Keajaiban dari sebuah ingatan dapat mengantarkan seseorang ke sebuah masa yang hampir terlupakan atau sengaja ingin dilupakan.
“Jujur deh, Zen, gue masih nggak habis pikir gimana ceritanya Sachi bisa jadi pacar Haga, padahal kan kita tau bahkan seluruh sekolah tau kalo Haga dulunya nggak suka banget sama dia”, kata Zaruya—sahabat Kazena, yang sekaligus kembaran Azarya, anak keren bin super badung yang jadi penghuni salah satu bangku di kelas sebelah.
Kazena hanya bisa mengedikkan bahu sekaligus menghle napas pada saat yang bersamaan. Dia mungkin akan sama—bertanya-tanya—bingungnya seperti Zaruya, kalau saja dia bisa melupakan gumaman Sachi di depan cermin kamar mandi sekolah, tiga bulan yang lalu.
Ketika itu Kazena baru saja hendak keluar setelah buang air kecil. Tapi barisan kalimat yang dikatakan seseorang menunda niatnya itu, Tak urung, Kazena mengintip dari balik pintu dan mendapati kalau orang itu adalah Sachi…
Perkataan Sachi di depan cermin itu begitu mengejutkan Kazena.
Kazena ingin sekali memberi tahu Zaruya tentang masalah ini. Semuanya—semua barisan kalimat yang telah keluar dari bibir Sachi waktu itu. Kazena bisa ingat dengan detail setiap kata-kata Sachi karena dia memiliki ingatan yang tak dimiliki orang kebanyakan! Bahkan, Kazena bisa membayangkan dengan jelas wajah kebencian Sachi yang tercetak sempurna di cermin.
Kazena bukannya tak pernah bersyukur mendapat kemampuan untuk mengingat semua kejadian yang pernah terjadi atau tanpa sengaja terjadi dalam hidupnya. Hanya saja, momen-momen yang menjejali kepalanya terkadang menyebalkan, membuatnya merasa bersalah bahkan sanggup membuatnya menangis…
Siapa yang salah? Tuhan??
Ingatan eidetik yang diterimanya, bingung diartikannya sebagai anugerah atau malah musibah !
= = = = oo00oo = = = =
“Hai, Zen, hai, Ru. Sachi mana, kok nggak bareng kalian?”
Haga menghampiri Kazena dan Zaruya di kantin. Cowok ganteng—yang juga sekelas dengan Azarya—yang terkenal kaya, pintar sekaligus sombong itu sibuk mencari keberadaan Sachi. Alisnya sempat berkerut karena tak mendapati Sachi bersama kedua gadis yang diajaknya mengobrol itu.
Kazena menolehkan kepala menghadap Haga, dengan seulas senyum dia berkata, “kita tadi, nganterin Sachi ke UKS. Katanya, perutnya sakit”.
“Penyakit bulanan kali, Ga”, sahut Zaruya menimpali dengan raut wajah ogah-ogahan.
Kazena tahu betul makna dari raut wajah jengah yang ditunjukkan Zaruya barusan. Sama jengahnya seperti masyarakat yang jengah dengan pemberitaan ledakan tabung gas tiga kilogram yang sedang marak terjadi atau pemberitaan video ‘panas’ artis yang tak kunjung usai. Zaruya itu cemburu!
Cemburu??
Benar sekali, Zaruya cemburu dengan Sachi, si anak baru yang dengan cepat ketahuan kikuk dan sulit bergaul itu. Tadinya Zaruya bisa bersinergi dengan senang hati terhadap Sachi tapi karena gadis itu mencuri perhatian cowok yang disukainya, praktis membuat Zaruya berteman sekedar berteman saja. Tak ada lagi tawaran hang out, tak ada lagi sapa ramah atau undangan ke kantin bareng dari dirinya. Semua itu cuma diangsurkan oleh Kazena. Bagi Zaruya, semuanya hanya pertemanan klise.
Ah, cinta bisa membutakan orang yang kejatuhan pesonanya.
“Kalo gitu, gue nyamperin Sachi ke UKS dulu ya?” Kata Haga pamit, lalu berlalu dari situ.
Zaruya mengaduk-ngaduk es campurnya sambil sesekali menyeruputnya sedikit-sedikit. Alisnya bertaut membentuk satu kekesalan yang tampak dengan mudah dibaca Kazena. Zaruya memang bisa diumpamakan seperti buku yang terbuka. Kali ini, itu sangat gampang terbaca oleh Kazena.
