Selasa, 08 Desember 2009

:: CERPEN: Lagi dimuat ANEKA YESS! :: MASALAH LUPA INGATAN


MASALAH LUPA INGATAN
Oleh : Nora Joentak                                 


          Ingatan itu sangat berharga….

        Febri benar-benar gila dengan ide cerita yang sedang dia buat sekarang untuk cerpennya kali ini. Kepalanya bakal pusing kalau tak cepat-cepat dituang dalam bentuk naskah. Jadilah dia duduk di kursi belajarnya dan mulai mengarang dengan segenap hati. Febri masih terbilang penulis pemula karena baru tiga bulan ini memberanikan diri mengirim cerpen-cerpennya ke media. Tadinya menulis cuma bagian dari hobi dari imajinasi-imajinasi liarnya tapi sekarang jadi begitu menggiurkan ketika sudah mendapatkan honor yang lumayan. Febri termasuk penulis yang beruntung—dari tiga bulan petualangannya sebagai penulis, sudah lima cerpennya mejeng di media. Yah..balada dari cerpenis amatiranlah…Senangnya bukan kepalang.
          Febri tak pernah menuangkan ceritanya langsung ke layar komputer. Alasannya sih klise, dari yang tak nyeni lah, tak bisa kemana-manalah alias terlalu statis karena dia tak punya laptop belum lagi paperless—maklum sebagai penulis pemula, Febri masih mengharapkan kritik dari siapa saja yang dia paksa buat membaca cerpennya. Nah, untuk mengakalinya, Febri membeli satu buku yang lumayan tebal untuk kumpulan cerpen yang ditulisnya. Buku itu sudah lecek di sana-sini karena sering dibolak-balik, penuh coretan salah tulis, salah meletakkan kalimat, hingga kritikan orang lain. Kalau dia rasa cerpen yang dia buat itu sesuai syarat, barulah Febri mengetiknya di komputer terus mengirimkannya. Entah itu lewat email yang lebih praktis atau harus bercapek-capek ria ke kantor pos dalam bentuk print out. Semua tergantung keinginan media.
          Febri berharap sekali media yang bakal dia kirimkan cerpennya kali ini mau bersudi hati membaca dan meloloskan cerpennya itu karena Febri mau membelikan sesuatu untuk Oma tercintanya yang bakal berulang tahun sebentar lagi. Uang tabungan Febri belum terlalu cukup untuk membelikan hadiah itu. Hadiah yang diinginkan Oma tanpa pernah Omanya umbar. Febri pernah menangkap rasa ingin yang membuncah di mata Oma kala itu dan Febri ingin sekali mewujudkannya.
                                                                         &
          Kesatuan emosi cerita dibangun Febri dengan begitu indah. Pembukaan yang meneror mengajak satu persatu kalimat demi kalimat ke dalam ceritanya. Terlalu semangat dan terobsesinya Febri untuk menyelesaikan cerpennya itu sampai-sampai tangannya berusaha untuk mensejajari jalinan cerita yang sudah bercokol di pikirannya. Ditiga perempat cerita—atau tepatnya ketika Febri membuat konflik yang menggreget—Febri dipaksa berhenti.
          “Aduh ada apa sih sih?” gerutu Febri.
          Ternyata Oma tercintanya memanggilnya. Suara Oma yang cempreng sangat jelas dia dengar, sekalipun Febri berada di kamar. Entah sebuah kelebihan atau justru kebalikannya yang jelas Oma bisa dengan mudah memanggil siapa pun dengan sekali tarikan napas, hehehe…
          Febri mendapati sang Oma yang ada di beranda teras belakang rumah. Oma tengah duduk menikmati sore—setiap harinya selalu begitu—sembari minum teh, bermaksud ingin membaca majalah Mama yang dibeli kemarin. Tapi itu belum terlaksana….
          “Ada apa, Oma? Gangguin aja deh, entar lupa lagi apa yang ada di kepala Febri?”
          “Kamu liat nggak kacamata Oma di mana?” tanya Oma.
          Febri mendesah napas panjang. Terpaksa dia harus membantu Oma mencari kacamatanya yang raib. Tak mungkin minta bantuan Mama dan Mbok Inah yang nyata-nyata sekarang ada di supermarket buat belanja bulanan. Atau Papa yang mungkin lagi presentasi di kantor, apalagi Kak Arvan yang lagi latihan karate.
          “Terakhir kali, Oma pakenya di mana?” Febri bertanya sekedar ingin meminta petunjuk untuk mencari.
          “Pas bangun tidur tadi, masih Oma pake terus Oma sholat. Udah dari situ nggak tau lagi deh, Oma lupa”.
