on track' lagi. C'mon gw kian detik kian bertambah umur, kalo gw tetep dipoint gw yang 'itu-itu' aja, gw cuma bertambah umur doang 'WITHOUT EXPRIENCE" yang mumpuni. Kesimpulannya, gw harus The way to get started is to quit talking and begin doing. Bukan 'SEKEDAR' tapi dua kali lipat dari sebuah kata "HARUS"

Open minded=> buka pikiran => mengembangkan pikiran.
Sama halnya seperti parasut yang terbuka. Membuka pikiran dan menjaring semua ide yang menggiring gw buat maju. Lepaskan perasaan khawatir, pikirkan 'seolah-olah' gw enggak khawatir lagi mungkin itu bakal membuat gw lebih aman dan terlihat nyaman waktu melakukannya--apapun itu.



Selasa, 21 Desember 2010

Metamorfosis Quilla ( Dimuat Tabloid Gaul 19-26 Desember 2010)


“Hah…”        
          Quilla menghembuskan napas tragis di depan gerbang sekolah yang bertingkat tiga itu. Hembusan napas tadi mengartikan keengganan Quilla untuk sekolah. Bukan tanpa sebab dia merasa enggan, itu terjadi karena dia takut jadi pusat perhatian dari seluruh mata siswa yang menatapnya. Quilla sempat merutuki kenapa video-videonya bisa membuat petaka yang begitu mengejutkan untuk dia terima. Entah kenapa Quilla semakin yakin kalau bangunan sekolahnya itu seperti telah menunggu kedatangannya.
          “Oke, siapa lagi yang bakal minta dititipin salam dan minta tanda tangan?” ucap Quilla pelan pada diri sendiri.
          Barulah Quilla hendak melangkahkan kaki masuk ke sekolahnya itu, tiba-tiba saja ada orang yang meneriaki namanya. Widia yang bertubuh subur melambai-lambaikan tangannya ke arah Quilla. Cewek itu memang nggak mau mengubah kebiasaannya yang super-duper heboh itu. Selalu saja begitu, seolah-olah mereka sudah lama nggak ketemu. Sampai-sampai mengundang banyak mata yang melihat.
          “Quilla, sorry ya. Boleh nggak gue minta tolong lo ngasih ini ke Bayu Arnold?”
          Quilla tertegun sejenak tapi nggak urung dia terima juga surat yang disodorkan seorang siswa cewek padanya. Aduh, kalo begini terus kejadiannya, aku bakalan ketemu dia terus, pikir Quilla.
          “Ngapain tuh cewek?” tanya Widia begitu dia berhasil menghampiri Quilla.
          Quilla menunjukkan surat beramplop ungu pucat itu pada Widia jadi dia nggak perlu repot-repot menjelaskan karena Widia sudah pasti tahu jawabannya. Pikiran dan hati Quilla belum menemukan titik untuk saling bersinergi. Pikirannya mendebat kalo dia harus menghentikan semua kekonyolan ini karena dia sadar betul dia sudah dikenal oleh orang seantero sekolah ini, namun sayangnya hatinya membisikkan pesan kalo dia bisa jadi malaikat yang baik hati bagi orang-orang yang ingin berhubungan dengan Bayu Arnold.
          “Lo emang baik banget ya, La. Lo mau gitu, jadi perantara orang-orang yang pengen kenal lebih deket sama Bayu Arnold!” ujar Widia.
          “Lo udah sering ngomong kayak gitu ke gue, Wid,” jawab Quilla. “Lagian mau gimana lagi, gue juga bingung mau nolaknya. Entar gue dibilang sombong lagi.”
          Belum juga pelajaran dimulai, sudah satu surat diterima Quilla dan itu menggenapkan dua puluh sembilan surat yang ada di laci meja belajarnya. Bayu Arnold, memang telah sukses membuat dunia Quilla jungkir balik. Quilla yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak jadi orang yang paling dicari di sekolah. Bayu Arnold adalah seorang solois yang sedang naik daun. Perkenalannya dengan cowok itu terbilang unik tapi mungkin bukan satu-satunya perkenalan terunik diabad ini.
                                               = = = = oo00oo = = = =
          Siang itu—sebulan yang lalu, Quilla baru saja turun dari ojek yang mengantarkannya sepulang sekolah. Dia bisa melihat sebuah mobil sedan warna biru metalik berada di halaman rumahnya. Ada tamu rupanya, pikir Quilla. Tapi siapa tamu yang memakai mobil sedan yang masih kelihatan baru itu?
          Lalu, Quilla pun berjalan mantap menuju rumah untuk memastikan. Quilla memberi salam terlebih dulu sebelum akhirnya dia terkejut. Ternyata yang berkunjung itu Baru Arnold beserta dua orang cowok keren yang datang bersamanya. Mereka tampak tampan dengan balutan pakaian casual zaman sekarang. Dalam hatinya, Quilla bertanya-tanya dari mana mereka tahu rumahnya dan untuk apa mereka datang?!
          “Eh, kamu udah pulang, La?” sambut ibunya pada Quilla. “Kamu udah ditunggu lho sama mereka.”
          Quilla menatap satu persatu tiga cowok itu, lalu nggak lupa mengalihkan pandangannya pada ibu. Ibu mendadak jadi heboh begitu setelah mengenali satu diantara mereka adalah selebritis.
          “Hai, Quilla, “ ujar Bayu yang pertama kali menyapa Quilla. Cowok itu berdiri, lalu diikuti dua cowok yang lain. “Aku Bayu Arnold,” lanjutnya ramah sembari menyodorkan tangan hendak berjabat.
          “Quilla,” ujar Quilla turut memperkenalkan dirinya.
          Sensasi aneh masih menyelimuti Quilla tentang kehadiran tamu-tamu keren itu, terutama Bayu Arnold. Seolah ingin mengikuti apa yang dilakukan Bayu, dua cowok yang lain itu pun mengenalkan siapa diri mereka pada Quilla. Dari perkenalan itu, Quilla tahu kalo mereka bernama Koko dan Rafa.
          “Ada apa ya, mencari saya?” tanya Quilla dengan nada sopan.
          “Nyantai aja, La. Kamu nggak perlu kaku begitu dong, lagian kami bukan pejabat yang harus dihormati sampe segitunya,” ujar Koko sembari tersenyum.
          “Ya udah, tante pamit ke belakang dulu ya. Diterusin aja ngobrol-ngobrolnya,”ujar ibu pada tamu itu.
          Sepeninggal ibu yang berlalu dari ruang tamu, Quilla masih menunggu pertanyaannya dijawab.
          “Ada apa ya, kalian nyari aku?” ulang Quilla lagi, kali ini terdengar lebih santai.
          “Nggak ada apa-apa kok. Kita berdua cuma nemenin Bayu buat ketemu sama kamu,” pungkas Rafa menjawab mewakili kedua temannya.
          Merasa namanya disebut-sebut membuat Bayu tersenyum. Jauh dalam hatinya, Quilla terkesima dengan senyum cowok itu. Makin tambah ganteng saja cowok yang bernama Bayu Arnold itu ketika tersenyum.
          “Ketemu sama aku?” tanya Quilla seolah ingin meyakinkan kalo dia memang nggak salah dengar. Rafa mengangguk taktis.