“Mantra-mantra Sachi cepet banget meracuni otak Haga. Lo liat kan segitu ngebetnya Haga pengen ketemu dia. Pelet apa ya yang dipakai sama Sachi sampe-sampe Haga bisa kesengsem setengah mati kayak gitu?!”
Kazena tak menyanggah ucapan Zaruya juga tidak mendukung kata-kata sahabatnya itu. Dia memilih untuk tidak merespons. Sebenarnya, Sachi tak bermaksud mencuri perhatian Haga sama sekali tapi tak selamanya ada orang yang yang mau diremehkan terus-terusan kan??
Sachi, oh Sachi. Pikiran Kazena sibuk memainkan sosoknya.
= = = = oo00oo = = = =
Tak ada yang salah yang ditangkap Kazena ketika tanpa sengaja Haga menolong Sachi yang hampir terjatuh, seminggu sebelum peristiwa kamar mandi itu. Sepertinya, anemianya kambuh lagi soalnya Sachi pernah bilang kalau dia sering sekali mengalami anemia dadakan. Haga pun memapahnya ke UKS, meskipun ketika itu Kazena melihat Haga melakukannya dengan sangat terpaksa.
Dan dari situlah perubahan dalam diri Haga terjadi, menciptakan keanehan sewot Zaruya dan lebih parah lagi kengerian bercampur ketakutan menyerang Kazena. Benarkah awal mulanya karena itu?? Dibalik kekikukan dan kesulitannya bergaul, ternyata Sachi menyimpan bakat yang tersimpan—yang bisa mempesona atau lebih tepatnya bisa memaksa orang untuk menyukainya!
Rinai hujan yang merintik dari langit sudah turun kurang-lebih selama setengah jam dan terlihat sosok Kazena tengah menikmati cappuchino hangatnya di Mon Ami, café langganannya dan Zaruya—juga Sachi. Kazena sedang menunggu kedatangan Sachi. Tiba-tiba terlintas di pikiran Kazena untuk mengobrol serius dengan Sachi hari ini tentang peristiwa kamar mandi itu. Kazena tak bisa lagi membiarkannya berlarut-larut. Tak bisa ditunda lagi, Kazena benar-benar ingin mendengar pengakuan Sachi—langsung dari bibir tipisnya nan sensual itu.
Sepuluh menit kemudian, Sachi datang.
“Hai, Zen?!” sapa Sachi setibanya dia di meja tempat Kazena berada. Tangannya kemudian sibuk membersihkan sisa-sisa percikan air rintikan hujan yang membasahi baju serta kepalanya. “ Zaruya mana? Dia nggak ikutan dateng?”
Kazena terseyum tipis. “Duduk dulu deh, Chi”.
Dengan sigap Sachi, mengambil posisi duduk persis di hadapan Kazena.
“Gue sengaja, nggak ngajak Zaruya ngumpul bareng kita”, kata Kazena pada Sachi yang menunggu jawabannya.
Sensasi keheranan ditunjukkan Sachi. Keningnya berkerut, seolah menghadirkan satu pertanyaan. Lalu…
”Kok gitu?? Lo nggak lagi berantem sama Zaruya kan, Zen?” tanya Sachi hati-hati.
Sachi sadar betul, sekalipun dia sudah berteman dengan Kazena dan Zaruya bahkan dianggap sahabat oleh mereka namun tetap saja ada koridor-koridor persahabatan yang tak bisa dimasuki Sachi antara Kazena dan Zaruya.
“Gue nggak berantem kok sama Zaruya. Semuanya baik-baik aja”.
Sachi menghela napas lega sebentar.
“Eee….terus kenapa Zaruya nggak gabung bareng kita? Kenapa cuma kita berdua?” tanya Sachi lagi, tetap membombardir Kazena dengan rasa penasarannya yang mulai menjadi-jadi.
Sejenak Kazena mengisi penuh rongga dadanya dengan udara. Sepertinya berat sekali, Kazena ingin memulai percakapannya dengan Sachi. Tapi sudah terlanjur setengah jalan. Lagipula si pembuat perubahan itu sudah ada di hadapannya saat ini.
“Gue pengen ngomong sesuatu yang serius sama lo, Chi”.
“Sama gue? Emang ada apaan, Zen?”
Kazena bisa menangkap reaksi aneh yang dihasilkan getar suara Sachi tapi gadis itu berusaha menjaga sedatar mungkin getar suaranya tersebut. Apakah Sachi sudah bisa membaca niatnya untuk menanyakan masalah yang mengganggu pikirannya tiga bulan belakangan ini?!!
“Gue tau semuanya, Chi!”
Kazena langsung menohok Sachi dengan tuduhan tersirat. Entah Sachi bisa mengartikannya atau tidak. Ini prolog awal yang bisa dilakukannya untuk membangun percakapan seriusnya dengan Sachi. Gadis berpostur tubuh mungil yang ada di hadapannya itu mau tak mau harus siap mendengar apa yang sudah tak sengaja didengarnya tentang apa yang diucapakannya di kamar mandi ketika itu. Sudah cukup tiga bulan Kazena menyimpan rapat rahasia itu. Dan inilah saatnya…
“Mata lo yang menghipnotis itu! Gue tau lo bisa ngelakuinnya”, kata Kazena tanpa berusaha berbicara dengan nada hati-hati. “Dan Haga…lo ngelakuinnya sama Haga kan? Iya kan, Chi? Saatnya lo harus jujur sama gue!”
Bening pupil Sachi melihat tajam ke arah Kazena. Tapi bibirnya terkatup rapat tanpa melahirkan kalimat pembelaan apa-apa. Dalam hatinya, Sachi baru menyadari ternyata ini alasan kenapa Kazena tak mengajak Zaruya duduk bareng bersama mereka.
Beberapa saat kemudian, Sachi membuang pandang ke luar café. Kebetulan posisi meja tempat mereka duduk bersebelahan langsung dengan kaca pengganti dinding. Di luar café, Sachi disuguhi pemandangan yang dianggapnya romantis, sampai-sampai dia tersenyum tipis menyaksikannya. Ada seorang laki-laki dan perempuan berlari-lari kecil menghindari rintikan hujan. Laki-laki itu berusaha melindungi kepala si perempuan dengan tangannya agar kepala si perempuan tak basah terguyur air hujan. Namun, Kazena menganggap senyuman Sachi itu sebagai senyuman sarkastis, seolah-olah Sachi telah menelanjangi tuduhan tersiratnya tadi.
Apa yang ada di pikiran gadis ini, batin Kazena.
“Lo ngomong apa sih, Zen?” Barulah Sachi merespons, tapi tanpa mengalihkan pandangannya pada Kazena. Sepertinya dia membangun pertahanan untuk dirinya sendiri.
“Jangan ditutup-tutupi lagi, Chi. Percuma. Gue tau lo udah tau maksud omongan gue sekarang!”
Mendengar kata-kata Kazena, akhirnya Sachi memutar kepala ke arah orang yang ada di hadapannya itu. Akhirnya dia menyadari, bukan saatnya lagi membangun pertahanan kepura-puraan karena sepertinya Kazena sudah sangat tahu betul apa yang terjadinya—ya sepertinya—Kazena tahu tentang bakat bawaannya sejak lahir itu.
“Oke, apa yang pengen lo tau, Zen?”
“Gue cuma pengen lo ngaku—kalo lo menghipnotis Haga dan ngebuat dia jatuh cinta setengah mati sama lo kan? Iya kan, Chi?”
Sachi menatap Sachi tajam dan dalam untuk beberapa saat. Itu jelas-jelas membuat Kazena merasa takut dan risih. Baru kali ini Kazena merasa seperti itu hanya karena diserang tatapan mata seseorang.
“Iya gue yang menghipnotis Haga dan membuatnya jatuh cinta setengah mati sama gue”, ucap Sachi jujur. “Lo tau kan kenapa gue ngelakuin itu, Zen?”
Kazena tak menjawab karena dia tahu betul arah ucapan Sachi. Seketika terlintas dipikiran Kazena cowok yang bernama Haga itu. Sebenarnya dialah sumber kekecauan ini. Kesombongannyalah yang membuat Sachi menggunakan bakat alamiahnya itu.
“Gue pengen menghancurkan kesombongannya dengan menghancurkan reputasinya di sekolah”, lanjut Sachi dengan nada marah yang teredam dalam suaranya. Sachi kembali melihat ke arah Kazena, “ lo tau kan betapa bencinya dia sama gue padahal sampe sekarang gue nggak tau kenapa dia ngebenci gue”.
Sachi mulai menggiring Kazena ke narasi dan deskripsi yang dia bangun. “Dia selalu meremehkan gue bersama teman-temannya tiap kali kami ketemu. Sekali-dua kali mungkin gue bisa terima tapi kesabaran gue ada batasnya juga, Zen”.
“Dan ini cara lo buat ngebales dia? Dengan menghipnotisnya sampe sekarang?”
“Kenapa nggak? Biar dia malu kalo nanti gue nanti ngilangin hipnotis itu? Tuhan, ngasih gue bakat menghipnotis ini, kenapa nggak gue manfaatin aja”, Sachi menyeringai dengan raut wajah kebencian. “Gue pengen kesombongannya hancur. Gimana ceritanya seorang Haga bisa pacaran sama cewek yang nggak se-level kaya dan mempesona seperti dia. Bahkan Bellatrix kalah kan sama gue?”