          “Ya udah, Febri cari dulu ya”.
          Febri sudah punya satu kemungkinan terkuat kemana raibnya kacamata Oma itu. Tempat itu pasti kamar mandi. Tertinggal saat wudhu. Secepat mungkin, Febri menuju kamar mandi di kamar Oma dan benar saja, kacamata itu berada di sisi bak mandi. Teronggok hampir kebasahan karena air—yang mengucur pelan dari kran—hampir memenuhi bak.
          “Ini, Oma”, kata Febri sembari menyodorkan kacamata yang dicari-cari itu. “Oma naruhnya di kamar mandi. Mungkin ketinggalan pas Oma wudhu”.
          “Oiya, Oma inget”, Oma meraih kacamatanya.
          “Makanya, Oma diinget dong di mana ngeletakin barangnya. Jangan sampe lupa”, Febri mulai berceloteh seperti biasanya. Terkadang penyakit pikun Omanya ini yang membuatnya geleng-geleng kepala sendiri.
          “Ya namanya juga udah tua, Feb. Udah pikun, ingatan itu udah jauh berkurang. Kamu nantinya juga gitu kalo udah tua”.
Meski kesannya mengamini tapi jauh dalam hati Febri dia bilang amit-amit kalo dia sampai jadi pikun yang justru bakal merepotkan orang lain.
                                                                         &
          Febri kembali ke kamarnya dan melanjutkan ceritanya yang sempat terlewatkan karena harus mencari dulu kacamata sang Oma. Semenit memandang ulang naskah yang dia buat tadi, tak juga menambah deretan kalimat tambahan. Dua menit berjalan, Febri membolak-balik buku itu. Dia jadi jengkel sendiri kenapa mendadak dia tak bisa melanjutkannya. Dan menit ketiga, Febri menghempaskan tubuh jangkungnya ke atas ranjang. Sejenak dia menerawang langit-langit kamarnya, berusaha menggali kelanjutan jalan cerita.
          Menit pertama…menit kedua…dan menit ketiga…
          Rasa kantuk menyergap Febri, dia pun tertidur.
                                                                         &
          Febri tersadar, dan ketika telah membuang sisa-sisa ketidaksadarannya, dia malah menciptakan satu kehebohan. Dia telat bangun!!
          Febri tak sadar kalo hari sudah berganti, pagi menjelang. Matahari telah mengintip dari balik jendela kamarnya. Dia bertanya dalam hati disela-sela kesibukannya mengenakan seragam sekolah seusai mandi, sudah berapa lama dia tertidur? Kenapa dia lupa bangun? Bukankah sebelum memejamkan mata, dia sedang berjuang menyelesaikan cerita pendeknya? Tapi pertanyaan yang paling mendasar, kenapa dia bisa tertidur begitu lama dan tak ada yang membangunkannya?
          Aaaarrrrgggghhh…..apa yang terjadi sih? Gerutunya dalam hati sembari buru-buru berangkat ke sekolah.
          Sesampainya di sekolah, Febri sedikit merasa lega bisa melewati gerbang dengan selamat. Hampir saja dia terlambat. Kalo saja, dia nggak melewati gerbang sekolah satu detik sebelum Pak Satpam menutupnya, dijamin tak bakal ada siswa yang bernama Febri Auliani yang duduk manis di bangkunya saat ini.
          Pelajaran pertama bakal dimulai. Langkah mantap Pak Anton di koridor beberapa meter dari kelas mengisyaratkan pelajaran Matematika bakal membuat seluruh rambut lurus murid-murid jadi keriting—yang keriting kemungkinan tambah melingkar, hehehe..
          “Baik, anak-anak. Kumpulkan PR yang saya kasih dua hari yang lalu!” kata Pak Anton seusainya dia meletakkan buku yang dia bawa ke atas meja.
PR?? Batin Febri..
          Febri lupa kalo hari ini, PR itu dikumpul. Kenapa dia bisa lupa mengerjakan PR itu? Febri hanya bisa pasrah dan mendesah sambil menanti hukuman yang bakal diterimanya sebentar lagi.
          Dunia Febri jungkir balik hari ini, banyak keanehan yang dia dapat. Dalam hatinya, dia berharap tak bakal ada lagi, kejadian yang terlewatkan olehnya hingga dia tak perlu merasa sial.