          “Sorry ya, La, kalo kedatangan kami buat kamu bingung,” kali ini Bayu yang mengambil alih obrolan, “tapi yang dibilang sama Rafa itu bener, aku memang pengen ketemu sama kamu. Aku kagum waktu melihat video yang kamu up load di Youtube.”
          “Ya, La. Sampe-sampe nih ya, Bayu ngebanding-bandingi kamu sama kita-kita. Emang sih, permainan gitar kamu bagus banget. Klop deh sama suara kamu yang keren itu. Tapi, kita juga nggak kalah jago main gitarnya!” sahut Koko yang bagai angin puting beliung karena main serobot  jatah Bayu ngomong.
          Teringatlah Quilla tentang hobinya yang suka up load video ke internet. Quilla memang mahir memainkan gitar baik gitar akustik ataupun gitar elektrik dan dia sering up load performance-nya dengan kedua jenis gitar itu—dua gitar itu dia beli setelah dia mati-matian menyisihkan uang jajannya.  Suaranya juga bagus. Bermodalkan laptop dengan kamera build ini, Quilla menuangkan bakat dan hobinya itu. Entah sudah berapa kali Quilla meng-up load kesenangannya dalam bermusik lewat internet, yang jelas Quilla sudah lupa.
          Kalo boleh jujur, nggak pernah terlintas di pikiran Quilla efek dari video-videonya itu bisa menghadirkan sosok Bayu Arnold, solois yang namanya sedang naik daun untuk datang ke rumahnya, lengkap dengan dua cowok keren yang datang bersamanya.
          Quilla melakukan itu cuma sebagai bentuk sisi kreatif yang ingin dia salurkan dan juga sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Nggak dipungkiri lumayan banyak komentar-komentar manis yang memuji permainan musiknya itu ketika dia membuka ulang video-videonya. Quilla boleh saja disebut cewek yang minderan kalo bertemu orang lain tapi nggak dengan kegemarannya up load video. Quilla merasa terntantang menunjukkan pada dunia siapa dirinya meskipun hanya sebatas dunia maya.
          “Terus, kalian tau rumah aku dari mana?”
          Rasa kikuk tiba-tiba menyerang Quilla setelah tanpa tedeng aling-aling Bayu Arnold menatapnya terus. Kalo saja cowok itu tahu, sebenarnya jantung Quilla hampir saja melompat ke kerongkongan mendapatkan tatapannya itu.
          “Kalo kamu aja bisa membuat Bayu kagum dengan video-video yang kamu up load di internet, hal itu juga bisa berlaku dong, buat nyari tau di mana kamu tinggal,” ujar Rafa yang ngomongnya jauh lebih kalem dari Koko biarpun nggak lebih kalem dibandingkan dengan cara Bayu Arnold ketika memainkan kata-katanya saat dia bicara.
          Quilla Cuma bias ber ‘ooh’ ria setelah mendengar ucapan Rafa. Dan voila terjadilah obrolan diantara mereka. Banyak yang merka bahas, termasuk fenomena kepopuleran yang diraih beberapa orang lewat up load video, contohnya Justin Bieber atau Sinta dan Jojo. Tapi ketika disinggung seperti itu, Quilla buru-buru menyanggahnya karena memang dia nggak berminat untuk mengejar popularitas.
          “Iya, La. Kita tau kok kalo kamu orangnya nggak seperti itu. Keliatan lagi dari sifat polos kamu itu, “ujar Rafa. “Lagian kalopun kamu terkenal, anggap aja itu sebagai keberuntungan buat kamu. Banyak lho orang yang pengin terkenal cuma lewat internet doang.”
          Telinga Quilla jadi panas. Aku berbeda, batin Quilla sewot.
          “O iya, kata kamu tadi, kamu sekolahnya di SMA Breeze Vista ya?” tanya Bayu yang disambut anggukan kepala oleh Quilla. “Kalo begitu kebetulan banget, aku bakal nyanyi lho di sekolah kamu, jadi salah satu pengisi acara dipensi seminggu lagi.”
          Pensi, pikir Quilla. Dia hampir saja lupa kalo akan ada pensi di sekolahnya minggu depan. Tapi, Quilla nggak menyangka kalo Bayu Arnold akan jadi salah satu pengisi acara dan bisa jadi paling ditunggu performance-nya.
                                               = = = = oo00oo = = = =
          Benar saja, begitu Bayu Arnold naik ke atas panggung banyak mata tertuju padanya, terutama para siswa cewek. Mereka berteriak-teriak histeris mengelu-elukan solois itu apalagi saat Bayu melempar senyum gantengnya,.
          Quilla berjalan persis di belakangnya dan ikut naik ke atas panggung!
          Tadinya, Quilla sempat nggak mau menerima tawaran Bayu untuk turut mengisi acara dipensi sekolahnya. Tapi, dihari pertama kali kunjungannya, cowok itu bersikukuh akan membatalkan kehadirannya dipensi dan bilang pada pihak panitia kalo itu disebabkan olehnya. Jadi, mau nggak mau Quilla menyetujui meskipun dia akan ditatap oleh banyak pasang mata.
          Dipensi ini, Bayu Arnold menyanyikan empat lagu: dua lagu yang ada di album perdananya, satu lagu tantangan dari pihak panitia dan satu lagu dari salah satu favorinya Train. Semua lagu hasil kesepakatan antara Bayu Arnold dan pihak panitia. Quilla bermain gitar mengiringi Bayu bernyanyi sekaligus jadi backing vocal dadakan. Persiapan mereka sudah pol-polan karena selama seminggu, Quilla latihan bareng Bayu, bahkan Bayu sendiri yang menjemput Quilla ke rumahnya.
          Quilla sempat menahan napas dan berusaha menenangkan diri ketika Bayu memberi tahu bagaimana proses perkenalan mereka yang unik. Entah sudah berapa kali dia menelan ludah setelah tahu begitu banyak pasang mata yang menatapnya apalagi sejak Bayu bilang kalo dia sduah jadi sahabat bagi cowok itu!
          Sejak saat itu dunia Quilla berubah menghadirkan keribetan untuk dirinya. Perlahan—namun pasti—Quilla bermetamorfosis menjadi malaikat yang baik hati bagi siapa saja di sekolah yang mengagumi Bayu Arnold. Bahkan dia merasa telah berubah jadi ‘kota penampung’ banyaknya surat dan salam kagum dari para pengagum cowok itu.
                                                            = = = = oo00oo = = = =
          Sepulang sekolah, persis di depan gerbang mata, Quilla beralih pandang ke arah cowok yang meneriaki namanya sementara Widia sudah lebih dulu dijemput mamanya. Rencananya si cewek bertubuh subur itu akan menemani mamanya belanja bulanan ke supermarket. Dia Rafa. Cowok itu membawa mobil sedan berwarna biru metalik dan itu jelas mobil Bayu.
          Quilla menghela napas. Sudah pasti mobil itu yang akan mengantarkannya pulang. Ini kali keempat mobil itu menjemputnya. Jelas bukan Bayu yang meneriaki namanya kalo dia nggak mau menciptakan kehebohan dijam pulang sekolah seperti sekarang ini. Sampe kapan ini terus terjadi? Pikir Quilla.
                                                = = = = oo00oo = = = =

