MASALAH LUPA INGATAN
Oleh : Nora Joentak
Ingatan itu sangat berharga….
Febri
benar-benar gila dengan ide cerita yang sedang dia buat sekarang untuk
cerpennya kali ini. Kepalanya bakal pusing kalau tak cepat-cepat dituang dalam
bentuk naskah. Jadilah dia duduk di kursi belajarnya dan mulai mengarang dengan
segenap hati. Febri masih terbilang penulis pemula karena baru tiga bulan ini
memberanikan diri mengirim cerpen-cerpennya ke media. Tadinya menulis cuma
bagian dari hobi dari imajinasi-imajinasi liarnya tapi sekarang jadi begitu
menggiurkan ketika sudah mendapatkan honor yang lumayan. Febri termasuk penulis
yang beruntung—dari tiga bulan petualangannya sebagai penulis, sudah lima
cerpennya mejeng di media. Yah..balada dari cerpenis amatiranlah…Senangnya
bukan kepalang.
Febri tak pernah
menuangkan ceritanya langsung ke layar komputer. Alasannya sih klise, dari yang
tak nyeni lah, tak bisa kemana-manalah alias terlalu statis karena dia tak
punya laptop belum lagi paperless—maklum sebagai penulis pemula, Febri masih
mengharapkan kritik dari siapa saja yang dia paksa buat membaca cerpennya. Nah,
untuk mengakalinya, Febri membeli satu buku yang lumayan tebal untuk kumpulan
cerpen yang ditulisnya. Buku itu sudah lecek di sana-sini karena sering
dibolak-balik, penuh coretan salah tulis, salah meletakkan kalimat, hingga
kritikan orang lain. Kalau dia rasa cerpen yang dia buat itu sesuai syarat,
barulah Febri mengetiknya di komputer terus mengirimkannya. Entah itu lewat
email yang lebih praktis atau harus bercapek-capek ria ke kantor pos dalam
bentuk print out. Semua tergantung keinginan media.
Febri berharap
sekali media yang bakal dia kirimkan cerpennya kali ini mau bersudi hati
membaca dan meloloskan cerpennya itu karena Febri mau membelikan sesuatu untuk
Oma tercintanya yang bakal berulang tahun sebentar lagi. Uang tabungan Febri
belum terlalu cukup untuk membelikan hadiah itu. Hadiah yang diinginkan Oma
tanpa pernah Omanya umbar. Febri pernah menangkap rasa ingin yang membuncah di
mata Oma kala itu dan Febri ingin sekali mewujudkannya.
&
Kesatuan emosi cerita
dibangun Febri dengan begitu indah. Pembukaan yang meneror mengajak satu
persatu kalimat demi kalimat ke dalam ceritanya. Terlalu semangat dan
terobsesinya Febri untuk menyelesaikan cerpennya itu sampai-sampai tangannya
berusaha untuk mensejajari jalinan cerita yang sudah bercokol di pikirannya.
Ditiga perempat cerita—atau tepatnya ketika Febri membuat konflik yang
menggreget—Febri dipaksa berhenti.
“Aduh ada apa sih
sih?” gerutu Febri.
Ternyata Oma
tercintanya memanggilnya. Suara Oma yang cempreng sangat jelas dia dengar,
sekalipun Febri berada di kamar. Entah sebuah kelebihan atau justru
kebalikannya yang jelas Oma bisa dengan mudah memanggil siapa pun dengan sekali
tarikan napas, hehehe…
Febri mendapati
sang Oma yang ada di beranda teras belakang rumah. Oma tengah duduk menikmati
sore—setiap harinya selalu begitu—sembari minum teh, bermaksud ingin membaca
majalah Mama yang dibeli kemarin. Tapi itu belum terlaksana….
“Ada apa, Oma?
Gangguin aja deh, entar lupa lagi apa yang ada di kepala Febri?”
“Kamu liat nggak
kacamata Oma di mana?” tanya Oma.
Febri mendesah
napas panjang. Terpaksa dia harus membantu Oma mencari kacamatanya yang raib.
Tak mungkin minta bantuan Mama dan Mbok Inah yang nyata-nyata sekarang ada di
supermarket buat belanja bulanan. Atau Papa yang mungkin lagi presentasi di
kantor, apalagi Kak Arvan yang lagi latihan karate.
