Senin, 28 November 2011

Wajah dalam Sketsa


Jema.
Bagai patung yang hidup, diam tapi bernyawa. Itulah aku. Aku tak pernah membantah setiap ucapan bunda, aku selalu jadi gadis remaja yang penurut. Aku tak mau membuat bunda bersedih, apalagi mengalirkan sungai air mata di pipinya. Aku terima sajalah semuanya dengan ikhlas hati.
Aku memiliki sebuah impian yang ingin sekali aku wujudkan. Mau tahu? Gunung, itu jawabnya. Aku ingin sekali naik gunung, menjelajahi tiap liku jengkalnya. Dan juga menghidup udara basah pepohonan yang tumbuh liar. Ah, kapan aku dapat mewujudkannya sementara berjingkat dari satu tempat ke tempat lain saja, ruang gerakku dibatasi.
Seorang sahabat yang belum lama kukenal pernah bilang kalau kesedihan menyergap, berteriaklah agar angin membawanya pergi. Aku tak bisa melakukannya, karena aku tak ingin orang-orang mengira aku gila gara-gara melakukan itu. Dia juga bilang kalau tetap saja bersedih, lukiskan kata-kata kesedihanmu pada pasir pantai yang putih agar ombak menyapunya. Ini jelas tak bisa juga aku lakukan karena aku tak bisa pergi ke tempat-tempat jauh. Maka, aku menuruti perkataannya yang ketiga. Menangis. Ya, dengan menangis aku bisa sedikit merasa lega dan membaik. Aku sering menangis di kamarku atau ketika aku merasa sendiri.
“Jema, acara kisah petulangan di tv-nya sudah mulai tuh, sayang?” ujar bunda sembari memegang pundakku.
Sedari tadi aku memang asyik sendiri dengan pensil lukis dan buku gambar besarku. Aku telah selesai menggambar satu sketsa wajah bunda yang aku lihat dari album fotonya sewaktu muda. Aku menggambarnya dengan sepenuh hati di teras belakang rumah.
“Bunda jadi tambah cantik, ya kalo kamu yang gambar,” pungkas bunda. Aku tersenyum kecil, senang rasanya kalau bunda menyukainya. “Ayo, kita masuk. Kamu sudah kelamaan di luar, enggak baik buat kesehatan kamu, nak.”
Aku manut. Aku pun membereskan alat-alat gambarku, dibantu bunda. Tapi, begitu aku beranjak, mata bunda tak luput mengamatiku. Rasa cemasnya yang berlebihan kembali terlontar.
“Aduh, kenapa bunda lupa ingetin kamu pakai jaket sih?” ujarnya. Aku tersenyum kecut. “Ayo, cepetan masuk, biar bunda pakaikan kamu jaket. Badan kamu harus tetap hangat, Jema.”
Bunda, kenapa kelainan jantung yang aku idap sejak aku kecil membuat kebebasanku lenyap perlahan?
**

Kikan.
Seorang sahabat baruku pernah bilang dalam hidup ini seseorang harus memilih dari tiap-tiap pilihan yang ada di depan mata. Aku percaya yang dikatakannya itu. Namun, dia juga pernah bilang, ada kalanya juga seseorang tak bisa memilih. Dan itu yang terjadi padaku. Tak pernah terbersit dalam kepalaku aku akan melakukannya.
Hari itu aku pulang sekolah. Hanya saja aku sesampainya aku di rumah, aku merasakan keanehan yang tak biasa. Zizi, adik perempuanku terlihat mengelus-ngelus punggung mama yang sedang menangis. Aku memandang Zizi dengan penuh tanya. Zizi malah balik menatapku dengan pandangan nelangsa.
Mendadak Zizi beranjak, lalu dia menggamit tanganku. Dia membawaku ke kamarnya dan menutupnya dengan pelan.
“Mama kenapa, Zi?” tanyaku cepat.
“Bukan mama, kak. Tapi, papa!” sergah Zizi cepat.
“Papa? Ada apa dengan papa, Zi?”
“Papa ditangkap sama polisi, Kak,” jawabnya. Aku tersentak, kaget mendengar ucpannya. “Karena tuduhan korupsi!”
Korupsi? Papa korupsi?! Aku tak percaya kalau papa yang jadi panutan keluarga dan sayang keluarga serta taat ibadah melakukan perbuatan itu. Pasti ada yang salah!
“Enggak mungkin papa melakukan itu, Zi,” ujarku. Aku tanpa sadar menaikkan satu oktaf nada bicaraku pada Zizi. “Pasti ada yang salah. Polisi-polisi itu pasti salah tangkap!”
“Kak, kita enggak bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa menunggu hukum yang menentukan semuanya. Sekarang papa lagi diproses pihak yang berwenang.”
Sejurus kemudian terlintas dengan cepat di pikiranku untuk menghubungi Om Prasetyo, pengacara keluarga kami. Pasti, Om Prasetyo tahu apa yang terjadi sebenarnya dan—mungkin—akan memutar otak untuk mengeluarkan papa. Aku tak ingin melihat papa mendekam sebaagi pesakitan di hotel prodeo.
Dari sejak itulah, segalanya berubah. Berita tentang papa karena korupsi di perusahaan multi nasional tempatnya bekerja menyebar dengan cepat bagai virus yang menyerang tiap orang yang ingin dijangkitinya. Wajah papa yang didakwa sebagai koruptor kelas kakap tak henti-hentinya berseliweran di tv dan surat kabar. Mama jadi sulit untuk diajak bicara. Zizi pun berubah menjadi sosok pendiam sedangkan aku terlanjur frustrasi.
Tapi, aku sempat teringat ucapan sahabatku itu maka aku memilih untuk kuat dan bertahan. Badai yang menghantam itu memang sudah memperodak-porandakan semuanya. Ingin rasanya aku menjadi seperti pohon oak yang berani menantang angin. Biarpun sulit menerima setiap cemoohan dan sindiran, namun aku harus menelannya bulat-bulat.
**