Senin, 20 September 2010

Mata Cinta Sachi--Muat di Majalah kaWanku (Edisi 81 # 8- 22 September 2010

Keajaiban dari sebuah ingatan dapat mengantarkan seseorang ke sebuah masa yang hampir terlupakan atau sengaja ingin dilupakan.


“Jujur deh, Zen, gue masih nggak habis pikir gimana ceritanya Sachi bisa jadi pacar Haga, padahal kan kita tau bahkan seluruh sekolah tau kalo Haga dulunya nggak suka banget sama dia”, kata Zaruya—sahabat Kazena, yang sekaligus kembaran Azarya, anak keren bin super badung yang jadi penghuni salah satu bangku di kelas sebelah.

Kazena hanya bisa mengedikkan bahu sekaligus menghle napas pada saat yang bersamaan. Dia mungkin akan sama—bertanya-tanya—bingungnya seperti Zaruya, kalau saja dia bisa melupakan gumaman Sachi di depan cermin kamar mandi sekolah, tiga bulan yang lalu.

Ketika itu Kazena baru saja hendak keluar setelah buang air kecil. Tapi barisan kalimat yang dikatakan seseorang menunda niatnya itu, Tak urung, Kazena mengintip dari balik pintu dan mendapati kalau orang itu adalah Sachi…

Perkataan Sachi di depan cermin itu begitu mengejutkan Kazena.

Kazena ingin sekali memberi tahu Zaruya tentang masalah ini. Semuanya—semua barisan kalimat yang telah keluar dari bibir Sachi waktu itu. Kazena bisa ingat dengan detail setiap kata-kata Sachi karena dia memiliki ingatan yang tak dimiliki orang kebanyakan! Bahkan, Kazena bisa membayangkan dengan jelas wajah kebencian Sachi yang tercetak sempurna di cermin.

Kazena bukannya tak pernah bersyukur mendapat kemampuan untuk mengingat semua kejadian yang pernah terjadi atau tanpa sengaja terjadi dalam hidupnya. Hanya saja, momen-momen yang menjejali kepalanya terkadang menyebalkan, membuatnya merasa bersalah bahkan sanggup membuatnya menangis…

Siapa yang salah? Tuhan??

Ingatan eidetik yang diterimanya, bingung diartikannya sebagai anugerah atau malah musibah !

= = = = oo00oo = = = =

“Hai, Zen, hai, Ru. Sachi mana, kok nggak bareng kalian?”

Haga menghampiri Kazena dan Zaruya di kantin. Cowok ganteng—yang juga sekelas dengan Azarya—yang terkenal kaya, pintar sekaligus sombong itu sibuk mencari keberadaan Sachi. Alisnya sempat berkerut karena tak mendapati Sachi bersama kedua gadis yang diajaknya mengobrol itu.

Kazena menolehkan kepala menghadap Haga, dengan seulas senyum dia berkata, “kita tadi, nganterin Sachi ke UKS. Katanya, perutnya sakit”.

“Penyakit bulanan kali, Ga”, sahut Zaruya menimpali dengan raut wajah ogah-ogahan.

Kazena tahu betul makna dari raut wajah jengah yang ditunjukkan Zaruya barusan. Sama jengahnya seperti masyarakat yang jengah dengan pemberitaan ledakan tabung gas tiga kilogram yang sedang marak terjadi atau pemberitaan video ‘panas’ artis yang tak kunjung usai. Zaruya itu cemburu!

Cemburu??

Benar sekali, Zaruya cemburu dengan Sachi, si anak baru yang dengan cepat ketahuan kikuk dan sulit bergaul itu. Tadinya Zaruya bisa bersinergi dengan senang hati terhadap Sachi tapi karena gadis itu mencuri perhatian cowok yang disukainya, praktis membuat Zaruya berteman sekedar berteman saja. Tak ada lagi tawaran hang out, tak ada lagi sapa ramah atau undangan ke kantin bareng dari dirinya. Semua itu cuma diangsurkan oleh Kazena. Bagi Zaruya, semuanya hanya pertemanan klise.

Ah, cinta bisa membutakan orang yang kejatuhan pesonanya.

“Kalo gitu, gue nyamperin Sachi ke UKS dulu ya?” Kata Haga pamit, lalu berlalu dari situ.

Zaruya mengaduk-ngaduk es campurnya sambil sesekali menyeruputnya sedikit-sedikit. Alisnya bertaut membentuk satu kekesalan yang tampak dengan mudah dibaca Kazena. Zaruya memang bisa diumpamakan seperti buku yang terbuka. Kali ini, itu sangat gampang terbaca oleh Kazena.

“Mantra-mantra Sachi cepet banget meracuni otak Haga. Lo liat kan segitu ngebetnya Haga pengen ketemu dia. Pelet apa ya yang dipakai sama Sachi sampe-sampe Haga bisa kesengsem setengah mati kayak gitu?!”

Kazena tak menyanggah ucapan Zaruya juga tidak mendukung kata-kata sahabatnya itu. Dia memilih untuk tidak merespons. Sebenarnya, Sachi tak bermaksud mencuri perhatian Haga sama sekali tapi tak selamanya ada orang yang yang mau diremehkan terus-terusan kan??

Sachi, oh Sachi. Pikiran Kazena sibuk memainkan sosoknya.

= = = = oo00oo = = = =

Tak ada yang salah yang ditangkap Kazena ketika tanpa sengaja Haga menolong Sachi yang hampir terjatuh, seminggu sebelum peristiwa kamar mandi itu. Sepertinya, anemianya kambuh lagi soalnya Sachi pernah bilang kalau dia sering sekali mengalami anemia dadakan. Haga pun memapahnya ke UKS, meskipun ketika itu Kazena melihat Haga melakukannya dengan sangat terpaksa.

Dan dari situlah perubahan dalam diri Haga terjadi, menciptakan keanehan sewot Zaruya dan lebih parah lagi kengerian bercampur ketakutan menyerang Kazena. Benarkah awal mulanya karena itu?? Dibalik kekikukan dan kesulitannya bergaul, ternyata Sachi menyimpan bakat yang tersimpan—yang bisa mempesona atau lebih tepatnya bisa memaksa orang untuk menyukainya!

Rinai hujan yang merintik dari langit sudah turun kurang-lebih selama setengah jam dan terlihat sosok Kazena tengah menikmati cappuchino hangatnya di Mon Ami, café langganannya dan Zaruya—juga Sachi. Kazena sedang menunggu kedatangan Sachi. Tiba-tiba terlintas di pikiran Kazena untuk mengobrol serius dengan Sachi hari ini tentang peristiwa kamar mandi itu. Kazena tak bisa lagi membiarkannya berlarut-larut. Tak bisa ditunda lagi, Kazena benar-benar ingin mendengar pengakuan Sachi—langsung dari bibir tipisnya nan sensual itu.

Sepuluh menit kemudian, Sachi datang.

“Hai, Zen?!” sapa Sachi setibanya dia di meja tempat Kazena berada. Tangannya kemudian sibuk membersihkan sisa-sisa percikan air rintikan hujan yang membasahi baju serta kepalanya. “ Zaruya mana? Dia nggak ikutan dateng?”

Kazena terseyum tipis. “Duduk dulu deh, Chi”.

Dengan sigap Sachi, mengambil posisi duduk persis di hadapan Kazena.

“Gue sengaja, nggak ngajak Zaruya ngumpul bareng kita”, kata Kazena pada Sachi yang menunggu jawabannya.

Sensasi keheranan ditunjukkan Sachi. Keningnya berkerut, seolah menghadirkan satu pertanyaan. Lalu…

”Kok gitu?? Lo nggak lagi berantem sama Zaruya kan, Zen?” tanya Sachi hati-hati.

Sachi sadar betul, sekalipun dia sudah berteman dengan Kazena dan Zaruya bahkan dianggap sahabat oleh mereka namun tetap saja ada koridor-koridor persahabatan yang tak bisa dimasuki Sachi antara Kazena dan Zaruya.

“Gue nggak berantem kok sama Zaruya. Semuanya baik-baik aja”.

Sachi menghela napas lega sebentar.

“Eee….terus kenapa Zaruya nggak gabung bareng kita? Kenapa cuma kita berdua?” tanya Sachi lagi, tetap membombardir Kazena dengan rasa penasarannya yang mulai menjadi-jadi.

Sejenak Kazena mengisi penuh rongga dadanya dengan udara. Sepertinya berat sekali, Kazena ingin memulai percakapannya dengan Sachi. Tapi sudah terlanjur setengah jalan. Lagipula si pembuat perubahan itu sudah ada di hadapannya saat ini.

“Gue pengen ngomong sesuatu yang serius sama lo, Chi”.

“Sama gue? Emang ada apaan, Zen?”

Kazena bisa menangkap reaksi aneh yang dihasilkan getar suara Sachi tapi gadis itu berusaha menjaga sedatar mungkin getar suaranya tersebut. Apakah Sachi sudah bisa membaca niatnya untuk menanyakan masalah yang mengganggu pikirannya tiga bulan belakangan ini?!!

“Gue tau semuanya, Chi!”

Kazena langsung menohok Sachi dengan tuduhan tersirat. Entah Sachi bisa mengartikannya atau tidak. Ini prolog awal yang bisa dilakukannya untuk membangun percakapan seriusnya dengan Sachi. Gadis berpostur tubuh mungil yang ada di hadapannya itu mau tak mau harus siap mendengar apa yang sudah tak sengaja didengarnya tentang apa yang diucapakannya di kamar mandi ketika itu. Sudah cukup tiga bulan Kazena menyimpan rapat rahasia itu. Dan inilah saatnya…

“Mata lo yang menghipnotis itu! Gue tau lo bisa ngelakuinnya”, kata Kazena tanpa berusaha berbicara dengan nada hati-hati. “Dan Haga…lo ngelakuinnya sama Haga kan? Iya kan, Chi? Saatnya lo harus jujur sama gue!”

Bening pupil Sachi melihat tajam ke arah Kazena. Tapi bibirnya terkatup rapat tanpa melahirkan kalimat pembelaan apa-apa. Dalam hatinya, Sachi baru menyadari ternyata ini alasan kenapa Kazena tak mengajak Zaruya duduk bareng bersama mereka.

Beberapa saat kemudian, Sachi membuang pandang ke luar café. Kebetulan posisi meja tempat mereka duduk bersebelahan langsung dengan kaca pengganti dinding. Di luar café, Sachi disuguhi pemandangan yang dianggapnya romantis, sampai-sampai dia tersenyum tipis menyaksikannya. Ada seorang laki-laki dan perempuan berlari-lari kecil menghindari rintikan hujan. Laki-laki itu berusaha melindungi kepala si perempuan dengan tangannya agar kepala si perempuan tak basah terguyur air hujan. Namun, Kazena menganggap senyuman Sachi itu sebagai senyuman sarkastis, seolah-olah Sachi telah menelanjangi tuduhan tersiratnya tadi.

Apa yang ada di pikiran gadis ini, batin Kazena.

“Lo ngomong apa sih, Zen?” Barulah Sachi merespons, tapi tanpa mengalihkan pandangannya pada Kazena. Sepertinya dia membangun pertahanan untuk dirinya sendiri.

“Jangan ditutup-tutupi lagi, Chi. Percuma. Gue tau lo udah tau maksud omongan gue sekarang!”

Mendengar kata-kata Kazena, akhirnya Sachi memutar kepala ke arah orang yang ada di hadapannya itu. Akhirnya dia menyadari, bukan saatnya lagi membangun pertahanan kepura-puraan karena sepertinya Kazena sudah sangat tahu betul apa yang terjadinya—ya sepertinya—Kazena tahu tentang bakat bawaannya sejak lahir itu.

“Oke, apa yang pengen lo tau, Zen?”

“Gue cuma pengen lo ngaku—kalo lo menghipnotis Haga dan ngebuat dia jatuh cinta setengah mati sama lo kan? Iya kan, Chi?”

Sachi menatap Sachi tajam dan dalam untuk beberapa saat. Itu jelas-jelas membuat Kazena merasa takut dan risih. Baru kali ini Kazena merasa seperti itu hanya karena diserang tatapan mata seseorang.

“Iya gue yang menghipnotis Haga dan membuatnya jatuh cinta setengah mati sama gue”, ucap Sachi jujur. “Lo tau kan kenapa gue ngelakuin itu, Zen?”

Kazena tak menjawab karena dia tahu betul arah ucapan Sachi. Seketika terlintas dipikiran Kazena cowok yang bernama Haga itu. Sebenarnya dialah sumber kekecauan ini. Kesombongannyalah yang membuat Sachi menggunakan bakat alamiahnya itu.

“Gue pengen menghancurkan kesombongannya dengan menghancurkan reputasinya di sekolah”, lanjut Sachi dengan nada marah yang teredam dalam suaranya. Sachi kembali melihat ke arah Kazena, “ lo tau kan betapa bencinya dia sama gue padahal sampe sekarang gue nggak tau kenapa dia ngebenci gue”.

Sachi mulai menggiring Kazena ke narasi dan deskripsi yang dia bangun. “Dia selalu meremehkan gue bersama teman-temannya tiap kali kami ketemu. Sekali-dua kali mungkin gue bisa terima tapi kesabaran gue ada batasnya juga, Zen”.

“Dan ini cara lo buat ngebales dia? Dengan menghipnotisnya sampe sekarang?”

“Kenapa nggak? Biar dia malu kalo nanti gue nanti ngilangin hipnotis itu? Tuhan, ngasih gue bakat menghipnotis ini, kenapa nggak gue manfaatin aja”, Sachi menyeringai dengan raut wajah kebencian. “Gue pengen kesombongannya hancur. Gimana ceritanya seorang Haga bisa pacaran sama cewek yang nggak se-level kaya dan mempesona seperti dia. Bahkan Bellatrix kalah kan sama gue?”

“Sampe kapan lo bakal memperlakukan dia kayak gitu, Chi? Kasian dia?

Sachi menatap Kazena sambil berkata, “sampe gue ngerasa puas. Dan lo, Zen…kalo lo nggak mau nasib lo sama kayak Haga, terhipnotis gara-gara mata gue ini, lo jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini. Ngerti lo??”

Kazena terbungkam dengan sendirinya, mendengar ancaman yang keluar dari sseorang Sachi. Mendadak, si kikuk Sachi bukan seperti Sachi yang dulu lagi. Dan untung saja Kazena tak mengajak Zaruya, karena sudah bisa dipastikan Zaruya akan terpancing emosi kalau mengetahui kejadian ini…

= = = = oo00oo = = = =

Momen Indah Zia--Muat di Tabloid GAUL (Edisi 32)

Rasanya kepalaku mau pecah kalau harus meladeni humor-humor zombi Zia padaku. Dia tak henti-hentinya membahas hal-hal yang tak penting padahal aku sering merasa tak minat sama sekali. Bahkan hal remeh temeh saja dia bahas, misalnya aktifitas Belo, kucing Anggora kesayanganku yang lebih banyak tidur pun dia ceritakan padaku, jelas-jelas aku sudah tahu!

Kedatangan Zia ke rumah membuat duniaku jungkir balik.

Zia bukan cuma sekedar datang berkunjung tapi dia telah tinggal di rumahku sekarang. Dia berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kesulitan ekonomi orang tuanya—yang tak lain Om dan Tante dari pihak Mamaku—yang menyebabkan Zia mau tak mau harus jadi bagian dari keluargaku. Dengan adik-adiknya yang masih berjumlah enam orang— yang juga harus dinafkahi, tentu saja jadi alasan utama mengapa Om dan Tante dengan berat hati melepas Zia.

Aku masih ingat betapa lusuhnya Zia ketika pertama kali menginjakkan kaki ke rumahku ini. Dandanannya berantakan, rambutnya awut-awutan—pasti jarang dispa tau bahkan jarang creambath atau jangan-jangan dia pakai sabun sebagai shampo—kulit kasar tak terawat, pokoknya membuat aku tak tahan kalau harus menatapnya lama-lama. Sangat pantas untuk dipermak—dan sayangnya Mama waktu itu memercayakan perubahan Zia padaku.

Uuugghhh….

“Apa, kabar? Kamu masih ingat aku kan, Lan?” tanya Zia ketika dia menyapaku pertama kali—waktu itu—di dapur sewaktu aku hendak membuatkan Orange Juice untuk Mama. “Emang sih kita belum pernah ketemu lagi sejak terakhir kali keluargaku berkunjung delapan tahun yang lalu, maklumlah keluargaku kan nggak berpunya. Tapi aku masih ingat, kok tampang cantik kamu waktu itu”.

Aku tak bergeming, aku masih memfokuskan diri dengan perasan jeruk yang sedang aku buat.

“Rambut kamu panjang sebahu dengan poni selamat datang di kening kamu”, lanjutnya seraya menahan tawa dan tentu saja membuatku sebal setengah mati.

“Mendingan aku yang waktu itu berambut panjang sebahu dengan poni selamat datang, daripada kamu kulit hitam plus rambut ikal nggak jelas!” kataku seraya meninggalkannya. Biar saja Mbok Inah yang melanjutkan membuat Orange Juice untuk Mama. Aku tak mood lagi!



====oo00oo====

Ada lima kardus yang lumayan besar berjejer rapi di ruang keluarga ketika aku hendak menonton televisi sore harinya. Kardus-kardus apaan ini? Tanyaku dalam hati.

“Maaf ya, ini tumpukan buku-buku aku”, kata Zia yang mendadak berada di sampingku. “Mulai dari buku pelajaran sampe novel-novel kesayanganku yang aku beli dari uang jajanku yang sangat sedikit. Aku belum menyusunnya”.

Siapa juga yang tanya?! Aku menggerutu tak jelas dalam hati lagi. “Singkirin deh, aku mau nonton tivi. Mataku nggak nyaman banget kalo harus ngeliat kardus-kardus kamu itu!” kataku datar tapi kuucapkan dengan nada menyakitkan hati.

Zia hanya tersenyum tak enak hati.

Begitulah Zia menyeimbangkan kesan jutekku dengan berbagai cara. Bahkan terkadang tanpa sungkan dan tanpa malu dia mendekatiku dan menularkan humor-humor zombinya. Tapi aku masih agak ogah-ogahan meladeninya meski tak urung aku juga pernah tergelitik dan menahan senyum.

Sosok Zia punya satu impian diusianya yang tak beda jauh denganku. Dia pernah menceritakan impiannya itu padaku ketika dia menghampiriku di gazebo halaman belakang rumah. Waktu itu aku sedang asyik membaca majalah remaja yang baru aku beli sepulangnya aku dari sekolah.

Zia ingin sekali mempunyai perpustakaan atau semacam taman bacaan! “Buat apa kamu pengen punya perpustakaan atau taman bacaan segala?” tanyaku pura-pura cuek—padahal jelas-jelas aku antusias ingin tahu— sembari membalikkan satu halaman majalah.

Dari balik ekoran mataku, aku melihat mata Zia berkedut-kedut sembari menjawab, “karena itu momen indah buatku kalo itu terwujud”.

“Momen indah kamu?” tanyaku lagi sekenanya tanpa memalingkan wajah menghadapnya.

“Hmm…,”jawab gadis yang akhirnya satu sekolah denganku itu, “aku ingin anak-anak yang sama nggak beruntungnya denganku atau malah yang jauh nggak beruntung dari aku bisa lebih dapet banyak wawasan dengan koleksi-koleksi buku yang aku punya”.

Tertegun aku mendengar ucapannya. Caranya menyikapi impian dan harapan membuatku merasa rendah di hadapannya…



=====oo00oo=====

Kemana raibnya semua penghuni rumah maghrib-maghrib begini. Mama kemana? Dan, bukannya Papa seharusnya sudah pulang biasanya dijam-jam begini? Tapi kemana Papa? Terus, Lintang adik bungsuku juga menghilang!

Sedari tadi mencari-cari keberadaan orang-orang rumah, aku hanya mendapati Mbok Inah di dapur.

“Mbok, semua orang pada kemana sih, sepi banget? tanyaku. “Terus, kenapa Mang Diman nggak jemput aku ke tempat les piano?”

“Anu, Non…anu”, jawabMbok Inah terbata. “Nyonya sama Non Lintang pergi ke rumah sakit dianterin sama Mang Diman. Tuan langsung nyusul kesana, langsung dari kantor. Juga ke rumah sakit”.

Rumah sakit? Batinku.

“Emang siapa yang sakit?” tanyaku ingin tahu. Wajar saja aku menanyakan ini. Mendadak, aku jadi sedikit khawatir.

“Non Zia”, jawab Mbok Inah cepat. “Non Zia yang sakit, Non”.

“Zia?” tanyaku lagi dan langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Mbok Inah. “Ke rumah sakit mana dia dibawa?”

“Rumah sakit Kazena Krista, Non”.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar menuju pangkalan ojek yang ada di ujung kompleks rumahku dan segera menuju rumah sakit.

=====oo00oo=====

Aku tak tahan melihat keadaan Zia sekarang. Aku yang menatapnya saja begitu terlihat menderita, apalagi Zia yang mengalaminya sendiri. Aku tanpa sadar menangis menyaksikan perjuangan Zia yang hanya sekedar ingin bernapas dengan menggunakan ventilator.

Penyakit itu sudah menyerang otot- paru-paru Zia!

“Ma, kak Zia sakit apa?” tanya Lintang pada Mama yang tampak sedih melihat keponakannya.

Zia hanya mengedipkan mata pada seluruh anggota keluargaku—termasuk aku—sebagai tanda dia memahami kalau dialah yang jadi bahan obrolan. Kondisi Zia sudah parah!!

Mama tak menjawab Lintang. Mama hanya mengusap-usap punggung Lintang dan berisyarat agar membuatnya berhenti bertanya lagi. Namun, beberapa detik kemudian ada yang tak beres dengan Zia dan membuatku keluar karena merasa tak kuat melihatnya.

Tadi paru-paru Zia bocor. Ternyata setelah dirontgen, paru-paru Zia mengempis drastis, makanya bisa bocor. Untuk mengatasinya dokter harus memasang Water Sealed Drainage (WSD) serta melubangi tubuhnya agar pemakaian WSD bisa terhubung ke paru-parunya.

Penyakit itu diberi nama Guillain-Barre Syndrome. Dia yang menyerang saraf motorik dari bagian tubuh hingga menjalar ke bagian atas lalu hampir keseluruhan tubuh—dan inilah yang membuat Zia tak berdaya!

“Mama nggak sengaja menemukan Zia tergeletak di lantai. Tubuhnya nggak bisa digerakin tapi dia masih sadar waktu itu”, kata Mama menangis, “cuma mata Zia kelihatan aneh, makanya Mama dan Lintang langsung bawa Zia ke rumah sakit”.

“Papa juga lngsung buru-buru pulang waktu Mama ngasih tau Papa”, timpal Papa.

Seketika itu juga, aku layangkan pandanganku ke Zia yang tertidur. Tampaknya dia sudah agak mendingan hingga dia bisa menikmati tidurnya. Aku melihatnya dari kaca yang terpatri di pintu ICU tempat dia dirawat. Wajahnya pucat, mungkin akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu. Tapi Lintang senantiasa menemaninya sedari tadi.

“Kasian Zia”, kataku terdengar seperti bergumam seraya mengalihkan kembali perhatianku ke Mama dan Papa. “dia anak yang ceria dan punya semangat yang tinggi. Dia juga pinter kok di sekolah”.

Mama dan Papa setuju dengan yang aku katakan.

“Zia nggak mau ngerepotin orang lain, dia selalu melakukan semuanya sendiri. Dia anak yang sangat tau diri”, timpal Papa lagi.

“Om dan Tante udah dikabarin?” tanyaku tiba-tiba.

Mama menggeleng. “Zia nggak mau, Om dan Tente tau tetang hal ini”.

“Tapi kenapa?”

Belum sempat aku mendapat jawaban atas pertanyaanku barusan, tiba-tiba Lintang menghambur keluar dengan jerit histeris!

“Mama, kak Zia?!!!

Para perawat dan dokter saling berkejaran waktu untuk memulihkan kesadaran Zia yang perlahan menghilang akibat penyakitnya yang mendadak kambuh. Ada masalah lagi dengan paru-paru Zia. Tapi mereka terus mencoba. Pemandangan kesakitan Zia seperti kiamat bagiku.

Demi Tuhan, kalau Zia diberi kesempatan untuk sembuh, aku akan meladeni selera humor-humor zombinya itu dan membantunya mewujudkan momen indahnya untuk memiliki perpustakaan atau taman bacaan!!

Aku menyayangi kamu, Zia, gumamku pada sendiri sambil menangis.



======oo00oo======

Keesokan harinya…

Aku berada diantara banyaknya kerumunan orang yang berpakaian hitam-hitam—dan aku juga menggunakan kerudung berwarna senada—ketika mengiringi tubuh kaku Zia menuju liang lahat yang menunggunya. Zia dipaksa menyerah dengan penyakitnya. Dia meninggal, hanya sepuluh menit sejak jerit histeris Lintang semalam.

Zia boleh saja lenyap dan meninggalkan dunia fana ini tapi semangatnya tetap akan hidup di hatiku…dan aku bakal mewujudkan momen indah yang jadi impiannya…



=======oo00oo======

Rabu, 25 Agustus 2010

Wah, raibnya duit gw :'(

Apa ya yang pengen gw bagi disini,,, *speechless*. Masalahnya gw lagi sedu-sedan (weleh2 bahasa gw), huhuhu... *mencoba sesenggukan tapi tak bisa selain dibela2in kalo perut gw maagh atau konstipasi yg kagak nahan rasa sakitnya*
Tapi okelah langsung ke inti masalahnya aja yak,,,duit gw raib entah kemana!!! Whoooaaaa...Padahal nih ujung bulan banget, secara 80 % uang gw kemaren lenyap ke RS alias buat berobat--buat perut gw yang sebelah kanan bawah yang gileee sampe sebulan lebih gw nnggak masuk kerja gara2 penyakit edan ini. Tapi ambil hikmahnya ajalah, itu sih teori yg mama gw bilang--dan sisanya lenyap ke rutinitas gw beli majalah di kios langganan gw, hehehe...maklumlah mengecek naskah gw kali2 aja ada yang nyantol di salah satu majalah. Malu pisan euy kalo cuma ngecek gratisan tapi kagak beli, ya minimal tabloid yang nggak nyampe 10 ribu lah yang harus gw beli. Tapi sekedar info biarpun gw suka kirim-kirim naskah ke majalah remaja tapi segmen gw sumpah jarang nge-teen kok. Malu sama umur dong gw apalagi udah tiga tahun ngelewatin kepala 2; kecuali gw kangen ke masa2 remaja gw doeloe, hehehe... Ah, ternyata gw udah tua...

Back to topik, yang jelas raibnya duit gw bukan karena digondol maling yang suka menyatroni rumah2 para tetangga--sumpah gw nggak nuduh ya disini--juga bukan raib dirampok sama perampok kelas kakap yang kasusnya heboh dan bikin gempar seantero Indonesia.
Gimana nggak heboh, orang beritanya aja hampir disiarin semua stasiun tivi.

Ugghhhh.....

Gileee bener, duit yang dirampok yang konon katanya pake senpi itu bukan dikit lagi..Ratusan juta. Ckckckck...gw aja keilangan duit yang nggak lebih dari 100 rb aja udah kalang kabut apalagi segitu ya?? Bisa-bisa mati berdiri. Gimana streesnya ya pihak bank mengganti duit nasabah yang ilang digondol rampok itu. Mungkin sama stressnya kayak mama gw kalo ngitungin belanja dapur tiap harinya atau pengeluaran tiap bulannya. Sumpah kalo gw liat, muka mama gw kalo udah ngitungin duit udah berasa kayak finance officer yang sibuk ngurusin gaji karyawan, hehehehe...

Oke, baiklah bukannya gw mendukung para perampok itu ya, tapi gw nyoba liat dari sisi yang lainnya aja deh. Kalo mereka aja bisa nekad buat ngewujudin apa yang mereka mau, kenapa gw nggak?? Dan kalo mereka aja bisa melakukan hal sebaik-baiknnya--biarpun jalan mereka salah--kenapa gw nggak??

Bener nnggak sih?? :)

So, do the best, and let God do the rest...tugas gw coba ngasih yang terbaik. Ambisi memang ada, tapi gw nggak jadi orang yang ambisius.

Tapi....wahai perampok kasian sama orang yang duitnya kalian rampok!! :)