“Sampe kapan lo bakal memperlakukan dia kayak gitu, Chi? Kasian dia?
Sachi menatap Kazena sambil berkata, “sampe gue ngerasa puas. Dan lo, Zen…kalo lo nggak mau nasib lo sama kayak Haga, terhipnotis gara-gara mata gue ini, lo jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini. Ngerti lo??”
Kazena terbungkam dengan sendirinya, mendengar ancaman yang keluar dari sseorang Sachi. Mendadak, si kikuk Sachi bukan seperti Sachi yang dulu lagi. Dan untung saja Kazena tak mengajak Zaruya, karena sudah bisa dipastikan Zaruya akan terpancing emosi kalau mengetahui kejadian ini…
= = = = oo00oo = = = =
Blog ini cuma blog simpel yang aku buat enggak tentang imajinasi; semua cerita khayalan-khayalan tentang cerita yang aku buat sendiri!!
Senin, 20 September 2010
Momen Indah Zia--Muat di Tabloid GAUL (Edisi 32)
Rasanya kepalaku mau pecah kalau harus meladeni humor-humor zombi Zia padaku. Dia tak henti-hentinya membahas hal-hal yang tak penting padahal aku sering merasa tak minat sama sekali. Bahkan hal remeh temeh saja dia bahas, misalnya aktifitas Belo, kucing Anggora kesayanganku yang lebih banyak tidur pun dia ceritakan padaku, jelas-jelas aku sudah tahu!
Kedatangan Zia ke rumah membuat duniaku jungkir balik.
Zia bukan cuma sekedar datang berkunjung tapi dia telah tinggal di rumahku sekarang. Dia berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kesulitan ekonomi orang tuanya—yang tak lain Om dan Tante dari pihak Mamaku—yang menyebabkan Zia mau tak mau harus jadi bagian dari keluargaku. Dengan adik-adiknya yang masih berjumlah enam orang— yang juga harus dinafkahi, tentu saja jadi alasan utama mengapa Om dan Tante dengan berat hati melepas Zia.
Aku masih ingat betapa lusuhnya Zia ketika pertama kali menginjakkan kaki ke rumahku ini. Dandanannya berantakan, rambutnya awut-awutan—pasti jarang dispa tau bahkan jarang creambath atau jangan-jangan dia pakai sabun sebagai shampo—kulit kasar tak terawat, pokoknya membuat aku tak tahan kalau harus menatapnya lama-lama. Sangat pantas untuk dipermak—dan sayangnya Mama waktu itu memercayakan perubahan Zia padaku.
Uuugghhh….
“Apa, kabar? Kamu masih ingat aku kan, Lan?” tanya Zia ketika dia menyapaku pertama kali—waktu itu—di dapur sewaktu aku hendak membuatkan Orange Juice untuk Mama. “Emang sih kita belum pernah ketemu lagi sejak terakhir kali keluargaku berkunjung delapan tahun yang lalu, maklumlah keluargaku kan nggak berpunya. Tapi aku masih ingat, kok tampang cantik kamu waktu itu”.
Aku tak bergeming, aku masih memfokuskan diri dengan perasan jeruk yang sedang aku buat.
“Rambut kamu panjang sebahu dengan poni selamat datang di kening kamu”, lanjutnya seraya menahan tawa dan tentu saja membuatku sebal setengah mati.
“Mendingan aku yang waktu itu berambut panjang sebahu dengan poni selamat datang, daripada kamu kulit hitam plus rambut ikal nggak jelas!” kataku seraya meninggalkannya. Biar saja Mbok Inah yang melanjutkan membuat Orange Juice untuk Mama. Aku tak mood lagi!
====oo00oo====
Ada lima kardus yang lumayan besar berjejer rapi di ruang keluarga ketika aku hendak menonton televisi sore harinya. Kardus-kardus apaan ini? Tanyaku dalam hati.
“Maaf ya, ini tumpukan buku-buku aku”, kata Zia yang mendadak berada di sampingku. “Mulai dari buku pelajaran sampe novel-novel kesayanganku yang aku beli dari uang jajanku yang sangat sedikit. Aku belum menyusunnya”.
Siapa juga yang tanya?! Aku menggerutu tak jelas dalam hati lagi. “Singkirin deh, aku mau nonton tivi. Mataku nggak nyaman banget kalo harus ngeliat kardus-kardus kamu itu!” kataku datar tapi kuucapkan dengan nada menyakitkan hati.
Zia hanya tersenyum tak enak hati.
Begitulah Zia menyeimbangkan kesan jutekku dengan berbagai cara. Bahkan terkadang tanpa sungkan dan tanpa malu dia mendekatiku dan menularkan humor-humor zombinya. Tapi aku masih agak ogah-ogahan meladeninya meski tak urung aku juga pernah tergelitik dan menahan senyum.
Sosok Zia punya satu impian diusianya yang tak beda jauh denganku. Dia pernah menceritakan impiannya itu padaku ketika dia menghampiriku di gazebo halaman belakang rumah. Waktu itu aku sedang asyik membaca majalah remaja yang baru aku beli sepulangnya aku dari sekolah.
Zia ingin sekali mempunyai perpustakaan atau semacam taman bacaan! “Buat apa kamu pengen punya perpustakaan atau taman bacaan segala?” tanyaku pura-pura cuek—padahal jelas-jelas aku antusias ingin tahu— sembari membalikkan satu halaman majalah.
Dari balik ekoran mataku, aku melihat mata Zia berkedut-kedut sembari menjawab, “karena itu momen indah buatku kalo itu terwujud”.
“Momen indah kamu?” tanyaku lagi sekenanya tanpa memalingkan wajah menghadapnya.
“Hmm…,”jawab gadis yang akhirnya satu sekolah denganku itu, “aku ingin anak-anak yang sama nggak beruntungnya denganku atau malah yang jauh nggak beruntung dari aku bisa lebih dapet banyak wawasan dengan koleksi-koleksi buku yang aku punya”.
Tertegun aku mendengar ucapannya. Caranya menyikapi impian dan harapan membuatku merasa rendah di hadapannya…
=====oo00oo=====
Kemana raibnya semua penghuni rumah maghrib-maghrib begini. Mama kemana? Dan, bukannya Papa seharusnya sudah pulang biasanya dijam-jam begini? Tapi kemana Papa? Terus, Lintang adik bungsuku juga menghilang!
Sedari tadi mencari-cari keberadaan orang-orang rumah, aku hanya mendapati Mbok Inah di dapur.
“Mbok, semua orang pada kemana sih, sepi banget? tanyaku. “Terus, kenapa Mang Diman nggak jemput aku ke tempat les piano?”
“Anu, Non…anu”, jawabMbok Inah terbata. “Nyonya sama Non Lintang pergi ke rumah sakit dianterin sama Mang Diman. Tuan langsung nyusul kesana, langsung dari kantor. Juga ke rumah sakit”.
Rumah sakit? Batinku.
“Emang siapa yang sakit?” tanyaku ingin tahu. Wajar saja aku menanyakan ini. Mendadak, aku jadi sedikit khawatir.
“Non Zia”, jawab Mbok Inah cepat. “Non Zia yang sakit, Non”.
“Zia?” tanyaku lagi dan langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Mbok Inah. “Ke rumah sakit mana dia dibawa?”
“Rumah sakit Kazena Krista, Non”.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar menuju pangkalan ojek yang ada di ujung kompleks rumahku dan segera menuju rumah sakit.
=====oo00oo=====
Aku tak tahan melihat keadaan Zia sekarang. Aku yang menatapnya saja begitu terlihat menderita, apalagi Zia yang mengalaminya sendiri. Aku tanpa sadar menangis menyaksikan perjuangan Zia yang hanya sekedar ingin bernapas dengan menggunakan ventilator.
Penyakit itu sudah menyerang otot- paru-paru Zia!
“Ma, kak Zia sakit apa?” tanya Lintang pada Mama yang tampak sedih melihat keponakannya.
Zia hanya mengedipkan mata pada seluruh anggota keluargaku—termasuk aku—sebagai tanda dia memahami kalau dialah yang jadi bahan obrolan. Kondisi Zia sudah parah!!
Mama tak menjawab Lintang. Mama hanya mengusap-usap punggung Lintang dan berisyarat agar membuatnya berhenti bertanya lagi. Namun, beberapa detik kemudian ada yang tak beres dengan Zia dan membuatku keluar karena merasa tak kuat melihatnya.
Tadi paru-paru Zia bocor. Ternyata setelah dirontgen, paru-paru Zia mengempis drastis, makanya bisa bocor. Untuk mengatasinya dokter harus memasang Water Sealed Drainage (WSD) serta melubangi tubuhnya agar pemakaian WSD bisa terhubung ke paru-parunya.
Penyakit itu diberi nama Guillain-Barre Syndrome. Dia yang menyerang saraf motorik dari bagian tubuh hingga menjalar ke bagian atas lalu hampir keseluruhan tubuh—dan inilah yang membuat Zia tak berdaya!
“Mama nggak sengaja menemukan Zia tergeletak di lantai. Tubuhnya nggak bisa digerakin tapi dia masih sadar waktu itu”, kata Mama menangis, “cuma mata Zia kelihatan aneh, makanya Mama dan Lintang langsung bawa Zia ke rumah sakit”.
“Papa juga lngsung buru-buru pulang waktu Mama ngasih tau Papa”, timpal Papa.
Seketika itu juga, aku layangkan pandanganku ke Zia yang tertidur. Tampaknya dia sudah agak mendingan hingga dia bisa menikmati tidurnya. Aku melihatnya dari kaca yang terpatri di pintu ICU tempat dia dirawat. Wajahnya pucat, mungkin akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu. Tapi Lintang senantiasa menemaninya sedari tadi.
“Kasian Zia”, kataku terdengar seperti bergumam seraya mengalihkan kembali perhatianku ke Mama dan Papa. “dia anak yang ceria dan punya semangat yang tinggi. Dia juga pinter kok di sekolah”.
Mama dan Papa setuju dengan yang aku katakan.
“Zia nggak mau ngerepotin orang lain, dia selalu melakukan semuanya sendiri. Dia anak yang sangat tau diri”, timpal Papa lagi.
“Om dan Tante udah dikabarin?” tanyaku tiba-tiba.
Mama menggeleng. “Zia nggak mau, Om dan Tente tau tetang hal ini”.
“Tapi kenapa?”
Belum sempat aku mendapat jawaban atas pertanyaanku barusan, tiba-tiba Lintang menghambur keluar dengan jerit histeris!
“Mama, kak Zia?!!!
Para perawat dan dokter saling berkejaran waktu untuk memulihkan kesadaran Zia yang perlahan menghilang akibat penyakitnya yang mendadak kambuh. Ada masalah lagi dengan paru-paru Zia. Tapi mereka terus mencoba. Pemandangan kesakitan Zia seperti kiamat bagiku.
Demi Tuhan, kalau Zia diberi kesempatan untuk sembuh, aku akan meladeni selera humor-humor zombinya itu dan membantunya mewujudkan momen indahnya untuk memiliki perpustakaan atau taman bacaan!!
Aku menyayangi kamu, Zia, gumamku pada sendiri sambil menangis.
======oo00oo======
Keesokan harinya…
Aku berada diantara banyaknya kerumunan orang yang berpakaian hitam-hitam—dan aku juga menggunakan kerudung berwarna senada—ketika mengiringi tubuh kaku Zia menuju liang lahat yang menunggunya. Zia dipaksa menyerah dengan penyakitnya. Dia meninggal, hanya sepuluh menit sejak jerit histeris Lintang semalam.
Zia boleh saja lenyap dan meninggalkan dunia fana ini tapi semangatnya tetap akan hidup di hatiku…dan aku bakal mewujudkan momen indah yang jadi impiannya…
=======oo00oo======
Kedatangan Zia ke rumah membuat duniaku jungkir balik.
Zia bukan cuma sekedar datang berkunjung tapi dia telah tinggal di rumahku sekarang. Dia berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kesulitan ekonomi orang tuanya—yang tak lain Om dan Tante dari pihak Mamaku—yang menyebabkan Zia mau tak mau harus jadi bagian dari keluargaku. Dengan adik-adiknya yang masih berjumlah enam orang— yang juga harus dinafkahi, tentu saja jadi alasan utama mengapa Om dan Tante dengan berat hati melepas Zia.
Aku masih ingat betapa lusuhnya Zia ketika pertama kali menginjakkan kaki ke rumahku ini. Dandanannya berantakan, rambutnya awut-awutan—pasti jarang dispa tau bahkan jarang creambath atau jangan-jangan dia pakai sabun sebagai shampo—kulit kasar tak terawat, pokoknya membuat aku tak tahan kalau harus menatapnya lama-lama. Sangat pantas untuk dipermak—dan sayangnya Mama waktu itu memercayakan perubahan Zia padaku.
Uuugghhh….
“Apa, kabar? Kamu masih ingat aku kan, Lan?” tanya Zia ketika dia menyapaku pertama kali—waktu itu—di dapur sewaktu aku hendak membuatkan Orange Juice untuk Mama. “Emang sih kita belum pernah ketemu lagi sejak terakhir kali keluargaku berkunjung delapan tahun yang lalu, maklumlah keluargaku kan nggak berpunya. Tapi aku masih ingat, kok tampang cantik kamu waktu itu”.
Aku tak bergeming, aku masih memfokuskan diri dengan perasan jeruk yang sedang aku buat.
“Rambut kamu panjang sebahu dengan poni selamat datang di kening kamu”, lanjutnya seraya menahan tawa dan tentu saja membuatku sebal setengah mati.
“Mendingan aku yang waktu itu berambut panjang sebahu dengan poni selamat datang, daripada kamu kulit hitam plus rambut ikal nggak jelas!” kataku seraya meninggalkannya. Biar saja Mbok Inah yang melanjutkan membuat Orange Juice untuk Mama. Aku tak mood lagi!
====oo00oo====
Ada lima kardus yang lumayan besar berjejer rapi di ruang keluarga ketika aku hendak menonton televisi sore harinya. Kardus-kardus apaan ini? Tanyaku dalam hati.
“Maaf ya, ini tumpukan buku-buku aku”, kata Zia yang mendadak berada di sampingku. “Mulai dari buku pelajaran sampe novel-novel kesayanganku yang aku beli dari uang jajanku yang sangat sedikit. Aku belum menyusunnya”.
Siapa juga yang tanya?! Aku menggerutu tak jelas dalam hati lagi. “Singkirin deh, aku mau nonton tivi. Mataku nggak nyaman banget kalo harus ngeliat kardus-kardus kamu itu!” kataku datar tapi kuucapkan dengan nada menyakitkan hati.
Zia hanya tersenyum tak enak hati.
Begitulah Zia menyeimbangkan kesan jutekku dengan berbagai cara. Bahkan terkadang tanpa sungkan dan tanpa malu dia mendekatiku dan menularkan humor-humor zombinya. Tapi aku masih agak ogah-ogahan meladeninya meski tak urung aku juga pernah tergelitik dan menahan senyum.
Sosok Zia punya satu impian diusianya yang tak beda jauh denganku. Dia pernah menceritakan impiannya itu padaku ketika dia menghampiriku di gazebo halaman belakang rumah. Waktu itu aku sedang asyik membaca majalah remaja yang baru aku beli sepulangnya aku dari sekolah.
Zia ingin sekali mempunyai perpustakaan atau semacam taman bacaan! “Buat apa kamu pengen punya perpustakaan atau taman bacaan segala?” tanyaku pura-pura cuek—padahal jelas-jelas aku antusias ingin tahu— sembari membalikkan satu halaman majalah.
Dari balik ekoran mataku, aku melihat mata Zia berkedut-kedut sembari menjawab, “karena itu momen indah buatku kalo itu terwujud”.
“Momen indah kamu?” tanyaku lagi sekenanya tanpa memalingkan wajah menghadapnya.
“Hmm…,”jawab gadis yang akhirnya satu sekolah denganku itu, “aku ingin anak-anak yang sama nggak beruntungnya denganku atau malah yang jauh nggak beruntung dari aku bisa lebih dapet banyak wawasan dengan koleksi-koleksi buku yang aku punya”.
Tertegun aku mendengar ucapannya. Caranya menyikapi impian dan harapan membuatku merasa rendah di hadapannya…
=====oo00oo=====
Kemana raibnya semua penghuni rumah maghrib-maghrib begini. Mama kemana? Dan, bukannya Papa seharusnya sudah pulang biasanya dijam-jam begini? Tapi kemana Papa? Terus, Lintang adik bungsuku juga menghilang!
Sedari tadi mencari-cari keberadaan orang-orang rumah, aku hanya mendapati Mbok Inah di dapur.
“Mbok, semua orang pada kemana sih, sepi banget? tanyaku. “Terus, kenapa Mang Diman nggak jemput aku ke tempat les piano?”
“Anu, Non…anu”, jawabMbok Inah terbata. “Nyonya sama Non Lintang pergi ke rumah sakit dianterin sama Mang Diman. Tuan langsung nyusul kesana, langsung dari kantor. Juga ke rumah sakit”.
Rumah sakit? Batinku.
“Emang siapa yang sakit?” tanyaku ingin tahu. Wajar saja aku menanyakan ini. Mendadak, aku jadi sedikit khawatir.
“Non Zia”, jawab Mbok Inah cepat. “Non Zia yang sakit, Non”.
“Zia?” tanyaku lagi dan langsung disambut dengan anggukkan kepala oleh Mbok Inah. “Ke rumah sakit mana dia dibawa?”
“Rumah sakit Kazena Krista, Non”.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar menuju pangkalan ojek yang ada di ujung kompleks rumahku dan segera menuju rumah sakit.
=====oo00oo=====
Aku tak tahan melihat keadaan Zia sekarang. Aku yang menatapnya saja begitu terlihat menderita, apalagi Zia yang mengalaminya sendiri. Aku tanpa sadar menangis menyaksikan perjuangan Zia yang hanya sekedar ingin bernapas dengan menggunakan ventilator.
Penyakit itu sudah menyerang otot- paru-paru Zia!
“Ma, kak Zia sakit apa?” tanya Lintang pada Mama yang tampak sedih melihat keponakannya.
Zia hanya mengedipkan mata pada seluruh anggota keluargaku—termasuk aku—sebagai tanda dia memahami kalau dialah yang jadi bahan obrolan. Kondisi Zia sudah parah!!
Mama tak menjawab Lintang. Mama hanya mengusap-usap punggung Lintang dan berisyarat agar membuatnya berhenti bertanya lagi. Namun, beberapa detik kemudian ada yang tak beres dengan Zia dan membuatku keluar karena merasa tak kuat melihatnya.
Tadi paru-paru Zia bocor. Ternyata setelah dirontgen, paru-paru Zia mengempis drastis, makanya bisa bocor. Untuk mengatasinya dokter harus memasang Water Sealed Drainage (WSD) serta melubangi tubuhnya agar pemakaian WSD bisa terhubung ke paru-parunya.
Penyakit itu diberi nama Guillain-Barre Syndrome. Dia yang menyerang saraf motorik dari bagian tubuh hingga menjalar ke bagian atas lalu hampir keseluruhan tubuh—dan inilah yang membuat Zia tak berdaya!
“Mama nggak sengaja menemukan Zia tergeletak di lantai. Tubuhnya nggak bisa digerakin tapi dia masih sadar waktu itu”, kata Mama menangis, “cuma mata Zia kelihatan aneh, makanya Mama dan Lintang langsung bawa Zia ke rumah sakit”.
“Papa juga lngsung buru-buru pulang waktu Mama ngasih tau Papa”, timpal Papa.
Seketika itu juga, aku layangkan pandanganku ke Zia yang tertidur. Tampaknya dia sudah agak mendingan hingga dia bisa menikmati tidurnya. Aku melihatnya dari kaca yang terpatri di pintu ICU tempat dia dirawat. Wajahnya pucat, mungkin akibat rasa sakit yang tak tertahankan itu. Tapi Lintang senantiasa menemaninya sedari tadi.
“Kasian Zia”, kataku terdengar seperti bergumam seraya mengalihkan kembali perhatianku ke Mama dan Papa. “dia anak yang ceria dan punya semangat yang tinggi. Dia juga pinter kok di sekolah”.
Mama dan Papa setuju dengan yang aku katakan.
“Zia nggak mau ngerepotin orang lain, dia selalu melakukan semuanya sendiri. Dia anak yang sangat tau diri”, timpal Papa lagi.
“Om dan Tante udah dikabarin?” tanyaku tiba-tiba.
Mama menggeleng. “Zia nggak mau, Om dan Tente tau tetang hal ini”.
“Tapi kenapa?”
Belum sempat aku mendapat jawaban atas pertanyaanku barusan, tiba-tiba Lintang menghambur keluar dengan jerit histeris!
“Mama, kak Zia?!!!
Para perawat dan dokter saling berkejaran waktu untuk memulihkan kesadaran Zia yang perlahan menghilang akibat penyakitnya yang mendadak kambuh. Ada masalah lagi dengan paru-paru Zia. Tapi mereka terus mencoba. Pemandangan kesakitan Zia seperti kiamat bagiku.
Demi Tuhan, kalau Zia diberi kesempatan untuk sembuh, aku akan meladeni selera humor-humor zombinya itu dan membantunya mewujudkan momen indahnya untuk memiliki perpustakaan atau taman bacaan!!
Aku menyayangi kamu, Zia, gumamku pada sendiri sambil menangis.
======oo00oo======
Keesokan harinya…
Aku berada diantara banyaknya kerumunan orang yang berpakaian hitam-hitam—dan aku juga menggunakan kerudung berwarna senada—ketika mengiringi tubuh kaku Zia menuju liang lahat yang menunggunya. Zia dipaksa menyerah dengan penyakitnya. Dia meninggal, hanya sepuluh menit sejak jerit histeris Lintang semalam.
Zia boleh saja lenyap dan meninggalkan dunia fana ini tapi semangatnya tetap akan hidup di hatiku…dan aku bakal mewujudkan momen indah yang jadi impiannya…
=======oo00oo======
Langganan:
Postingan (Atom)