Jema dan Kikan.
Kikan mengganti rasa frustrasinya dengan memotret. Ya, dia memiliki hobi fotografi. Jauh sebelum papa-nya mendekam dan menjadi pesakitan di hotel prodeo sembari menunggu vonis akhir putusan hakim, Kikan memang sudah menyukai dunia potret-memotret. Obyek potretnya terkadang sederhana tapi bermakna atau sama sekali tak terpikirkan oleh orang lain.
Tapi, Kikan jauh lebih menikmatinya akhir-akhir ini. Dari memotret itulah, dia bertemu Jema.
Kikan mendapati Jema sedang menatapnya ketika dia tanpa sepengetahuan Jema mengambil gambar-gambar Jema untuk dipotret. Hari itu Jema memohon pada bunda untuk pergi sendirian menikmati udara sore yang cukup hangat di taman kota. Dari lensa kameranya Kikan dapat melihat mata Jema yang mengerjap-ngerjap sementara bibirnya sedikit berwarna kebiruan.
Raut wajah Kikan menunjukkan kalau dia memang merasa bersalah karena mengambil gambar orang lain tanpa izin. Dia mesem-mesem sembari langkah kakinya mendekati Jema yang duduk di sebuah duduk-dudukan yang terbuat dari batu bata yang berlapis semen, persis di bawah pohon Akasia.
“Maaf, aku udah mencuri gambar kamu untuk aku jadikan obyek foto,” ujar Kikan.
Bukannya marah, Jema malah mengulaskan senyum pada Kikan. “Enggak apa-apa kok. Kalau wajahku bisa membantu orang lain terlihat senang, aku enggak masalah,” sahut Jema. “Aku malah senang banget kalo dapat membantu orang lain, selagi aku punya kesempatan untuk itu.”
Kikan sedikit ternganga mendengar ucapan Jema kala itu. Ada yang mengusiknya. Apa maksudnya ‘selagi masih punya kesempatan’? Kikan membatin. Lalu, tak perlu menunggu waktu yang lama, Kikan pun ikut bergabung duduk bersama Jema. Sejak saat itulah mereka bersahabat, saling mencurahkan isi hati tentang apa yang mereka rasakan—saling berempati.
**

Jema.
Entah kenapa, belakangan ini aku kangen sekali ingin bertemu Kikan. Aku sudah lama tak bertemu dengannya lagi. Aku seolah merasakan kalau aku memiliki sembilan nyawa seperti kucing, begitu bersemangat ketika aku bersamanya. Kikan tahu di mana rumahku, malah dia sudah sering datang berkunjung. Tapi, aku tak pernah tahu di mana Kikan tinggal.
Kikan yang bertubuh jangkung itu juga tak cuma bersahabat denganku saja, dengan bunda pun dia akrab. Dia pandai beradaptasi, mudah menciptakan obrolan seru. Bahkan dari kejauhan aku sering melihatnya ngobrol-ngobrol bareng bunda. Padahal aku dan bunda tahu betul apa yang sedang dia dan keluarganya alami sekarang.
Sungguh, Kikan itu cewek yang luar biasa, penuh semangat. Itulah Kikan di mataku.
Karena betapa kangennya aku pada Kikan, semua lembar-lembar buku gambarku telah aku isi dengan sketsa wajahnya. Ya, wajah Kikan.
**