“Terakhir kali, Oma
pakenya di mana?” Febri bertanya sekedar ingin meminta petunjuk untuk mencari.
“Pas bangun tidur
tadi, masih Oma pake terus Oma sholat. Udah dari situ nggak tau lagi deh, Oma
lupa”.
“Ya udah, Febri
cari dulu ya”.
Febri sudah punya
satu kemungkinan terkuat kemana raibnya kacamata Oma itu. Tempat itu pasti
kamar mandi. Tertinggal saat wudhu. Secepat mungkin, Febri menuju kamar mandi
di kamar Oma dan benar saja, kacamata itu berada di sisi bak mandi. Teronggok
hampir kebasahan karena air—yang mengucur pelan dari kran—hampir memenuhi bak.
“Ini, Oma”, kata
Febri sembari menyodorkan kacamata yang dicari-cari itu. “Oma naruhnya di kamar
mandi. Mungkin ketinggalan pas Oma wudhu”.
“Oiya, Oma inget”,
Oma meraih kacamatanya.
“Makanya, Oma
diinget dong di mana ngeletakin barangnya. Jangan sampe lupa”, Febri mulai
berceloteh seperti biasanya. Terkadang penyakit pikun Omanya ini yang
membuatnya geleng-geleng kepala sendiri.
“Ya namanya juga
udah tua, Feb. Udah pikun, ingatan itu udah jauh berkurang. Kamu nantinya juga
gitu kalo udah tua”.
Meski kesannya mengamini tapi jauh dalam hati Febri dia bilang
amit-amit kalo dia sampai jadi pikun yang justru bakal merepotkan orang lain.
&
Febri kembali ke
kamarnya dan melanjutkan ceritanya yang sempat terlewatkan karena harus mencari
dulu kacamata sang Oma. Semenit memandang ulang naskah yang dia buat tadi, tak
juga menambah deretan kalimat tambahan. Dua menit berjalan, Febri membolak-balik
buku itu. Dia jadi jengkel sendiri kenapa mendadak dia tak bisa melanjutkannya.
Dan menit ketiga, Febri menghempaskan tubuh jangkungnya ke atas ranjang.
Sejenak dia menerawang langit-langit kamarnya, berusaha menggali kelanjutan
jalan cerita.
Menit pertama…menit
kedua…dan menit ketiga…
Rasa kantuk
menyergap Febri, dia pun tertidur.
&
Febri tersadar, dan
ketika telah membuang sisa-sisa ketidaksadarannya, dia malah menciptakan satu
kehebohan. Dia telat bangun!!
Febri tak sadar
kalo hari sudah berganti, pagi menjelang. Matahari telah mengintip dari balik
jendela kamarnya. Dia bertanya dalam hati disela-sela kesibukannya mengenakan
seragam sekolah seusai mandi, sudah berapa lama dia tertidur? Kenapa dia lupa
bangun? Bukankah sebelum memejamkan mata, dia sedang berjuang menyelesaikan
cerita pendeknya? Tapi pertanyaan yang paling mendasar, kenapa dia bisa
tertidur begitu lama dan tak ada yang membangunkannya?
Aaaarrrrgggghhh…..apa
yang terjadi sih? Gerutunya dalam hati sembari buru-buru berangkat ke sekolah.
Sesampainya di
sekolah, Febri sedikit merasa lega bisa melewati gerbang dengan selamat. Hampir
saja dia terlambat. Kalo saja, dia nggak melewati gerbang sekolah satu detik
sebelum Pak Satpam menutupnya, dijamin tak bakal ada siswa yang bernama Febri
Auliani yang duduk manis di bangkunya saat ini.
Pelajaran pertama
bakal dimulai. Langkah mantap Pak Anton di koridor beberapa meter dari kelas
mengisyaratkan pelajaran Matematika bakal membuat seluruh rambut lurus
murid-murid jadi keriting—yang keriting kemungkinan tambah melingkar, hehehe..
“Baik, anak-anak.
Kumpulkan PR yang saya kasih dua hari yang lalu!” kata Pak Anton seusainya dia
meletakkan buku yang dia bawa ke atas meja.
PR?? Batin Febri..
Febri lupa kalo
hari ini, PR itu dikumpul. Kenapa dia bisa lupa mengerjakan PR itu? Febri hanya
bisa pasrah dan mendesah sambil menanti hukuman yang bakal diterimanya sebentar
lagi.
Dunia Febri jungkir
balik hari ini, banyak keanehan yang dia dapat. Dalam hatinya, dia berharap tak
bakal ada lagi, kejadian yang terlewatkan olehnya hingga dia tak perlu merasa
sial.
Sekarang, Febri
duduk bersama, ketiga sahabatnya; Almira, Calista, dan Dinar di kantin sekolah.
Mereka bercanda seperti biasanya. Febri bisa sedikit melupakan kesialannya hari
ini. Di tengah-tengah candaan yang mereka ciptakan, tanpa disengaja Febri
menubruk pandang mata Frandy, pacarnya. Tatapan mata Frandy dingin, dan tentu
saja mengundang rasa ingin tahu Febri. Meski hari ini, dia belum menyapa Frandy
atau pun mengahampiri Frandy di kelasnya, tapi tak seperti biasanya Frandy tak
tersenyum sekedar sebagai bentuk rasa sayangnya pada Febri.
Kenapa ya dengan
Frandy? Batin Febri membuncah ingin tahu bercampur kecewa.
Ketika sudah berada
di kelas—ketika waktu istirahat telah habis—barulah Febri ingat apa yang
membuat Frandy tak menegornya hari ini. Dia melupakan hari ulang tahun Frandy
kemarin!!!
Sejuta penyesalan
menyesaki hati Febri, kenapa dia bisa melupakan hari istimewa itu. Alih-alih
memberikan hadiah yang berkesan, mengucapkan selamat ulang tahun pada Frandy
saja dia lupa. Jadi, rasanya pantas kalo Frandy mendiamkan dia hari ini!
Sepulang sekolah nanti, Febri ingin meminta maaf, dan berharap Frandy mau
memaafkannya.
“Fran, tunggu!!!”
Frandy tadinya
ingin menghindar secepat mungkin tapi langkah Febri yang setengah berlari
mengehentikannya.
“Maafin aku ya?”
“Maaf buat apa?”
tanya Frandy dingin.
“Maafin aku…iya aku
salah karena udah lupa hari ulang tahun kamu kemarin”, timpal Febri cepat.
Frandy hanya
menatap Febri datar tanpa mengatakan apapun, semakin membuat Febri merasa
bersalah. Sensasi perasaan bersalah Febri semakin bertambah, setelah Frandy tak
menggubrisnya lagi. Cowok itu malah melengos pergi begitu saja.
“Frandy…!!!” Febri
berusaha berteriak sekeras mungkin, tapi Frandy tak juga menghiraukannya…
&
Febri tersadar….
Itu sedikit dari
cerita yang tanpa sengaja diciptakan memory otak Febri dalam mimpinya. Tak ada
telat bangun, tak ada hukuman karena tak membuat PR Matematika. Hubungannya
dengan Frandy juga masih baik-baik saja—dia jadi sadar kalo besok memang ulang
tahun Frandy yang ke 18. Dia tak ingin sampai melupakan hari jadi Frandy
itu—semua hanya mimpi.
Sekarang dia masih
mengenakan pakaian yang sama sebelum tanpa sadar memejamkan mata tadi. Cerita
pendeknya yang butuh penyelesain juga masih teronggok di atas meja begitu saja.
Memory Febri lah yang mengantarkannya untuk mengingat kenapa semua kejadian
mimpi tadi seperti perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan. Takabur kalo dia
tak ingin jadi pikun di usia uzurnya nanti, padahal itu bagian dari siklus
hidup. Dia tahu, dia mencintai Omanya yang tercinta tapi kenapa dia tak
berusaha mencintai semua kekurangan Oma yang sekarang jauh lebih pikun dari
sebelumnya. Masalah lupa ingatan—atau tepatnya proses ingatan yang memudar
itu—yang dialaminya meski hanya dalam mimpi telah menyadarkan Febri kalo tak
ada manusia yang sempurna sampai diakhir hayatnya…dan betapa Tuhan itu maha
adil.
Ternyata benar,
kalo ingatan itu sangat berharga karena ingatanlah yang membuat manusia
memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
&