          Sekarang, Febri duduk bersama, ketiga sahabatnya; Almira, Calista, dan Dinar di kantin sekolah. Mereka bercanda seperti biasanya. Febri bisa sedikit melupakan kesialannya hari ini. Di tengah-tengah candaan yang mereka ciptakan, tanpa disengaja Febri menubruk pandang mata Frandy, pacarnya. Tatapan mata Frandy dingin, dan tentu saja mengundang rasa ingin tahu Febri. Meski hari ini, dia belum menyapa Frandy atau pun mengahampiri Frandy di kelasnya, tapi tak seperti biasanya Frandy tak tersenyum sekedar sebagai bentuk rasa sayangnya pada Febri.
          Kenapa ya dengan Frandy? Batin Febri membuncah ingin tahu bercampur kecewa.
          Ketika sudah berada di kelas—ketika waktu istirahat telah habis—barulah Febri ingat apa yang membuat Frandy tak menegornya hari ini. Dia melupakan hari ulang tahun Frandy kemarin!!!
          Sejuta penyesalan menyesaki hati Febri, kenapa dia bisa melupakan hari istimewa itu. Alih-alih memberikan hadiah yang berkesan, mengucapkan selamat ulang tahun pada Frandy saja dia lupa. Jadi, rasanya pantas kalo Frandy mendiamkan dia hari ini! Sepulang sekolah nanti, Febri ingin meminta maaf, dan berharap Frandy mau memaafkannya.
          “Fran, tunggu!!!”
          Frandy tadinya ingin menghindar secepat mungkin tapi langkah Febri yang setengah berlari mengehentikannya.
          “Maafin aku ya?”
          “Maaf buat apa?” tanya Frandy dingin.
          “Maafin aku…iya aku salah karena udah lupa hari ulang tahun kamu kemarin”, timpal Febri cepat.
          Frandy hanya menatap Febri datar tanpa mengatakan apapun, semakin membuat Febri merasa bersalah. Sensasi perasaan bersalah Febri semakin bertambah, setelah Frandy tak menggubrisnya lagi. Cowok itu malah melengos pergi begitu saja.
          “Frandy…!!!” Febri berusaha berteriak sekeras mungkin, tapi Frandy tak juga menghiraukannya…
                                                                         &
          Febri tersadar….
          Itu sedikit dari cerita yang tanpa sengaja diciptakan memory otak Febri dalam mimpinya. Tak ada telat bangun, tak ada hukuman karena tak membuat PR Matematika. Hubungannya dengan Frandy juga masih baik-baik saja—dia jadi sadar kalo besok memang ulang tahun Frandy yang ke 18. Dia tak ingin sampai melupakan hari jadi Frandy itu—semua hanya mimpi.
          Sekarang dia masih mengenakan pakaian yang sama sebelum tanpa sadar memejamkan mata tadi. Cerita pendeknya yang butuh penyelesain juga masih teronggok di atas meja begitu saja. Memory Febri lah yang mengantarkannya untuk mengingat kenapa semua kejadian mimpi tadi seperti perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan. Takabur kalo dia tak ingin jadi pikun di usia uzurnya nanti, padahal itu bagian dari siklus hidup. Dia tahu, dia mencintai Omanya yang tercinta tapi kenapa dia tak berusaha mencintai semua kekurangan Oma yang sekarang jauh lebih pikun dari sebelumnya. Masalah lupa ingatan—atau tepatnya proses ingatan yang memudar itu—yang dialaminya meski hanya dalam mimpi telah menyadarkan Febri kalo tak ada manusia yang sempurna sampai diakhir hayatnya…dan betapa Tuhan itu maha adil.
          Ternyata benar, kalo ingatan itu sangat berharga karena ingatanlah yang membuat manusia memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
                                                                         &


                   

:: CERPEN: Selanjutnya dimuat lagi sama ANEKA YESS! :: MEMORY TENTANG AZARYA


MEMORY TENTANG AZARYA
                                  Oleh : Nora Joentak                                 




          Pagi menjelang. Sinar Matahari menerobos masuk tanpa permisi melalui celah-celah jendela kamarku. Aku berusaha untuk menyesuaikan mataku terlebih dulu dan mengerjap-ngerjap. Tampak sesekali aku menguap melawan sisa rasa kantukku. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling kamarku. Kuperhatikan dari ranjang tempatku berbaring ke jam weker yang terpajang manis di atas meja belajarku. Pukul 07.00 pagi. Perutku keroncongan.
          Semalam tiba-tiba saja aku terserang demam. Tubuhku mendadak lemas dan aku langsung tahu reaksi apa yang akan dihadirkan oleh ibuku yang super heboh. Maklumlah ibu adalah tipe orang yang gampang panik kalau aku sakit, oke aku ralat, maksudku untuk ketiga anaknya. Padahal semalam demamku nggak terlalu tinggi kok. Cuma naik setengah derajat dari suhu tubuh orang normal, 37 derajat-tentu saja diukur dari skala Celcius. Tapi masalahnya, aku orangnya lemah banget padahal hanya terserang demam rendah. Untunglah, pagi ini aku sudah baikan. Obat penurun demam yang diberi padaku tadi malam ditambah istirahat semalaman membuat aku yakin kalo aku sembuh pagi ini.
“Bu, bangun?”, aku menguncang-guncang bahu ibu yang tertidur di sisi kiri ranjang. Kasihan ibu, gara-gara menungguiku semalaman, dia jadi tertidur dengan posisi duduk bersandar. Bersisian langsung ketika aku tidur. “Udah pagi, bu”.
Ibu terbangun. “Kamu sudah bangun, Jen?” tanya ibu seraya telapak tangannya dengan aktif menjamah dahiku. “Kamu sudah nggak demam lagi. Syukur deh”.
Aku tersenyum menerima perhatian ibu. Aku beruntung dikirimkan oleh Tuhan seorang  ibu sebaik ibuku meskipun terkadang aku geleng-geleng kepala menghadapi sifat hebohnya itu.
“Iya, bu. Jenah sudah baikan kok”, jawabku. “Jenah juga sudah cukup fit buat ke sekolah”.
Ibu mengerutkan dahi. “Ke sekolah?”
Aku mengangguk. Sangat yakin dengan keputusanku untuk sekolah hari ini.
“Kamu mau ngapain ke sekolah?” tanya ibu lagi, sepertinya justru ibu yang ragu. “Hari ini hari Minggu, Jen, jadi mana ada sekolah!”.
Oya?, pikirku.
Aku berusaha bangkit dari ranjang dan berjalan untuk mengecek kelender yang ada di meja belajarku.
 Benar juga ternyata hari ini hari Minggu.
“Bu, Jenah lapar..”, keluhku sambil memegangi perutku.
“Kamu lapar ya, bentar kamu tunggu di sini aja. Ibu buatin bubur untuk kamu untuk sarapan pagi”.
Aku memutar kedua bola mataku sebagai reaksi ketidaksukaanku. “Bu, Jenah nggak suka bubur? Jangan paksa Jenah makan bubur dong?” keluhku.
Ibu menggeleng. “Kamu sakit, Jen. Dan lazimnya orang sakit itu makannya ya bubur”
“Bu…?” Rengekku tertahan karena ibu sudah menyelaku.
“Jangan bantah ibu, Jen. Ini demi kesehatan kamu. Kamu tau nggak sih kalo ibu khawatir sama kamu!” Akhirnya aku nggak membantah dan memilih pasrah.
                                                             &
Ada baiknya juga hari ini hari Minggu, setidaknya aku bisa memiliki waktu untuk memulihkan kesehatanku. Tapi perlu digarisbawahi, ini berdasarkan saran ibuku. Jujur, kalo bukan karena sakit dan perhatian ibu yang kelewat berlebih sejak aku bangun tidur tadi, mungkin sekarang aku sudah melarikan diri, she’s very protective of me now. Uuggh.. Aku bukan tipe orang yang betah di rumah kalo hari libur datang. Biasanya kalo libur, aku akan menyambrangi toko buku langgananku atau ke taman bacaan tempat aku menghabiskan waktu bahkan ke rumah Ruth, sahabatku. Tapi kali ini….
Ponselku berdering. Aku baru sadar kalo aku belum menyentuh ponsel sejak sepulang sekolah kemarin. Ada sms dari Ruth.
Jen, hr ini 1 thn meninggalnya Azarya…Qt jd kn ke makam Azarya?
Aku terkesiap setelah membaca sms yang dikirim oleh Ruth itu. Tiba-tiba aku memutar kembali semua kenangan tentang Azarya. Mengapa justru Ruth yang ingat setahun meninggalnya Azarya, mengapa aku nggak ingat sama sekali. Kenangan bersamanya adalah kenangan yang paling nggak bisa aku lupakan meskipun aku berusaha untuk melupakannya. Melupakan Azarya, itu bukan yang aku ingin tapi berusaha dan mau aku lakukan.
Azarya adalah pacarku di kelas dua dulu. Aku dan Azarya menjalin hubungan selama sembilan bulan. Selama aku menjadi orang teristimewa untuknya, Azarya sangat perhatian padaku. Dia membantu aku menjadi orang yang lebih baik. Aku beruntung membangun kisah bersamanya.
Tapi dua minggu sebelum Azarya meninggal, itulah hari-hari yang paling membuat aku merasa bersalah. Di dua minggu terakhir itu, aku dan Azarya bertengkar hebat. Sebenarnya, masalah itu aku yang membesar-besarkan. Sepele banget, aku cemburu melihat kedekatan Azarya dengan Selda. Padahal aku tahu Selda cuma sahabatnya, jauh sebelum aku dan Azarya menjalin hubungan khusus. Tapi aku nggak kuat melihat kedekatan mereka yang dulu aku jamin bukan hanya sekedar persahabatan.
Hubunganku dengan Selda juga nggak berjalan dengan baik. Semuanya jadi kaku. Entah siapa yang memulai-aku atau dia, yang jelas aku tahu Azarya lah yang menjadi perantara diantara kami kalo pun terjadi percakapan. Benar-benar payah. Aku nggak pernah yakin bisa menjalin hubungan pertemanan dengannya mengingat raut wajahnya yang sulit aku artikan. Kadang kaku, cuek bahkan nggak peduli aku ada disekitarnya atau nggak. Pokoknya kesannya secara garis besar aku artikan dia nggak menyukaiku. Pepatah bila rupa bisa membunuh ternyata benar! Sekarang lebih parah sejak Azarya meninggal, aku dan Selda nggak pernah ngobrol lagi.
Kembali ke Azarya. Aku masih ingat raut wajah Azarya malam itu. Saat itulah, aku terakhir kali bisa melihatnya dalam keadaan hidup!
Azarya memilin wajahnya dengan sedih ketika mendatangi rumahku. Malam itu dia tetap berusaha untuk meyakinkan aku, entah untuk keberapa kalinya. Hanya ketulusan yang dia bawa, tapi sayangnya aku nggak peka dan nggak membiarkannya pulang dengan membawa kata maaf dariku. Jelas-jelas aku tahu dia berharap aku mau memaafkannya. Ketika dia pulang hujan sudah turun dengan derasnya.
“Aku mohon, kamu maafin aku, Jen? Aku dan Selda murni sahabatan, kan kamu tahu itu?”  Ini kalimat penjelasan Azarya malam itu.
“Kalo pun, kamu pikir kedekatan aku sama Selda itu diluar batas, aku minta maaf”. Ini kalimat permintaan maaf Azarya malam itu.
“Mungkin aku bisa hidup tanpa kamu, Jen, tapi aku nggak mau hidup tanpa kamu”. Ini kalimat cinta Azarya yang begitu besar-yang terakhir kali bisa aku dengar dengan jelas di telingaku. Aku sempat terbuai mendengar kalimat ini meluncur dari bibirnya tapi aku nggak bergeming. Setelah itu Azarya pamit dari rumahku, bahkan pamit dari hidupku untuk selamanya…
                                                                &
Tanah makam Azarya memang nggak berwarna merah lagi, malah rumput-rumput kecil sudah tumbuh disekitarnya. Aku dan Ruth melantunkan doa untuk Azarya yang sekarang berada di dunia yang berbeda  (Aku berhasil membujuk ibu untuk membiarkanku pergi ke makam Azarya, untunglah Ruth menjemputku).
Bodohnya aku yang nggak bisa melihat ketulusan dari permintaan maafnya.
Bukan!
Azarya nggak salah, tapi aku yang kelewat cemburu. Cemburu yang justru melenyapkan hari-hari bersamanya untuk selamanya.
“Nggak terasa waktu cepet banget berlalu. Udah setahun Azarya ninggalin kita”, kata Ruth menghela napas. Praktis Ruth menjadi sahabat Azarya sejak aku dan Azarya pacaran. Aku mendongak menatap Ruth. Aku menarik bibir, membentuk senyum tipis.
“Aku merasa bersalah, Ruth. Bahkan sampe sekarang. Seandainya aku nggak bersikeras malam itu, mungkin kecelakaan motor itu nggak menimpa Azarya”, aku ngeri membayangkan motor yang dikendarai Azarya malam itu ternyata harus hancur akibat kecelakaan. Ruth menepuk-nepuk bahuku setelah terlebih dulu merangkul bahuku. Aku tahu Ruth berusaha untuk menyemangati aku yang sekarang sedang bersedih.
Langit mendung sore ini, beda sekali saat pagi tadi. Sangat mewakili suasana hatiku yang kelabu. Bagaimana aku bisa melupakan Azarya sementara aku merasa ikut bertanggung jawab karena menghilangkan jiwanya. Aku memupuskan penjelasannya, aku menolak permintaan maafnya bahkan aku menganggap enteng cintanya padaku.
 “Udahlah, Jen. Jangan bebani perasaan kamu dengan perasaan bersalah terus-terusan. Kamu harus bangkit dan kamu bisa ambil sisi positifnya”, kata Ruth padaku. “Kamu harus lebih dewasa dalam memafkan orang lain dan belajar untuk dewasa menghadapi masalah terutama mengatasi rasa cemburu kamu yang menjadi-jadi itu”.
Ruth nggak sungkan mengatakan ini padaku, tanpa bermaksud menyakiti perasaanku sekarang. Ruth benar! Aku harus bangkit dari perasaan bersalahku dan aku yakin, Azarya pun nggak ingin aku hidup dihantui oleh perasaan bersalah terhadapnya.
“Dan satu lagi yang perlu kamu ubah…”, kata Ruth padaku. Kalimatnya menggantung, membuat aku merasa penasaran.
“Apa?”, tanyaku.
“Kamu harus buka hati kamu terhadap orang lain. Kamu berhak dapat seseorang yang sama baiknya kayak Azarya,” katanya. “Berusahalah”.
Aku mendengar dengan sangat jelas saran Ruth ini. Tapi masalahnya apa aku bisa melupakan Azarya dengan segala cinta dan kasih sayangnya yang dia berikan selama ini padaku, bahkan kalo pun aku berusaha untuk belajar melupakannya?
Masa depan cintaku…, aku nggak akan pernah tahu akan berakhir seperti apa. Karena pada dasarnya masa depan adalah misteri untukku. Seseorang dibentuk oleh ambisi kalo berbicara tentang masa depan, ditambah kenyataan-kenyataan yang berlangsung sekarang dan juga ditumpuk berdasarkan masa lalu, setidaknya itulah anggapanku. Tapi penyesalanku tentu nggak ada artinya, karena nggak akan mengembalikan Azarya ke dunia nyata!
“Kamu emang bener, Ruth tapi aku nggak bisa dengan mudah ngelakuinnya”.
Ruth menghela napas panjang. “Kan tadi menekankan kata berusaha. Aku tau itu emang nggak mudah buat kamu. Kamu jangan mencampur perasaan cinta serta perasaan bersalah kamu terhadap Azarya dengan kemungkinan untuk dapat penggantinya. Itu egois, Jen”. Aku menatap Ruth. Mencoba memahami rasa keprihatinan yang dia tujukan padaku. Aku yakin mulai dari sekarang, aku akan mengalami pergolakkan batin terhadap kenyataan!
“Ruth…”, kataku.
“Apa?”
“Mana yang lebih penting, merasa sayang atau mendapatkan perhatian?”
Ruth melepas rangkulannya dari bahuku dan menatapku tanpa menjawab. Dahinya mengerut. Aku menunggu dia menjawab pertanyaanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, tetap menunggu karena sebenarnya aku juga bingung mengapa mengapa aku melontarkan pertanyaan ini…
                                                                         &


:: CERPEN: Awal-awal nulis di ANEKA YESS! :: PEMBAWA KABAR


   PEMBAWA KABAR
Oleh : Nora Joentak

             Dia berbeda! Aku juga nggak tahu kenapa dia bukan seperti anak SMA pada umumnya. Dia penyendiri dan membangun dunianya sendiri, tapi itulah yang membuat aku tertarik setengah mati. Ada apa dengan dia?
          Aku seolah menemukan sesuatu yang aneh ketika melihatnya dan terkadang aku bertanya, apa aku sedang merasakan suasana dengan kepekaan yang luar biasa? Berulang kali aku berusaha menekan perasaan penasaranku meski nyaris nggak mungkin bisa.
Dia melengkapi hari-hariku sejak kepindahannya ke sekolahku-tepatnya sejak dia menjadi teman kelasku, tepatnya dua bulan yang lalu.
          Namanya Azarya. Dia jarang menunjukkan raut wajah yang ceria aku malah nggak pernah melihat rona merah di pipinya sama seperti orang kalo sedang senang. Setiap istirahat tiba, dia lebih memilih duduk sendiri di bangku taman sekolah­-tanpa teman. Sikapnya ini lah yang jadi motivasi untukku memberanikan diri menyapanya dua minggu belakangan ini.
          Meski agak sulit diawal, tapi untung lah dia menerima dengan baik, maksudku menerima tawaranku untuk berteman.
                                                                            &
          Dua minggu aku mengenalnya, banyak sekali dari pribadinya yang sangat membuatku nggak habis pikir. Terkadang, dia bisa jadi anak yang paling manis dan ramah padaku tapi dia juga bisa tiba-tiba jadi anak yang paling menyebalkan yang pernah aku tahu.
          Jalan pikiran si Azarya ini ruwet untuk aku pahami. Dalam setiap mata pelajaran yang diberikan akan dengan cepat dia cerna namun dia bukan tipe orang yang bisa luwes berkompromi dengan keteraturan jam masuk sekolah. Dia selalu terlambat!
          Kalo pun dia terlambat, guru yang mengajar di jam pertama-siapa pun guru itu, nggak akan banyak berkomentar dan segera mempersilahkan dia untuk duduk Sekuat apa sih pesonanya hingga dia bisa melakukan itu?.

          “Jenah, mau tidak kamu menemani aku ke toko buku?” terdengar suara Azarya mengalun di telingaku ketika aku baru saja mau naik angkot yang sengaja aku stop. Dia ada di sampingku dengan ketampanan yang luar biasa.
          “Boleh aja, emang kapan mau perginya?” tanyaku.
          “Sekarang”, jawabnya. “Kita tunggu angkot berikutnya saja ya, itu sudah penuh?”
          Betul juga, ternyata angkot yang tadinya ingin aku naiki sudah pernuh sesak. Jujur, aku senang sekali bisa duduk bersisian langsung dengannya. Meskipun dia pendiam tapi dia cukup ramah padaku. Buktinya, selama perjalanan ke toko buku, dia kerap membalas senyuman yang sengaja aku lontarkan padanya.
          Tapi sebelum kami benar-benar sampai di toko buku, aku terlonjak kaget melihat angkot yang tadinya ingin aku naiki mengalami kecelakaan sehingga membuat kemacetan total di jalan raya!
          Aku segera menoleh ke arah Azarya dengan tatapan heran tapi dia membalasku dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Setelah kemacetan berhasil dilewati oleh angkot yang kami tumpangi, Azarya menyuruh supir angkot itu untuk berhenti. Lantas, dia memintaku untuk turun bersamanya. Kami malah menuju ke taman kota.
                                                                                     &
          “Maaf, Jen. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi tahu kamu supaya kamu jangan naik angkot yang mengalami kecelakaan tadi. Aku tahu, aku harus menyelamatkan kamu, itu makanya aku memakai alasan supaya kamu menemaniku ke toko buku dan meminta kamu buat menunggu angkot yang lain”.
          Aku mencermati kata-katanya yang terlalu baku untuk zaman sekarang ini. Raut wajahnya penuh penyesalan. Dia mulai mendudukkan dirinya di bangku taman.
          “Mungkin kali ini aku bisa menyelamatkan nyawa kamu, tapi aku tidak yakin untuk lain waktu…”, kata Azarya dengan tatapan mata sedih. “Karena takdir punya rencananya sendiri”.
          Takdir? Apa maksudnya?
          “Gimana kamu bisa tau kalo angkot itu bakal mengalami kecelakaan?” tanyaku bingung bercampur rasa penasaran yang membuncah.
          “Aku punya sesuatu…entahlah bisa dikatakan kekuatan supernormal”, jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di bangku taman. “Aku bisa tahu fenomena ganjil dan meramalkan yang akan terjadi. Aku seolah merasakan panasnya api di punggungku ketika aku melihat kamu hari ini”. Aku semakin bingung.
          “Para peneliti menyebut orang-orang seperti aku dengan sebutan indigo”.
Indigo??
          Aku sering mendengar orang-orang dengan sebutan ini, entah itu dari artikel di majalah atau koran, internet, buku bahkan infotainment pun pernah berulang kali membahasnya. Meramal masa depan, intelegensi tinggi, intuisi tajam dan sangat sensitive. Belum lagi sikap yang sering menyendiri atau asosial dengan orang lain, nggak suka keteraturan dan lain sebagainya.
          “Indigo?” tanyaku terbata.
          Azarya mengangguk pelan.
          “Tapi anehnya para peneliti sering menganggap ini sejenis penyakit”, katanya dengan senyum menyeringai, kalo boleh aku menafsirkannya sebagai senyuman skeptis. “Mereka berkata, kami dengan kategori ini memiliki gejala konsentrasi yang tidak terpusat. Lucu!”
          Dia sejenak mengedarkan pandangan ke semua penjuru taman, nggak banyak orang ada di taman kota sekarang-saat siang belum juga berganti sore. Disaat yang sama aku masih masih ingin mendengar kalimat-kalimat apalagi yang bakal meluncur dari bibirnya.
          “Kemampuan otak manusia yang paling unik adalah dapat menyimpan pengalaman, perasaan, dan pikirannya sendiri tapi aku lebih dari itu”, lanjutnya sambil menoleh ke arahku. “Aku bahkan tahu pengalaman kamu jatuh dari motor saat kamu pertama kali ingin mengendarainya, kamu bersumpah tidak akan pernah naik motor lagi. Aku juga bisa tahu pikiran kamu yang sekarang kagum dengan kelebihanku ini dan…perasaan suka yang lebih dari seorang teman yang kamu tujukan padaku”.
          Aku benar-benar kagum. Aku jadi merasa nggak punya celah sekedar untuk berbohong karena aku yakin Azarya pasti tahu semua tentang aku.
          “Aku tahu semuanya sejak awal. Rasa antusias kamu terhadapku dan sisi kebaikan kamu membuat aku nyaman ada di dekat kamu. Dan aku tahu kamu tulus”. Aku tersenyum kecil padanya.
          “Tapi tenang saja, mengenai membaca pikiran, aku hanya bisa lima puluh persen jadi kamu masih bisa menyimpan rahasia kalau kamu mau”, dia membalas senyumanku.
          “Aku boleh tau nggak anugerah apa aja yang kamu terima selain yang udah kamu sebutin tadi?”, tanyaku hati-hati. “Tapi kalo kamu nggak mau kasih tau aku nggak apa-apa kok, nggak jadi masalah”.
          Azarya menarik napas dalam-dalam dan menatapku sekilas sebelum menjawab. “Energi ini sangat berlebihan dan terkadang membuat aku jadi orang paling aneh. Aku bisa tahu perbuatan apa yang dilakukan seseorang dimasa lalunya, instingku juga kelewat tajam sehingga aku bisa dengan cepat tahu orang itu baik atau tidak, aku menjadikan kamu sebagai temanku dari tolok ukur ini. Terserah kamu mau percaya atau tidak”.
          “Aku percaya kok”, jawabku terburu-buru.
          “Aku merasa, aku kelewat tidak sempurna untuk menerima semua ini. Aku mampu memanipulasi otak kanan seseorang dan mempermainkan emosinya hanya dengan beberapa kali kerjapan mata”.
          Aku langsung mengaitkan apa yang baru saja dikatakan Azarya dengan respon tiap guru yang nggak pernah berkomentar banyak kalo dia selalu datang terlambat. Luar biasa, cowok tampan satu ini. Terlalu banyak anugerah yang harus dia tanggung. Azarya tersenyum manis padaku, dia pasti tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang.
          “Mungkin kamu kira aku aneh dengan gaya bahasaku yang tak lazim. Iya kan, Jen?” Dengan berat hati aku menganggukkan kepala.
          “Aku maklum kok, ini salah satu alasan kenapa aku terlihat seperti orang aneh. Kamu tahu, Jen, aku seolah pernah hidup di masa lampau tapi datang ke masa kini dengan perasaan ingin berbagi. Tapi sedikit sekali ada orang yang mau mengerti dengan keanehan yang aku dapat”, lanjutnya.
          Aku menatapnya lekat-lekat dan dia membalas tatapanku. Jauh lebih dalam. Aku mengamati bola matanya yang bukan hitam tapi cokelat. Lama sekali dia menatapku, lalu kemudian dia mengerjapkan mata sekali padaku dan akhirnya menundukkan kepala.
          “Kenapa? Kamu kenapa, Zar?” tanyaku. Terselip nada penasaran dalam pertanyaanku.   Azarya tak langsung menjawabku dan aku menunggu reaksinya.
Dia tersenyum kecil padaku. “Kamu cantik hari ini”, dia memujiku dan aku tersipu.
                                                                            &
          Inikah jawaban dari tatapan Azarya kemarin? Inikah kenapa sebabnya dia bilang aku cantik? Inikah jawaban dari pertanyaanku yang bernada penasaran itu?
          Aku sedih jika ini menjadi jawabannya!
          Aku baru sadar kenapa Azarya nggak bisa berjanji untuk terus melindungiku. Aku juga sadar bahwa kata-katanya benar, takdir punya rencananya sendiri.
          Aku sudah nggak tertolong lagi. Sebuah angkot menerjang tubuhku saat aku hendak menyebrang menuju gang rumahku beberapa menit yang lalu. Aku nggak memiliki waktu lagi dan bumi nggak memperkenankanku menginjakkan kaki. Aku sedih…
          Aku sedih karena aku sudah meninggalkan dunia ini sebagai seorang manusia, dan Azarya telah mengabarkannya padaku. Hanya saja Azarya nggak ingin aku merasa nggak rela kalo dia ternyata tahu waktu kematianku.
                                                                            &