Kikan.
Aku sudah lama tak bertemu Jema. Aku tak ingat persisnya kapan terakhir kali aku dan dia bertatapan muka. Dengan berat hati, aku memilih untuk menyendiri dulu darinya. Aku tak ingin membuat Jema bertanya-tanya apa gerangan yang aku rasakan, sudah cukup dia banyak tahu. Aku tak ingin dia banyak bertanya, karena dari banyak bertanya dia akan lebih banyak tahu. Dan kalau dia banyak tahu, maka aku akan semakin sakit.
Suasana hatiku kian kacau melihat kenyataan keluargaku. Mama sudah terganggu jiwanya. Mama depresi, tak kuat dengan cemoohan orang-orang. Zizi? Adikku itu melarikan diri, entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, dan memintaku untuk tak mencarinya. Dia juga tak tahan dengan semua kenyataan yang terjadi pada keluarga kami dan memilih menjauh dari hiruk-pikuk masalah. Kasihan Zizi.
Kasihan?
Hei, aku juga pantas untuk dikasihani. Senyum dan tawa yang seharusnya menjadi perjalanan kehidupan remajaku telah lenyap digantikan rasa frustrasi dan depresi. Papa telah terbukti bersalah. Lima belas tahun ganjaran yang harus dia terima.
Aku bagai mengambang di ruang kosong ketika mendengar itu. Seperti biasa kalau aku frustrasi, aku akan tenggelam dengan hobiku. Hanya saja aku punya hobi yang baru.
Membuat sketsa seperti yang Jema lakukan.
**

Inilah kisah Jema dan Kikan…

Doa Jema terkabul. Dia akan mendapatkan ‘hidup’ baru. Ini bagai angin segar untuknya, dia akan melakukan transplantasi jantung. Sebentar lagi impiannya yang ingin naik gunung akan terwujud.
Mentari bersinar cerah ketika operasi itu dilaksanakan. Jema rebah tanpa daya dengan mata terpejam rapat di ranjang operasi sembari menunggu jantung baru yang akan bersemayam dalam tubuhnya.
Dan…setelah tak sadarkan diri, Jema pun membuka mata untuk kali pertama sejak operasi pencangkokkan jantung barunya usai. Bunda yang sengaja memilih untuk tidak tidur sama sekali, tersenyum haru. Begitu juga ayahnya. Jema dapat merasakan kalau tangan bunda menggenggam tangannya. Meremasnya dengan lembut.
Kepala Jema agak pusing akibat pengaruh bius total sedangkan matanya masih menyesuaikan diri. Tapi, itu semua tak ada apa-apanya ketimbang rasa senangnya yang mencuat hebat. Berkali-kali Jema berucap syukur atas hidup ‘kedua’ yang akan dijalaninya.
**

“Jadi…”
Bunda memandang Jema nelangsa. Ada janji yang harus dia bayar. Meski sakit untuk diucapkan tapi dia harus mengatakannya pada Jema.
“Iya, nak. Jantung yang berdetak dalam dada kamu itu, jantung milik Kikan. Dia sendiri yang bersikeras mau mendonorkannya buat kamu.”
Jema perlahan menitikkan air mata. Benarkah itu? Benarkah tak akan ada lagi Kikan yang luar biasa itu? Jema pilu mendengarnya, lidahnya kelu. Tahu-tahu, Jema menyesal kenapa harus memberi tahu Kikan kalau dia pengidap kelainan jantung!
“Kikan menitipkan ini buat kamu, Jema,” ujar bunda lagi sembari menyodorkan sebuah amplop cokelat besar.
Jema tercengang melihat isinya. Ada tiga gambar wajahnya yang dituangkan dalam bentuk sketsa. Itu buatan Kikan. Lalu, tiba-tiba tangan Jema memegang secarik kertas berwarna. Surat dari Kikan.
Jema, aku udah capek dan aku memilih menyerah. Ini pilihanku, Jem karena aku udah memilih. Seperti yang kamu bilang dalam hidup kita harus memilih, kan? Aku titip jantungku ya, aku mohon jaga baik-baik. Oiya, aku belajar menggambar sketsa wajah kamu dari foto-foto kamu yang ada di kameraku. Maaf kalau enggak sebagus sketsa buatan kamu, tapi aku harap kamu senang. Berjanjilah untuk tersenyum, terutama untukku. :)
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar